Kanal24 – Rencana pemerintah untuk memajaki aktivitas jual-beli di platform e-commerce kembali menjadi perbincangan hangat. Kebijakan ini mengharuskan marketplace memotong Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 22 dari penjual dengan omzet tahunan di atas Rp500 juta. Meskipun pemerintah menegaskan bahwa aturan ini tidak menciptakan pajak baru, banyak pihak yang mempertanyakan dampaknya terhadap pelaku usaha.
“Kebijakan ini tidak mengubah prinsip dasar perpajakan. Sebaliknya, justru memberikan kemudahan bagi pedagang dalam memenuhi kewajiban perpajakan mereka melalui mekanisme pemungutan yang lebih terintegrasi,” ujar Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal Pajak (DJP), Rosmauli, dikutip (30/6/2025).
Namun, tidak semua pihak sepakat. Platform e-commerce besar seperti Tokopedia, Shopee, dan TikTok Shop mengungkapkan kekhawatiran bahwa kebijakan ini akan meningkatkan biaya operasional, yang pada akhirnya membebani pedagang. “Kami memahami pentingnya perpajakan yang adil, tetapi kebijakan ini perlu disosialisasikan lebih luas agar dampaknya bisa diminimalkan,” kata seorang juru bicara e-commerce yang enggan disebutkan namanya.
Keuntungan bagi Negara dan Tantangan Bagi Pelaku Usaha
Menurut pemerintah, langkah ini dirancang untuk memastikan pengelolaan pajak yang lebih efisien dan transparan. Menteri Keuangan Sri Mulyani menegaskan bahwa kebijakan ini juga bertujuan menutup celah aktivitas ekonomi tersembunyi, atau yang dikenal sebagai shadow economy. “Dengan melibatkan marketplace sebagai pihak pemungut, diharapkan kepatuhan perpajakan bisa meningkat tanpa menciptakan beban baru bagi pelaku usaha kecil,” kata Sri Mulyani dalam konferensi pers pekan lalu.
Kendati demikian, pelaku usaha kecil memiliki pandangan yang berbeda. Munziyah, seorang pedagang kosmetik online, mengaku khawatir dengan dampak aturan ini. “Pendapatan kami sudah tidak pasti. Kalau ditambah pajak lagi, bisa-bisa makin sulit. Tapi, kalau memang untuk kemajuan negara, ya, kita ikuti saja,” ujar Munziyah.
Sementara itu, Taufik Riyadi, pedagang alat pertanian di marketplace, berharap pemerintah berhati-hati dalam menerapkan aturan ini. “Pajak tidak masalah, asalkan tidak membuat barang dagangan kami jadi lebih mahal dan akhirnya tidak laku,” ujarnya.
Apakah Kebijakan Ini Penting?
Analis dari Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA), Fajry Akbar, menyebutkan bahwa kebijakan ini merupakan langkah penting untuk meningkatkan kepatuhan perpajakan. “Marketplace yang bertindak sebagai pemungut pajak justru memudahkan pelaku usaha UMKM. Selain itu, langkah ini akan membantu memperbaiki rasio pajak Indonesia yang selama ini rendah,” ujarnya dilansir dari BBC Indonesia.
Data dari Google, Temasek, dan Bain & Company menunjukkan bahwa ekonomi digital Indonesia terus bertumbuh. Pada 2024, nilai Gross Merchandise Value (GMV) sektor e-commerce Indonesia mencapai US$65 miliar, meningkat 11% dibandingkan tahun sebelumnya. Hal ini menjadikan Indonesia sebagai pasar ekonomi digital terbesar di Asia Tenggara.
Namun, tantangan tetap ada. Sebuah laporan dari DDTC menyebutkan bahwa lebih dari 40% pelaku UMKM tidak setuju jika marketplace memungut pajak mereka. Banyak yang khawatir kebijakan ini akan memicu peralihan usaha kembali ke ekonomi informal. “Pemerintah perlu memastikan sosialisasi dan integrasi data yang baik untuk menghindari kesalahpahaman dan dampak negatif,” ujar Direktur CELIOS, Nailul Huda.
Proses Regulasi Baru Pajak E-Commerce
Hingga kini, aturan baru terkait pajak e-commerce masih dalam tahap finalisasi. Pemerintah mengklaim telah melibatkan berbagai pihak dalam proses penyusunannya, termasuk pelaku industri dan pemangku kepentingan lainnya. “Kami ingin memastikan bahwa aturan ini diterima secara positif oleh publik,” kata Rosmauli.
DJP juga menekankan pentingnya transparansi dalam pelaksanaan kebijakan ini. “Jika aturan ini resmi diberlakukan, kami akan menyampaikan secara terbuka dan lengkap kepada masyarakat,” tambahnya.
Di sisi lain, pelaku usaha berharap pemerintah memberikan solusi nyata untuk mendukung stabilitas bisnis mereka.