Kanal24, Malang – Konflik Timur Tengah yang kembali memanas akibat serangan Israel terhadap Iran dan Palestina menimbulkan kekhawatiran besar, tidak hanya dari segi kemanusiaan, tetapi juga dari sisi penegakan hukum internasional. Dalam wawancara Kanal24 pada Jumat (20/06/2025) bersama Abdullah, S.Sos., M.Hub.Int., Dosen Hubungan Internasional Universitas Brawijaya sekaligus peneliti di Pusat Peradaban Islam dan Kajian Timur Tengah UB, disampaikan bahwa Indonesia tidak boleh diam terhadap pelanggaran-pelanggaran serius yang dilakukan oleh Israel.
Abdullah menegaskan, Israel telah melakukan pelanggaran terhadap hukum internasional, khususnya Statuta Roma Pasal 5 dan 8, yang mengatur tentang kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan perang. Serangan terhadap warga sipil, fasilitas kesehatan, anak-anak, dan jurnalis di wilayah konflik seperti Palestina dan Iran, adalah tindakan yang tidak bisa dibenarkan dalam kerangka hukum internasional.
Baca juga:
Bincang Intelektual Bacadek FMIPA UB

“Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu adalah sosok yang memberikan perintah langsung terhadap agresi ini. Maka secara hukum, dia bisa dianggap sebagai penjahat perang dan layak diadili di Mahkamah Pidana Internasional (ICC),” jelas Abdullah.
Namun, masalahnya tidak sesederhana itu. Menurutnya, penegakan hukum internasional masih sangat bergantung pada kehendak politik (political will) dari negara-negara yang terlibat. Banyak negara kuat, termasuk Amerika Serikat, tidak meratifikasi Statuta Roma, sehingga tidak berkewajiban menyerahkan pihak-pihak yang terindikasi melakukan pelanggaran. Ini yang membuat Netanyahu masih bebas berkunjung ke berbagai negara tanpa konsekuensi hukum.
“Hukum internasional hari ini sayangnya tidak berada di atas politik. Justru politiklah yang mengendalikan penegakan hukum. Tanpa kemauan politik, bahkan pelanggaran yang paling nyata pun tidak akan bisa diseret ke pengadilan,” ujar Abdullah.
Dalam konteks Indonesia, ia menyampaikan bahwa pemerintah melalui Kementerian Luar Negeri dan Komisi I DPR RI memiliki peran strategis dalam memberikan tekanan diplomatik terhadap pelanggaran-pelanggaran tersebut. Ia mendorong agar Indonesia menggalang dukungan global melalui forum-forum multilateral seperti OKI (Organisasi Kerja Sama Islam) dan PBB.
“Indonesia harus memimpin suara dunia untuk menuntut penghentian agresi Israel. Kita punya prinsip politik luar negeri bebas aktif, dan itu harus diwujudkan dalam bentuk diplomasi konkret, bukan hanya pernyataan,” katanya.
Lebih jauh, Abdullah juga menyebutkan bahwa keberpihakan Indonesia terhadap hukum internasional adalah bagian dari komitmen menjaga perdamaian dunia, sebagaimana diamanatkan dalam Pembukaan UUD 1945. Oleh karena itu, penguatan diplomasi Indonesia bukan sekadar soal politik luar negeri, tetapi juga bagian dari tanggung jawab moral dan konstitusional.
Baca juga:
Pengamat Politik UB Ajak Masyarakat Dukung Eksistensi Gaza!
Di tengah kondisi global yang semakin kompleks, suara Indonesia sangat dibutuhkan untuk menegakkan keadilan internasional. Jika Israel dibiarkan terus melakukan agresi dan pelanggaran HAM tanpa ada sanksi tegas, maka dunia akan masuk ke dalam jurang ketidakpastian hukum yang membahayakan semua bangsa.
“Kita tidak boleh menormalisasi perang hanya karena dilakukan oleh negara kuat. Israel harus ditindak atas kejahatan yang dilakukan, dan Indonesia harus berada di garda depan dalam upaya itu,” pungkas Abdullah. (nid/hil)