Islam adalah agama yang indah, mengajarkan ummat manusia untuk saling menghormati, saling menghargai dan saling peduli serta saling menunjukkan sikap antusias antara yang satu dengan yang lain disaat sedang berinteraksi. Dengan hubungan yang saling itulah maka akan tercipta kehidupan yang harmonis dan membahagiakan. Masyarakat hidup dalam suasana yang nyaman dan merasa dimanusiakan (human humanization). Anjuran untuk saling memanusiakan manusia dengan saling perhatian dan penghormatan, kehidupan yang mutual ini secara tegas disebutkan dalam Firman Allah swt :
وَإِذَا حُيِّيتُم بِتَحِيَّةٖ فَحَيُّواْ بِأَحۡسَنَ مِنۡهَآ أَوۡ رُدُّوهَآۗ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ عَلَىٰ كُلِّ شَيۡءٍ حَسِيبًا
Dan apabila kamu dihormati dengan suatu (salam) penghormatan, maka balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik, atau balaslah (penghormatan itu, yang sepadan) dengannya. Sungguh, Allah memperhitungkan segala sesuatu. (QS. An-Nisa’ : 86)
Namun dalam realitasnya, disaat kehidupan semakin canggih yang ditandai dengan lahirnya revolusi teknologi informasi dan komunikasi, muncullah kebiasaan baru dikalangan orang-orang zaman now ini yaitu disaat berinteraksi dan berkomunikasi dengan orang lain adalah suka menyibukkan diri sendiri sementara ada orang disampingnya, mereka seakan menganggap tidak ada keberadaan orang lain dihadapannya, seperti perilaku bermain handphone (HP). Mereka lebih suka berkomunikasi dengan orang yang jauh dibandingkan dengan orang dekat yang ada disampingnya. Janganlah dikira bahwa saat orang sedang berkumpul lalu banyak diantara mereka yang menunduk adalah tanda tawadhu (rendah hati), melainkan mereka sedang sibuk dengan orang lain yang tidak ada di dekatnya. Inilah sebuah keanehan zaman akhir.
Menyibukkan diri sendiri di saat berinteraksi dengan orang lain merupakan buruknya akhlaq sebab Islam sangat mengajarkan untuk menghormati orang lain. Bahkan saat bertamu pun tidak sedikit seseorang yang menyepelekan keberadaan orang lain baik terhadap tamunya atau terhadap tuan rumahnya dan menyibukkan diri dengan HP nya. Hal demikian sangat dicela dalam Islam karena Islam mengajarkan untuk memuliakan tamu (ikramud dhaif), sebagaimana sabda Nabi :
مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَاْليَوْمِ اْلأخِرِ فَلْيُكْرِمْ ضَيْفَهُ
“Barang siapa yang beriman pada Allah dan hari akhir maka hendaklah dia memuliakan tamunya.” (HR. Bukhari)
Bahkan memuliakan orang lain atau tamu dalam konsepsi Islam sangatlah terkait dengan pemahaman dan konsekwensi keimanannya kepada Allah dan hari pembalasan. Disaat seseorang menyepelekan orang lain dengan menyibukkan diri atas tindakan-tindakan sepele lainnya (seperti bermain HP) maka hal demikian sangat dibenci oleh Rasulullah. Sebagaimana dalam sebuah hadits dari ibnu ‘Abbas, beliau berkata,
إنّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اتَّخَذَ خَاتَمًا فَلَبِسَهُ قَالَ : شَغَلَنِي هَذَا عَنْكُمْ مُنْذُ الْيَوْمَ إِلَيْهِ نَظْرَةٌ وَإِلَيْكُمْ نَظْرَةٌ ثُمَّ أَلْقَاهُ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mempunyai sebuah cincin dan memakainya, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Cincin ini telah menyibukkanku dari (memperhatikan) kalian sejak hari ini (aku memakainya), sesaat aku memandangnya dan sesaat aku melihat kalian”. kemudian beliaupun melempar cincin tersebut.”(Shahih An Nasa’i : 5304)
Betapa Rasulullah sangatlah memperdulikan keberadaan orang yang ada disekitarnya karena ingin memberikan perhormatan yang terbaik kepada orang lain, sehingga dia bersedia menanggalkan segala yang dapat mengganggunya dalam penghormatan kepada yang lain. Karena penghormatan adalah wujud keimanan, maka seseorang yang memiliki iman kuat tentulah akan sangat menghormati keberadaan orang lain yang ada di sekitarnya. Bahkan nabi pernah diingatkan oleh Allah swt tatkala tidak memperdulikan serta menyepelakan keberadaan orang lain yang berada di sekitarnya. Sebagaimana peringatan Allah swt disaat Abdullah bin Ummi Maktum sedang mendatangi Rasulullah swt sementara beliau sedang sangat “khusyu'” dengan para pembesar, sebagaimana dalam FirmanNya ;
عَبَسَ وَتَوَلَّىٰۤ . أَن جَاۤءَهُ ٱلۡأَعۡمَىٰ . وَمَا یُدۡرِیكَ لَعَلَّهُۥ یَزَّكَّىٰۤ .
Dia (Muhammad) bermuka masam dan berpaling. karena telah datang seorang buta kepadanya. Tahukah kamu barangkali ia ingin membersihkan dirinya (dari dosa). (QS.Abasa: 1-3)
Seseorang yang menyibukkan dirinya dengan hp atau gadhet saat berinteraksi dengan orang lain bisa jadi adalah bukti ketidakpercayaan dirinya dalam berkomunikasi dengan orang lain. Mungkin karena mereka tidak memiliki topik atau kehabisan topik perbincangan dan mungkin pula ketidaksediaan untuk menerima kehadiran orang lain dalam dirinya. Gadget telah menjadikan seseorang menjadi sangat egois dan tidak memperdulikan orang lain. Hal ini sangat bertentangan dengan ajaran Islam yang sangat menghormati kebersamaan, bahkan dalam banyak peribadatan Islam menekankan pentingnya kejamaahan.
Seorang yang menyibukkan diri dengan gadget saat interaksi sebenarna memiliki penghormatan yang rendah terhadap orang lain yang menandakan sedikitnya adab (qalil adab). Yaitu adab dalam berinteraksi dengan orang lain yang harusnya penuh perhatian, antusias dan penuh senyuman. Perhatikan bagaimana Rasulullah memberikan contoh antusiasme dengan menghadapkan seluruh tubuhnya disaat sedang berbicara dengan seseorang. Sebagaimana dalam sebuah riwayat dari Abu Hurairahra berkata, “Sesungguhnya Rasulullah tdk pernah berbicara dgn seseorang melainkan beliau menghadapkan wajahnya pada wajah teman bicaranya dan takkan berpaling sebelum ia selesai bicara” (HR. Ath-Thabrani)
Islam sangat menganjurkan ummatnya untuk bersikap antusiasme dan sebaliknya Islam melarangan untuk menyepelekan dan menganggap tiada orang disekitar saat berinteraksi dan berkomunikasi. Hal ini sangat jelas tampak pada teguran Allah swt atas nabi sebagaimana dalam surat ‘Abasa tersebut. Antusiasme komunikasi di dalam Islam bahkan sangat terkait dengan implementasi atau wujud keimanan seseorang sebagaimana sabda nabi diatas. Demikian pula sabda nabi berikut:
عَنْ أَبِي ذَرٍّ قَالَ قَالَ لِيَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا تَحْقِرَنَّ مِنْ الْمَعْرُوفِ شَيْئًا وَلَوْ أَنْ تَلْقَى أَخَاكَ بِوَجْهٍ طَلْقٍ
Dari Abu Dzar dia berkata; Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berkata kepadaku: “Janganlah kamu menganggap remeh sedikitpun terhadap kebaikan, walaupun kamu hanya bermanis muka kepada saudaramu (sesama muslim) ketika bertemu.” (HR.Muslim. no. 4760)
Bahkan beberapa jejak akhlaq berkomunikasi dari para sahabat nabi mrnjelaskan, sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Abbas menjelasakan tiga sikap yang baik ketika berbicara. Beliau berkata,
لجليسي عليَّ ثلاثٌ : أن أَرميه بطَرفي إذا أقبل و أن أُوِّسعَ له في الَمجلس إذا جلس , و أن أصغي إليه إذا تحدث
“Teman dudukku (teman bicara) mempunyai tiga hak yang menjadi kewajibanku: Aku arahkan pandanganku padanya jika berbicara. Aku luaskan tempat duduknya jika ia akan duduk (mempersilahkan dan beri tempat yang nyaman, pent). Aku dengarkan seksama jika ia berbicara.”
Selanjutnya Ataa’ bin Abi Rabah berkata,
إن الرجل ليحدِّثني بالحديث فأنصت له كأني لم أسمعه وقد سمعته قبل أن يولد
“Ada seseorang laki-laki menceritakan kepadaku suatu cerita, maka aku diam untuk benar-benar mendengarnya, seolah-olah aku tidak pernah mendengar cerita itu, padahal sungguh aku pernah mendengar cerita itu sebelum ia dilahirkan.”
Demikian pula Al-Hasan Al-Bashri berkata,
إذا جالست فكن على أن تسمع أحرص منك على أن تقول , و تعلم حسن الاستماع كما تتعلم حسن القول , و لا تقطع على أحد حديثه
“Apabila engkau sedang duduk berbicara dengan orang lain, hendaknya engkau bersemangat mendengar melebihi semangat engkau berbicara. Belajarlah menjadi pendengar yang baik sebagaimana engkau belajar menjadi pembicara yang baik. Janganlah engkau memotong pembicaraan orang lain.”
Semoga kemuliaan akhlaq nabi dalam menunjukkan antusiasme ini mampu menjadi contoh bagi ummat manusia untuk menirunya dalam berinteraksi dan berkomunikasi dengan orang lain. Karena antusiasme adalah bagian dari perwujudan keimanan seseorang. Antusiasme lah, berikan perhormatan dan raihlah kehormatan serta saatnya letakkan dan tanggalkan gadgetmu saat berinteraksi dengan orang lain.