oleh | Akhmad Muwafik Saleh
Loyalitas adalah puncak dari seluruh aktivitas pola hubungan interaksi manusia, baik dalam hubungannya dengan Ketuhanan dan antar manusia. Misal, hubungan keluarga, hubungan persahabatan, hubungan pertemanan, hubungan antara murid dan guru, hubungan dalam dunia bisnis dan ekonomi, hubungan politik, dan hubungan antar manusia lainnya.
Loyalitas adalah kesetiaan seseorang atas kesepakatan janji atau ikatan dari suatu hubungan dalam interaksi antar manusia. Suatu hubungan terjadi karena adanya kesepakatan atas suatu keyakinan bersama yang mendasari interaksi tersebut. Suatu pola hubungan atau interaksi antar manusia dianggap berhasil manakala interaksi tersebut mampu menghasilkan loyalitas antar individu. Sementara jika dalam suatu interaksi tidak ditemukan adanya loyalitas maka hubungan interaksi tersebut dapat dianggap gagal.
Loyalitas individu adalah sebuah alasan untuk memberikan kepercayaan pada seseorang atau tidak serta apakah terus akan melanjutkan interaksi hubungan atau memutuskannya. Karena dalam loyalitas maka seseorang akan dapat menilai apakah layak dipercaya atau tidak dan apakah layak menjadi bagian terpenting dalam sebuah kelompok atau tidak. Hal demikian dapat dianalisa dari kandungan teks sumber wahyu berikut :
قَالَتِ ٱلۡأَعۡرَابُ ءَامَنَّاۖ قُل لَّمۡ تُؤۡمِنُواْ وَلَٰكِن قُولُوٓاْ أَسۡلَمۡنَا وَلَمَّا يَدۡخُلِ ٱلۡإِيمَٰنُ فِي قُلُوبِكُمۡۖ وَإِن تُطِيعُواْ ٱللَّهَ وَرَسُولَهُۥ لَا يَلِتۡكُم مِّنۡ أَعۡمَٰلِكُمۡ شَيۡـًٔاۚ إِنَّ ٱللَّهَ غَفُورٞ رَّحِيمٌ
Orang-orang Arab Badui berkata, “Kami telah beriman.” Katakanlah (kepada mereka), “Kamu belum beriman, tetapi katakanlah ‘Kami telah tunduk (Islam),’ karena iman belum masuk ke dalam hatimu. Dan jika kamu taat kepada Allah dan Rasul-Nya, Dia tidak akan mengurangi sedikit pun (pahala) amal perbuatanmu. Sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.” (QS. Al-Hujurat, Ayat 14)
Dalam menjelaskan teks sumber wahyu diatas, Ibnu Katsir mengetengahkan suatu hadits Nabi yang menjelaskan tentang perlakuan Nabi atas dua orang secara berbeda yang di dasari atas suatu argumentasi tersendiri. Sebagaimana dijelaskan dalam hadits berikut :
حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّزَّاقِ أَنْبَأَنَا مَعْمَرٌ عَنِ الزُّهْرِيِّ عَنْ عَامِرِ بْنِ سَعْدِ بْنِ أَبِي وَقَّاصٍ عَنْ أَبِيهِ قَالَ : أَعْطَى النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رِجَالًا وَلَمْ يُعْطِ رَجُلًا مِنْهُمْ شَيْئًا فَقَالَ سَعْدٌ يَا نَبِيَّ اللَّهِ أَعْطَيْتَ فُلَانًا وَفُلَانًا وَلَمْ تُعْطِ فُلَانًا شَيْئًا وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَوْ مُسْلِمٌ حَتَّى أَعَادَهَا سَعْدٌ ثَلَاثًا وَالنَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ أَوْ مُسْلِمٌ ثُمَّ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنِّي لَأُعْطِي رِجَالًا وَأَدَعُ مَنْ هُوَ أَحَبُّ إِلَيَّ مِنْهُمْ فَلَا أُعْطِيهِ شَيْئًا مَخَافَةَ أَنْ يُكَبُّوا فِي النَّارِ عَلَى وُجُوهِهِمْ
Telah menceritakan kepada kami Abdurrazzaq telah memberitakan kepada kami Ma’mar dari Az Zuhri dari ‘Amir bin Sa’d bin Abu Waqash dari bapaknya berkata; “Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memberikan sesuatu kepada beberapa orang lelaki namun tidak memberi kepada seorang lelaki sedikitpun.” Sa’d bertanya; “Wahai Rasulullah, anda memberi fulan dan fulan sementara tidak memberi fulan sedikitpun padahal dia adalah seorang mukmin?” Maka Nabi balik bertanya; “Apakah dia seorang muslim.” Sa’d mengulanginya tiga kali dan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tetap menjawab; “Apakah dia seorang muslim.” Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Sungguh aku akan memberi beberapa lelaki dan membiarkan orang yang lebih aku cintai diantara mereka, maka aku tidak akan memberinya sedikitpun karena khawatir mereka akan di telungkupkan di neraka diatas wajah-wajah mereka.” (HR. Ahmad: 1440)
Dari sabda Nabi ini dapat dipahami bahwa seseorang baru dikatakan memiliki loyalitas atas keimanannya manakala memiliki rasa tanggungjawab sehingga layak dipercaya untuk menerima amanah. Sebagaimana Nabi memberikan amanah pada seseorang yang dianggap mampu memenuhi kriteria iman sehingga disebutnya dengan istilah mukminun (seorang yang beriman). Artinya pada diri orang tersebut terdapat loyalitas atas keimanannya yaitu berupa kemampuannya dalam menjaga amanah dan memiliki rasa tanggungjawab yang tinggi sehingga oleh Nabi dianggap layak mendapatkan amanah harta.
Sementara seseorang yang loyalitasnya masih belum teruji, maka baginya belum layak berada dalam kategori (kelompok) mukmin. Namun mereka masih berada dalam kategori muslim, yaitu seseorang yang telah menyatakan beriman namun belum sampai pada loyalitas tinggi sebagai orang mukmin yaitu yang dicirikan dengan :
1. Mesediaan untuk bertanggungjawab penuh atas amanahnya,
2. Terus menerus dan setia berada dalam jalan kebaikan dan kebenaran,
3. Bersedia mengajak orang lain untuk ikut percaya dan menjadi bagian dari kelompok loyalis.
4. Bersedia berkorban untuk kelompok,
5. Rela menjadi “tameng” dan pembela setia bahkan bersedia bertaruh dengan jiwanya untuk mempertahankan kehormatan kelompok.
Jika seseorang memiliki salah satu kriteria sebagaimana tersebut diatas maka mereka telah menjadi bagian dari para loyalis.
Tercatatlah sebuah kisah tentang tingginya loyalitas sahabat Nabi atas keimanan dan kesediaan mereka berkorban serta memenuhi panggilan jihad sekalipun mereka dalam sebuah kesibukan, namun mereka lebih mendahulukan panggilan Nabi tersebut. Sebagaimana diriwayatkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan para sahabatnya berangkat sehingga mereka lebih dahulu tiba di Badar daripada kaum musyrikin. Tidak lama kemudian kaum musyrikin tiba, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallambersabda, “Janganlah salah satu diantara kalian bertindak sedikitpun sebelum ada perintah dariku.” Ketika kaum musyrikin semakin dekat, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Majulah kalian menuju surga, yang luasnya seluas langit dan bumi.” Anas berkata, “Tiba-tiba ‘Umair bin Al-Humam Al-Anshari berkata, “Ya Rasulullah, surga yang luasnya seluas langit dan bumi?” Beliau menjawab: “Ya.” ‘Umair berkata, “Wah, wah!” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallambersabda, “Mengapa kamu mengatakan wah, wah?” Umair menjawab, “Tidak, demi Allah wahai Rasulullah, saya tidak mengucapkannya kecuali karena saya mengharap semoga saya menjadi penghuninya.” Beliau bersabda, “Sesungguhnya kamu termasuk dari penghuninya.” Kemudian dia mengeluarkan beberapa butir kurma dari dalam sakunya dan memakannya sebagian. Sesudah itu dia berkata, “Jika saya masih hidup sampai aku menghabiskan semua kurmaku ini, tentunya itu adalah kehidupan yang lama.” Anas berkata, “Maka kurma yang masih tersisa di tangannya dia lemparkan begitu saja kemudian dia pergi bertempur hingga gugur.” (HR. Muslim no. 1901).
Dari kisah diatas menunjukkan bahwa loyalitas hanyalah milik orang-orang yang beriman (mukminun) yaitu orang-orang yang utuh keyakinannya tidak tergoyahkan hingga mereka rela berkorban dan menjadi “tameng” disaat mendapatkan gempuran dari luar, berupa ketidakpercayaan, fitnah, rumor dan sebagainya. Karena itu, loyalitas adalah puncak dari seluruh pola hubungan aktifitas kemanusiaan yang menghasilkan pengorbanan dari setiap anggota.
Penulis KH Akhmad Muwafik Saleh Pengasuh Pesma Tanwirul Afkar dan Dosen FISIP UB