Seorang pembicara ulung yang mampu menghipnotis dan mempersuasi orang untuk berubah adalah seorang yang mampu menjadi pendengar yang baik. Mendengarkan adalah cara efektif untuk mempersuasi orang. Karena dengan mendengar akan memberikan banyak informasi pada diri seseorang atas apa yang diinginkan oleh orang lain. Disaat orang lain sedang merbicara maka sesungguhnya dia sedang membuka pintu rumahnya untuk kemudian setiap orang mengetahui apa yang ada pada seisi rumah sehingga memungkinkan seseorang mengenali dan mengetahui apa yang ada dan apa yang tidak ada atau tidak dimiliki dalam rumah itu. Dengan mendengarkan seseorang akan mengetahui sejauhmana kapasitas yang dimiliki oleh seseorang sehingga memudahkan melakukan identifikasi tentang bagaimana cara menaklukkannya.
Demikian pula dengan mendengarkan merupakan cara untuk memberikan penghargaan dan penghormatan pada orang lain. Disaat orang telah merasa diberi ruang penghormatan dan penghargaan serta kemuliaan maka dirinya tentu akan menganggap lawan bicara adalah orang terbaik yang layak untuk juga dihormati dan dihargai. Karena demikianlah sifat dasar manusia, yaitu manusia akan menghamba pada kebaikan. Manakala seseorang merasa dihargai oleh orang lain maka dia akan pula menghargai orang yang menghargainya. Demikianlah Islam memberikan arahan untuk saling menghormati dan menghargai. Mendengarkan adalah cara menghargai dan menghormati orang lain. Inilah kehidupan mutual yang ingin diciptakan oleh Islam dalam realitas masyarakat. Sebagaimana Firman Allah swt :
وَإِذَا حُيِّيتُم بِتَحِيَّةٖ فَحَيُّواْ بِأَحۡسَنَ مِنۡهَآ أَوۡ رُدُّوهَآۗ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ عَلَىٰ كُلِّ شَيۡءٍ حَسِيبًا
Dan apabila kamu dihormati dengan suatu (salam) penghormatan, maka balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik, atau balaslah (penghormatan itu, yang sepadan) dengannya. Sungguh, Allah memperhitungkan segala sesuatu. (QS. An-Nisa’ : 86)
Perintah mendengar adalah perintah terpenting untuk menemukan sebuah kebenaran, terlebih disaat dibacakan pada dirinya tentang alquran. Sebagaimana perintah dalam Firman Allah swt,
وَإِذَا قُرِئَ الْقُرْآنُ فَاسْتَمِعُوا لَهُ وَأَنْصِتُوا لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ
“Apabila dibacakan al-Quran, perhatikanlah dan diamlah, maka kalian akan mendapatkan rahmat.” (QS. al-A’raf: 204).
Alquran sebagai formulasi konten kebaikan, memberikan sebuah kesan bahwa seyogya-nyalah bagi seseorang untuk lebih mendahulukan keterampilan mendengar disaat berhadapan dengan presentasi kebenaran, sebagai bentuk apresiasi, penghargaan dan penghormatan atasnya. Keterampilan mendengarkan adalah cara untuk mendapatkan informasi lebih banyak lagi. Keterampilan mendengarkan memberikan kesempatan pada seseorang untuk merenungkan dan merefleksi nilai dan mendapatkan rahasia pesan yang ingin disampaikan. Demikianlah yang disampaikan oleh Allah dalam FirmanNya :
كِتَابٌ أَنْزَلْنَاهُ إِلَيْكَ مُبَارَكٌ لِيَدَّبَّرُوا آيَاتِهِ وَلِيَتَذَكَّرَ أُولُو الْأَلْبَابِ
Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka melakukan tadabbur terhadap ayat-ayatnya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai fikiran. (QS. Shad: 29)
Ketika Rasulullah melakukan da’wah secara jahr (terang-terangan), kaum kafir Quraisy mulai gelisah. Mereka ingin membendung da’wah Rasulullah dengan berbagai macam cara. Salah satunya adalah dengan mengutus Utbah bin Rabi’ah untuk melakukan negoisasi. Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa Utbah duduk di sebelah Rasulullah saw seraya berkata: “Wahai anak pamanku, sesungguhnya engkau mengetahui secara pasti kedudukanmu di tengah-tengah kaummu. Engkau telah memecah-belah barisan mereka, engkau caci-maki tuhan-tuhan mereka, dan engkau kafirkan nenek moyang mereka. Karena itu dengarkanlah kata-kataku: Aku akan menyampaikan beberapa tawaran, mudah-mudahan kamu mau menerima sebagiannya.” Rasulullah berkata: “Wahai Abul Walid, katakanlah. Aku akan mendengarnya.” Lalu Utbah bin Rabi’ah mengutarakan panjang lebar segala tawarannya. Ketika selesai, Rasulullah kembali bertanya: “Sudah selesaikah wahai Abul Walid?” Ia menjawab, “Sudah.”
Rasulullah kemudian berkata: Sekarang dengarkanlah kata-kataku. Ia pun menjawab: “Silahkan” Lalu Rasulullah membacakan beberapa ayat dari surat Fushilat. Sampai pada akhirnya beliau membaca ayat sajadah (ayat 37), dan beliau bersujud. Lengkapnya ayat itu berbunyi:
وَمِنۡ ءَايَٰتِهِ ٱلَّيۡلُ وَٱلنَّهَارُ وَٱلشَّمۡسُ وَٱلۡقَمَرُۚ لَا تَسۡجُدُواْ لِلشَّمۡسِ وَلَا لِلۡقَمَرِ وَٱسۡجُدُواْۤ لِلَّهِۤ ٱلَّذِي خَلَقَهُنَّ إِن كُنتُمۡ إِيَّاهُ تَعۡبُدُونَ
Dan sebagian dari tanda-tanda kebesaran-Nya ialah malam, siang, mata-hari dan bulan. Janganlah bersujud kepada matahari dan jangan (pula) kepada bulan, tetapi bersujudlah kepada Allah yang menciptakannya, jika kamu hanya menyembah kepada-Nya. (QS. Fushilat ; 37)
Setelah itu beliau berkata kepada Utbah, engkau telah mendengarkannya dan kini silahkan temukan sikapmu. Utbah segera bangkit dari tempat duduknya, lalu pergi menjumpai teman-temannya. Sebagian dari mereka berkata: “Demi Allah, Abul Walid datang kepada kalian dengan raut muka yang berbeda dengan ketika ia berangkat.” Utbah meminta kepada mereka supaya memanggil Rasulullah saw, akan tetapi mereka enggan. Mereka malah berkata: “Ia telah menyihirmu dengan ucapannya.”
Jika kita perhatikan dialog antara Rasulullah dengan Utbah sungguh sangat menarik. Selain bobot pembicaraannya yang bagus, cara dialognya juga mempesona. Rasulullah sebagai tuan rumah terlebih dahulu mempersilahkan tamunya untuk menyampaikan maksud kedatangannya. Dengan penuh perhatian beliau mendengarkan sampai pembicara tuntas menyampaikan maksudnya. Beliau tidak memotong pembicaraan lawan bicaranya, malah beliau bertanya kepadanya, Wahai Abul Walid, apakah kamu sudah selesai? Hal ini memberikan ruang penghargaan bagi lawan bicara sehingga merasa tersanjung dan terhormat dengan sikap diamnya Rasulullah.
Sebuah sihir komunikasi manakala seseorang hanya cukup diam saja dan mendengarkan dengan cara antusias atas komunikasi orang lain. Disaat demikian itulah seseorang akan merasa dihargai dan memberikan ruang dirinya untuk turut menghargai dan tunduk pada orang lain. Karena sejatinya manusia adalah budak kebaikan. Siapa yang memberikan kebaikan maka orang lain akan memberikan ketundukannya. Demikianlah mengapa kalangan Quraisy mengatakan bahwa Utbah telah tersihir. Itulah sihir komunikasi Rasulullah saw.
Jika dihitung, ucapan Utbah jauh lebih banyak dari ucapan Rasulullah. Bahkan beliau hampir tidak berkapa apa-apa kecuali sekadar membacakan beberapa ayat suci al-Qur’an. Justru dengan berhemat bicara inilah akhirnya Utbah kepincut, dan akhirnya menyerah. Dengan mendengarkan, Rasulullah berkesempatan untuk mengetahui lebih banyak tentang apa yang ada dalam pikiran lawan bicara.
Sihir terhebat dalam komunikasi bukanlah kepandaiannya berbicara melainkan kemampuannya mendengarkan ucapan orang lain secara antusias dan penuh penghargaan. Dalam diam ada kesempatan berpikir dan merenung serta menemukan ide baru serta memberikan apresiasi dan penghormatan bagi orang lain. Inilah cara hebat Islam dalam mengatur interaksi manusia, yaitu diamlah dan dengarkanlah, lalu lancarkan sihir anda !!.