Kanal24, Malang – Bantengan, seni tradisional khas Malang, bukan sekadar warisan budaya yang menghibur, melainkan juga identitas lokal yang kaya nilai historis dan spiritual. Namun, di balik gerakan dinamis dan atraksi memukau, tersimpan risiko keselamatan dan kesehatan yang jarang menjadi perhatian utama.
Melihat kebutuhan ini, tim pengabdian masyarakat Universitas Brawijaya (UB) yang dipimpin Prof. Dr. Ir. Qomariyatus Sholihah, ST., M.Kes., IPU., ASEAN Eng., mengambil langkah penting untuk mengedukasi pegiat seni tentang Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3).
Meningkatkan Keselamatan dalam Seni Tradisional
Dalam berbagai pentas, pegiat seni bantengan kerap tampil tanpa alas kaki, mengangkat properti berat seperti kepala bantengan hingga empat kilogram, atau melakukan gerakan berisiko tinggi.
Menurut Prof. Qomariyatus, hal-hal ini dapat menyebabkan cedera jika tidak ditangani dengan prosedur keselamatan yang tepat. “Kami mencoba menawarkan solusi untuk meminimalkan risiko cedera melalui edukasi K3, seperti penggunaan deker, selop, dan teknik mengangkat beban yang benar,” ujar Prof. Qomariyatus saat ditemui dalam kegiatan pengabdian masyarakat, mendampingi Kelompok Bantengan Mandala Putra Wisanggeni saat tampil dalam kegiatan Pomprov (27/6/2025).

Inisiatif pengabdian masyarakat UB ini bertujuan mencapai zero accident dalam setiap pertunjukan bantengan. Tim UB juga melibatkan mahasiswa dalam kegiatan ini untuk memberikan pengalaman langsung dalam mengaplikasikan teori K3 di lapangan.
Mengatasi Tantangan dan Pro Kontra
Dalam kegiatan ini, hadir pula Dr. Gatut Rubiono, pemerhati seni bantengan, menyampaikan bahwa seni ini tidak hanya memiliki nilai budaya, tetapi juga aspek ekonomi dan sosial. “Bantengan mendorong tumbuhnya UMKM, dari saweran hingga pedagang kaki lima. Namun, kita juga perlu memperhatikan keselamatan penggiatnya, mengingat banyak risiko fisik yang dihadapi,” jelasnya.

Meski begitu, terdapat tantangan dalam memperkenalkan konsep K3 pada seni tradisional yang kerap dikaitkan dengan unsur magis. Beberapa pegiat masih mengandalkan kepercayaan bahwa cedera minim terjadi karena perlindungan spiritual.
Namun, pendekatan berbasis sains tetap menjadi prioritas tim UB untuk mendukung keberlanjutan seni bantengan yang aman dan inklusif.
Dukungan dari Komunitas Bantengan
Junaedi, Wakil Ketua Bantengan Mandala Putra Wisanggeni mengapresiasi inisiatif ini. “Kami latihan seminggu sekali untuk menjaga kebugaran dan performa. Cedera ringan memang sering terjadi, tapi kami selalu membawa peralatan P3K. Dengan adanya edukasi K3, kami merasa lebih siap menghadapi risiko di lapangan,” ujarnya.

Melalui kolaborasi ini, tim UB dan komunitas bantengan berharap dapat meningkatkan kesadaran akan pentingnya keselamatan kerja tanpa mengurangi esensi seni itu sendiri.
“Budaya harus dilestarikan, tetapi juga harus aman, nyaman, dan membahagiakan bagi semua penggiatnya,” tutup Prof. Qomariyatus.
Langkah ini menandai komitmen Universitas Brawijaya untuk mendukung pelestarian budaya lokal melalui pendekatan berbasis edukasi dan keselamatan. Dengan dukungan berkelanjutan, diharapkan seni bantengan tetap menjadi kebanggaan Malang tanpa mengorbankan keselamatan para pelakunya.(Din/Pgh)