KANAL24, Jakarta – Bisnis ‘bakar-bakar’ uang ala OVO dianggap tidak sehat dan hanya bersifat sementara atau temporary. Langkah Lippo Group yang melepas 70 persen saham OVO pun dianggap merupakan keputusan yang tepat untuk menyelamatkan keuangan perusahaan.
Peneliti Ekonomi Digital dari Institut Development for Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira mengatakan, persaingan bisnis pembayaran digital di Indonesia seperti halnya OVO dan Gopay itu dianggap sudah tidak sehat dan sangat berisiko menimbulkan bubble ekonomi atau kesulitan likuiditas startup.
“Jadi harus disuntik terus untuk bertahan dan membakar uang. Ini terus berlanjut dan menimbulkan persaingan tidak sehat. Ini yang disebut race to the bottom, atau berkejaran tapi bukan keatas, tapi malah ke bawah, bakar uang. Jadi yang paling banyak bakar uang yang menang. Ini tidak sehat,” ujar Bhima, Senin (2/12/2019).
Situasi bisnis seperti ini, lanjut Bhima, sangat berisiko menimbulkan masalah dikemudian hari. Di sisi lain, start up baru yang ingin muncul ke permukaan akan menjadi sulit berkambang karena harus berhadapan dengan pemain besar yang memiliki modal besar untuk terus membakar uang.
“Di dunia digital ini, namanya bakar uang tidak ada loyalitas konsumen. Jadi sekali dia berhenti bakar uang, konsumen akan pindah ke start up lainnya. Jadi percuma dia mau lomba bakar uang, yang menang tentu yang paling banyak bakar uangnya. Ini gak sehat, persaingan usaha juga gak sehat,” tuturnya.
Sementara itu, Bhima menyebut bahwa langkah Lippo Group mengurangi kepemilikan saham OVO bisa juga disebabkan bisnis utama perseroan memang sedang menurun. Sebagaimana diketahui, bisnis utama Lippo Group adalah di sektor properti yang saat ini kinerjanya sedang menurun.
“Untuk properti ini juga pasarnya sedang lesu, kalau kita melihat data-data pertumbuhan kredit KPR (Kredit Pemilikan Rumah), KPA (Kredit Pemilikan Apartemen) juga rendah. Artinya si induk korporasinya sendiri memang menghadapi banyak tantangan,” pungkasnya. (sdk)