Dalam beberapa kesempatan sering kali kita mendengar sebuah narasi yang seakan baik dan mendamaikan hati, sebuah ungkapan berupa ajakan yang menyatakan “Berdakwah itu harus lemah lembut dan menjauhkan dari kekerasan”, sepintas kalimat ini sangat baik karena mengajak orang pada kelembutan sikap dan menjauhkan dari perbuatan yang jauh dari kebaikan. Agar tidak terjadi klaim kebenaran secara sepihak maka hal ini perlu dianalisa lebih bijak. Atau bahkan tudingan bahwa seseorang atau suatu kelompok termasuk golongan yang keras dalam berdakwah hingga mendapatkan label radikal dan ekstrim hanya sebab pemahaman yang kurang komprehensif dan penggunaan istilah yang kurang bijak.
Bahkan dalam beberapa kesempatan anjuran kalimat tersebut disandingkan atau dimaksudkan untuk menghadap-hadapkan dengan gerakan dakwah yang berfokus pada penolakan atas kemungkaran atau nahi mungkar maka kalimat tersebut terkesan menjadi sangat tendensius untuk menyudutkan sebuah pola gerakan tertentu dan menjadikan kalimat ajakan tersebut kurang tepat penggunaannya.
Terlebih dahulu perlu disepakati apa arti kalimat “lembut, keras dan atau tegas”, agar penggunaan kata tersebut lebih proporsional dan tidak mendhalimi. Apakah yang dimaksud dengan keras ? Keras dalam hal apa? Volume kah, konsepsi ide kah ? Atau dalam mensikapi realitas kah? Jika yang dimaksud keras adalah volume dan ide maka hal ini adalah salah tudingan karena istilah keras tidaklah tepat dipergunakan untuk hal tersebut.
Namun jika yang dimaksud keras adalah suatu tindakan tertentu yang merusak sehingga perbuatannya dikategorikan melakukan kekerasan maka hal ini pun juga perlu diberi batasan. Jika yang dimaksud melakukan kekerasan dalam berdakwah disebabkan karena dianggap melakukan tindakan anarkis semisal menghancurkan kafe-kafe maksiat atau rumah perjudian maka hal ini perlu lebih diteliti lebih jeli tentang bagaimana rangkaian utuh proses terjadinya peristiwa sehingga lahir tindakan demikian. Karena jangan sampai kita melabelkan buruk sebab faktor framing media yang sengaja ingin melabelkan hal itu pada suatu kelompok tertentu.
Sebenarnya persoalan “sejuk dan keras” dalam berdakwah bermula dari dua pola pendekatan dalam melakukan dakwah, amar ma’ruf di satu sisi dan nahi mungkar di sisi yang lain. Dalam dakwah yang berfokus pada amar ma’ruf maka pada hal ini tentu haruslah mengedepankan kelemahlembutan dan menjauhkan dari kekerasan sikap. Sebagaimana Firman Allah swt :
فَبِمَا رَحۡمَةٖ مِّنَ ٱللَّهِ لِنتَ لَهُمۡۖ وَلَوۡ كُنتَ فَظًّا غَلِيظَ ٱلۡقَلۡبِ لَٱنفَضُّواْ مِنۡ حَوۡلِكَۖ فَٱعۡفُ عَنۡهُمۡ وَٱسۡتَغۡفِرۡ لَهُمۡ وَشَاوِرۡهُمۡ فِي ٱلۡأَمۡرِۖ فَإِذَا عَزَمۡتَ فَتَوَكَّلۡ عَلَى ٱللَّهِۚ إِنَّ ٱللَّهَ يُحِبُّ ٱلۡمُتَوَكِّلِينَ
Maka berkat rahmat Allah engkau (Muhammad) berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya engkau bersikap keras dan berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekitarmu. Karena itu maafkanlah mereka dan mohonkanlah ampunan untuk mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian, apabila engkau telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah. Sungguh, Allah mencintai orang yang bertawakal. (QS. Ali ‘Imran : 159).
Jadi sikap lemah lembut disini adalah sifat kasih sayang, penuh perhatian dan kepedulian serta pengayoman terhadap objek dakwah . Hal ini merujuk pada sifat dan akhlaq nabi Muhammad yang penyantun dan penyayang kepada ummatnya.
Kemudian yang disebut dengan keras dalam bersikap (فظا) adalah berhati kasar (غليظ القلب)، atau kekerasan sikap yang disebabkan oleh hati yang kasar, yaitu hati yang jauh dari iman dan jauh ingat pada Allah sehingga kalimat yang keluar dari lisannya adalah kalimat yang buruk, jelek dan mungkar. Artinya sebuah perilaku yang keluar dari jiwa yang jauh dari tujuan dakwah sebab dibingkai oleh hati yang telah mati.
Kekerasan adalah tanda kekasaran hati sehingga melahirkan tindakan yang tidak berperikemanusiaan dan jauh dari akhlaq karimah. Hal ini tentu berbeda dengan sikap tegas. Haruslah dibedakan antara keras atau kekerasan dengan tegas atau ketegasan.
Kedua diksi ini haruslah diletakkan dalam konteksnya yang berbeda pula jangan sampai salah melabelkan kedua kalimat yang berbeda pada satu perilaku khususnya dalam dakwah yang memang membutuhkan kehadiran sikap tegas yang dilakukan para ulama atau para dai yang mengambil jalan penolakan atas kemungkaran (nahi mungkar).
Sebab dalam penegakan amar ma’ruf dan nahi mungkar memiliki pendekatan yang berbeda. Amar ma’ruf wajib dilakukan secara lemah lembut, hikmah dan pengajaran yang baik. Sementara penegakan nahi mungkar (hisbah) membutuhkan ketegasan dalam bersikap. Tidaklah mungkin hal yang bersikap menolak dilakukan dengan cara lembut. Hal ini terindikasi dalam hadist nabi berikut :
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ صَخْر رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ : مَا نَهَيْتُكُمْ عَنْهُ فَاجْتَنِبُوْهُ، وَمَا أَمَرْتُكُمْ بِهِ فَأْتُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ، فَإِنَّمَا أَهْلَكَ الَّذِيْنَ مَنْ قَبْلَكُمْ كَثْرَةُ مَسَائِلِهِمْ وَاخْتِلاَفُهُمْ عَلَى أَنْبِيَائِهِمْ
Dari Abu Hurairah radhiallahu’anhu ia berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda, “Apa yang aku larang hendaklah kalian menjauhinya, dan apa yang aku perintahkan maka lakukanlah semampu kalian. Sesungguhnya binasanya orang-orang sebelum kalian adalah karena mereka banyak bertanya dan karena penentangan mereka terhadap para nabi mereka” (HR. Bukhari dan Muslim)
Hadist ini memberikan sebuah indikasi (qorinah) bahwa pada hal yang bersifat nahi mungkar maka lakukan penolakan itu secara tegas, hal ini terungkap dalam penggunaan kata فَاجْتَنِبُوْهُ , “jauhilah”, menggunakan bina’ fiil amar yang dalam kaidah ushul bermakna wajib tanpa tawaran. Artinya penegakan nahi mungkar haruslah dilakukan secara tegas namun tetap dalam koridor akhlaqul karimah.
Sementara dalam masalah perintah atau amar ma’ruf maka Rasulullah memberikan ruang toleransi dengan menggunakan kata فَأْتُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ, “lakukanlah semampu kalian”, hal ini menandakan bahwa pelaksanaan perintah (amar ma’ruf) memberikan kesempatan toleransi dalam mewujudkannya, hal ini berarti perlu kesabaran dan kelembutan dalam mengajak orang melakukan kebaikan.
Sikap tegas (bukan kasar atau keras) dalam penegakan nahi mungkar ini dipertegas dengan sebuah riwayat Ali bin Mudrik meriwayatkan dari Abu Amir Al-Asy’ari bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepadanya, “Wahai Abu Amir, tidakkah engkau beramar makruf nahi mungkar?” mendapat pertanyaan tersebut, ia menjawab dengan membaca ayat berikut:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا عَلَيْكُمْ أَنْفُسَكُمْ لا يَضُرُّكُمْ مَنْ ضَلَّ إِذَا اهْتَدَيْتُمْ إِلَى اللَّهِ مَرْجِعُكُمْ جَمِيعًا فَيُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu. Tiadalah orang yang sesat itu akan memberi mudharat kepadamu apabila kamu telah mendapat petunjuk. Hanya kepada Allah kamu kembali semuanya, maka Dia akan menerangkan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.”(Al-Mâidah: 105)
Mendengar jawaban tersebut, Rasulullah pun marah besar dan bersabda, “Apa yang kalian ketahui tentang ayat ini? Sesungguhnya ayat ini maksudnya adalah, ‘Wahai orang-orang yang beriman, tidaklah menyusahkan kalian orang-orang yang tersesat dari orang-orang kafir jika kalian telah mendapatkan petunjuk’.” (HR. Ahmad dan Ath-Thabrani)
Dalam riwayat lain dari Abu Bakar Ash Shiddiq radhiallahu ‘anhu, disebutkan bahwa beliau juga pernah menegur mereka yang salah dalam memahami ayat di atas dengan berkata,
إِنَّ النَّاسَ إِذَا رَأَوْا الظَّالِمَ فَلَمْ يَأْخُذُوْا عَلَى يَدَيْهِ اَوْشَكَ أَنْ يَعُمَّهُمُ اللهُ بِعِقَابٍ مَنْهُ
“Wahai manusia, sesungguhnya engkau membaca ayat ini (ayat di atas). Sesungguhnya aku mendengar Rasulullah bersabda: ‘Sesungguhnya manusia jika telah melihat orang zalim lalu mereka tidak mencegahnya maka dikhawatirkan, Allah akan segera menimpakan bencana dari-Nya terhadap mereka semuanya secara menyeluruh’.” (HR At-Turmudzi dan Ahmad).
Bahkan dalam sebuah kesempatan bagaimana nabi saw begitu tegas dan marah atas tindakan yang dilakukan oleh bani qainuqa yang melecehkan ummat islam sehingga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memobilisasi pasukan untuk membela seorang wanita muslimah yang tersingkap auratnya dan membela darah seorang muslim yang tertumpah. Ini sikap tegas nabi, bukan keras (kekerasan)‼
Disinilah harus kita pahami bahwa sikap tegas berbeda dengan keras atau kekerasan. Tegas adalah menyatakan suatu kebenaran apa adanya, bahwa benar adalah benar dan salah adalah salah atau meluruskan sesuatu yang salah atau bengkok dengan lugas (secara bijak dengan gaya komunikasi yang mungkin setiap orang bisa berbeda, berdasarkan konteks dan budaya penyampai). Kesimpulannya adalah bahwa yang dimaksud tegas adalah Orang yang tidak ragu bersikap dan menyampaikan kebenaran dengan apa adanya. Bukan sebaliknya yang meletakkan kebenaran dan kebathilan atau kemungkaran dalam posisi abu-abu, yaitu antara benar dan salah dalam posisi yang serba gamang dan ragu. Demikianlah beda antara tegas dan keras.
Namun sayangnya banyak orang meletakkan tidak proporsional dan serampangan dalam penggunaan kedua istilah ini hanya untuk mendiskreditkan pihak yang berlawanan dan berbeda pendekatan dakwahnya, terlebih apabila hanya mendasarkan pada perbedaan gaya komunikasi yang dipengaruhi faktor budaya dan lokalitas penyampai. Tentu hal ini adalah sebuah tindakan yang naif ‼.
Bahkan jika ketegasan sikap yang dilabelkan dengan keras/kekerasan tersebut disandingkan dengan istilah “sejuk” atau dakwah yang sejuk. Yang juga terkadang mereka cenderung bersembunyi dibalik kata “sejuk” tersebut untuk menutupi sikap permisifitasnya atas kemungkaran. Na’udzubillahi min dzalik
Semoga kita termasuk dalam golongan ummat Muhammad yang mampu berlaku adil dalam meletakkan pe-label-an pada sesama muslim dengan bijak. Semoga kita dapat menghargai perbedaan setiap pola gerakan dakwah yang beragam dan merajutnya dalam ikatan ukhuwah islamiyah. Sebab toleransi (tasamuh) itu hanya dalam muamalah kemanusiaan bukan dalam urusan akidah dan ibadah. Semoga kita diselamatkan dari sikap lentur yang merusak aqidah dan dijauhkan dari sikap ghuluw (berlebihan) yang melampaui batas. Aamiiiiinn…..
Akhmad Muwafik Saleh Dosen Fisip UB dan Motivator