Kanal24, Malang — Di era digital, kecerdasan buatan (AI) tidak lagi sekadar alat bantu, melainkan bagian integral dari praktik medis modern. Dalam bidang kedokteran gigi, terutama endodontik—cabang yang fokus pada perawatan jaringan pulpa dan akar gigi—AI membuka jalan bagi diagnosis yang lebih akurat dan efisiensi klinis yang belum pernah dicapai sebelumnya. Isu inilah yang menjadi fokus pembahasan drg. Dennis, Sp.KG.Subsp KE(K)., MDSc.Ph.D., dari Universitas Sumatera Utara dalam sesi bertajuk “Application of Artificial Intelligence in Clinical Dentistry and Endodontics” pada The 7th International Conference on Brawijaya Dentistry (ICBD) 2025 yang digelar oleh Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Brawijaya.
Dalam paparannya, drg. Dennis menjelaskan bahwa penerapan AI dalam kedokteran gigi telah berkembang pesat, terutama pada bidang diagnostik dan perawatan endodontik. “AI membantu meningkatkan akurasi diagnostik, mempercepat proses perencanaan perawatan, dan memungkinkan pendekatan yang lebih personal bagi pasien,” ujarnya (1/11/2025).
Penjelasan tersebut sejalan dengan data riset dari Journal of Endodontics tahun 2023 yang menunjukkan bahwa model AI mampu mengidentifikasi lesi periapikal, memetakan anatomi kanal akar, serta menentukan working length perawatan saluran akar dengan tingkat akurasi hingga 90 persen. Riset lain yang diterbitkan oleh National Library of Medicine tahun 2024 juga mencatat bahwa integrasi AI dalam endodontik mampu mengurangi beban kerja dokter gigi dan mempercepat proses pengambilan keputusan klinis, tanpa mengorbankan presisi hasil.
Dalam praktiknya, algoritma AI digunakan untuk menganalisis citra CBCT (Cone Beam Computed Tomography) maupun radiograf panoramik, mendeteksi retakan akar yang tidak tampak secara kasatmata, dan memprediksi risiko kegagalan pasca-perawatan. Teknologi ini, kata drg. Dennis, bahkan dapat menggabungkan data medis pasien—seperti kebiasaan hidup dan kondisi sistemik—untuk menghasilkan rekomendasi perawatan yang lebih komprehensif.
Namun, ia mengingatkan bahwa AI tidak boleh dianggap sebagai pengganti dokter. “AI memperkuat, bukan menggantikan, akal manusia,” tegasnya. Tantangan besar masih meliputi kualitas dataset, validasi algoritma, dan isu etika seperti privasi data pasien. “Integrasi teknologi harus tetap menempatkan keputusan akhir di tangan profesional, bukan mesin,” tambahnya.
Menurut drg. Dennis, salah satu potensi terbesar AI di bidang endodontik adalah kemampuannya untuk membantu dokter dalam pengambilan keputusan berbasis bukti (evidence-based decision-making). Ia menjelaskan bahwa sistem AI dapat belajar dari ribuan kasus serupa, mengenali pola yang tidak terdeteksi oleh mata manusia, dan memberikan peringatan dini terhadap potensi komplikasi. Dengan begitu, waktu diagnosis berkurang drastis, sementara tingkat keberhasilan perawatan meningkat.
Studi lain yang diterbitkan oleh Frontiers in Artificial Intelligence tahun 2024 mendukung pernyataan tersebut dengan menyebut bahwa penerapan deep learning dalam analisis radiograf gigi dapat meningkatkan efisiensi klinik hingga 40 persen dan mengurangi kesalahan diagnostik signifikan pada tahap awal. Temuan ini memperkuat pandangan bahwa AI bukan sekadar tren, melainkan kebutuhan di tengah tuntutan layanan medis yang cepat dan akurat.
Untuk publik awam, AI di bidang kedokteran gigi dapat diibaratkan seperti “rekan konsultatif” bagi dokter. Jika sebelumnya dokter hanya mengandalkan interpretasi manual dari radiograf, kini AI mampu menampilkan peta risiko visual, memprediksi hasil terapi, dan memberikan saran berbasis data besar. “Hal ini menjadikan pengalaman pasien lebih aman, cepat, dan tepat sasaran,” jelas drg. Dennis.
Penerapan AI di bidang endodontik juga dipandang sebagai langkah strategis menuju efisiensi sistem kesehatan nasional. Dengan jumlah tenaga dokter gigi yang masih terbatas, teknologi dapat berperan memperluas jangkauan layanan melalui decision support system yang membantu diagnosis jarak jauh.
Melalui ICBD 2025, Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Brawijaya memperkuat posisinya sebagai pelopor inovasi dalam pendidikan dan riset kedokteran gigi berbasis teknologi. Diskusi seperti yang dipaparkan drg. Dennis menunjukkan bagaimana kolaborasi antara sains, teknologi, dan praktik klinis mampu mendorong transformasi nyata dalam dunia kesehatan gigi.
Dalam konteks global, pendekatan ini menandai pergeseran penting: dari kedokteran gigi yang sepenuhnya manual menjadi kedokteran gigi berbasis data dan kecerdasan buatan. Seperti disampaikan drg. Dennis, “AI tidak membuat dokter kehilangan perannya, tapi justru mengembalikan fokus utama praktik medis: manusia yang lebih sehat dengan keputusan yang lebih cerdas.”(Din/Nid)










