Ada pemandangan berbeda pada pasar-pasar di Jawa dalam dua hari terakhir (H+5 s.d. H+7 Lebaran), yakni muncul mencolok barang-barang dagangan tertentu yang pada hari-hari biasa tidak ada atau sedikit ada, yakni daun kelapa muda (janur), wadah beras rebus dari anyaman janur (ketupat), nangka muda (tewel), dan daun pisang. Tidak sulit untuk dapat menjelaskan latar fenomena dadakan ini, yakni jelang pelaksanaan “Bodo Kupat”. Saat ini adalah apa.yang disebut dengan “prepekan” bagi Rioyo Kupat, yang bakal tiba pada hari ini (Rabu 12 Juni 2019). Fenomena tersebut sekaligus menjadi indikator bahwa “Tradisi Kupatan” masih eksis pada kaum Muslim pemangku budaya Jawa.
A. Sebutan Khusus “Bodo Kupat”
Sesuai penamaannya, yaitu “Rioyo Kupat (Hari Raya Ketupat)”, unsur pokok dari rioyo (bodo) ini adalah kuliner khusus, yaitu penganan yang berupa ketupat (kupat). Bodo kupat masuk dalam lingkup Lebaran (Hari Raya Idul Fitri). Pelaksanaannya pada hari terakhir “Pekan Lebaran”, yakni H+8 Lebaran, yakni pasca Puasa Syawal (hari ke-2 s.d. ke-7 bulan Syawal) Berbeda dengan Bodo (Rioyo/Hari Raya) Idul Fitri yang diawali dengan Sholad Id di pagi hari, pada Bodo Kupat yang juga dimulai di pagi hari tidak menyelenggarakan ritual sholat. Kalaupun ada ritual doa, itu lebih merupakan doa keselamatan sebagaimana pada doa keselamatan-keselamatan (keslametan) lainnya. Oleh karena ini Bodo Kupat adalah selamatan (slametan, kenduri), maka ada yang menyebutinya dengan “Slametan Kupat”, atau cukup disebut singkat dengan ‘”Kupatan”.
Tak semua umat Islam melaksanakan Bodo Kupat. Ritus ini lebih merupakan ritus adat ketimbang ritus agama. Oleh karena itu, tidak menyelenggarakan pun tidak dipandang sebagai tidak menjalankan syariat agama dalam Islam. Kendati lebih merupakan ritual adat, namun nuansa keagamaan yang Islami tampak cukup kental, seperti terlihat pada: (a) pelakunya, yang sebagian besar adalah umat muslim, (b) doa yang dipanjatkan bersumber pada ayat suci Alqur’an, (b) selamatan acap dilakukan di masjid ataupun musholah, dan (d) diposisikan dalam satu rangkaian panjang dengan puasa Ramadhan dan Hari Raya Idul Fitri. Ada sebagian warga Muslim.di Jawa yang memposisikan Bodo Kupat sebagai petanda berakhirnya (bakdo, ba’dal puasa Syawal), sedangkan Bodo Idul Fitri dengan bakdo-nya puasa sebulan di bulan Ramadhan.
Bodo Kupat tak dilaksanakan di semua tempat di Indonesia. Tradisi ini hadir kuat di Jawa. Namun demikian, bukan berarti semua pemangku budaya Jawa melaksanakannya secara ajeg (konsisten). Meski demikian, nuansa sosio-budaya Nusantara, khususnya sosio-budaya Jawa, tampak kental di dalamnya. Bodo Kupat memiliki akar tradisi yang kuat, sebab dijalankan lintas generasi, berlangsung sejak masa awal perkembangan Islam di Jawa hingga sekarang. Menurut H.J. de Graaf dalam ‘Malay Annual’, ketupat merupakan simbol perayaan hari raya Islam pada masa pemerintahan Demak yang dipimpin Raden Patah awal abad ke-15. Pelaku Tradisi Kupatan terbilang luas di Jawa, bahkan di sejumlah negara regiaon Asia Tenggara yang berumpun budaya Malayu, sehingga cukup alasan untuk menyatakannya sebagai “memasyarakat”.
B. Kuliner Masa Pra-Islam dan Tradisinya
1. Wujud dan Pemafaatsnnya
Yang dimaksud dengan ketupat adalah makanan pengganti nasi, yang terbuat dari beras yang dimasak di dalam ayaman lembar daun kelapa muda berberbangun persegi (bujur sangkar, empat persegi panjang ataupun jajaran genjang). Ada beberapa sebutan ketupat menuru ragam bentuknya, antara lain kupat kupat luar, kupat bawang, kupat kodok, kipat sinto, kupat kepel, kupat kepala kerbau, kupat krpala ayam anagadori, kupat burung merpati, kupat angsa, kupat jantung, kupat bantal, kupat kolibri, bahkan ada pula varian bentuk kupat candi Borobudur. Dengan bentuk dasarnya yang persegi itu, kupat mempunyai empat sudut, sehingga banyak pendapat yang menyatakan bahwa kata “kupat” merupakan akronim dari “siKU paPAT (bersudut empat)”. Ada pula yang berpendapat sebagai akronimisasi dari ‘laKU paPAT’, yang terdiri atas: (1) puasa Ramadhan, (2) sholat tarawih, (3) zakat, dan (4) shalat Ied.
Menilik cara memasaknya, kuliner kupat berupa merupakan beras rebusan yang amat tanak di dalam wadah tertentu yang terbuat dari ayaman kelapa muda berbentuk persegi. Cara memasaknya serupa dengan lonthong ataupun sompil. Hanya saja, lonthong dan sompil berbungkus daun pisang berbentuk silindris dan kerucut. Serupa pula dengan cara memasak lepet. Hanya saja, lepet yang juga terbungkus daun kelapa muda yang berbentuk silindris atau kerucut itu isiannya berupa beras ketan — acap dicampuri dengan kedelai dan parutan kelapa muda. Pada momentum Bodo Kupat, kuliber lonthong, sompil dan lepet acap pula dihadirkan sebagai ragam pilihan santapan.
Pada wilayah provinsi Jawa Timur dan di sebagian wilayah Jawa Tengah, waktu penyelenggaraan Bodo Kupat jatuh di hari ke-7 dalam pekan Ariadi (Hari Raya/Rioyo/Bodo atau Lebaran) Idul Fitri. Hal ini berbeda dengan waktu penyajian ketupat pada perhelatan Idul Fitri di DKI dan sekitarnya maupun pada wilayah tinggal etnik Melayu lain, yaitu di hari pertama pekan Idul Fitri. Perbedaan lainnya adalah bukan hanya dihidangkan untuk para tamu dan disampaikan ke kerabat dan/atau tetangga dekat (ater-ater), namun ada sejumlah keluarga yang membawanya ke masjid atau surau untuk dikenduri bersama (genduren, kenduren).
Sebagai suatu panganan khas, sebenarnya kupat bukan hanya hadir pada konteks Lebaran Idul Fitri,.namun hadir sebagai unsir penganan alternasi selain nasi untuk menu makanan tertentu, seperti soto (Sulawesi: coto dan konro), kethoprak, kupat sayur, kupat tahu, dsb., yang terkadang digantikan dengan kuliner lonthong atau sompil. Namun penyajiannya secara serempak di perhelatan Idul Fitri menjadikan ketupat sebagai kuliner khasnya. Oleh karea itu, dapat difahami bila ketupat dijadikan sebagai :ikon Lebaran’ selain bedug dan masjid. Sebagai ikon Hari Raya Idul Fitri, ketupat dikreasikan menjadi aksesoris interior ataupun eksterior, logo pada kartu/ucapan Lebaran, malahan opresi lalu-lintas sekitar Hari Lebaran pun memakai nama “Operasi Ketupat”. Selain dalam fungsi itu, ketupat dan ubo rampe lain acapkali kedapatan digantungkan di atas pintu hingga kurun waktu panjang sebagai media penolak bahaya gaib (magi protectoric) untuk rumah tinggal.
2. Jejak Kekunoan Ketupat
Kendati ketupat dijadikab ikon dalam konteks Hari Raya Idul Fitri, namun bukan berarti bahwa kuliner kupat baru hadir di Nusantara sejak adanya pengaruh agama dan budaya Islam (abad XV-XVI M). Kuliner ini telah kedapat jauh selumnya, pada Masa Hinfu-Buddha. Terbukti oleh adanya sebutan “kupat” dan kata jadiannya seperti “khupat-kupatan, akupat, atau pakupat” dalam Kakawin Kresnayana (13.2, 31.13), Kakawin Subadra Wiwaha (27.8), Kidung Sri Tanjung (36.f) dan kata “kupatay” dalam Kakawin Ramayana (26.25). Hal ini menjadi petunjuk bahwasanya sebagai penganan kupat telah ada pada abad IX dan lebih marak lagi abad XIV-XV Masehi.
Kupat sebagai wadah makanan yang berbentuk daun kelapa muda teranyam, yang bisa lepas anyamannya oleh kakawin Kresnayana (13.2) diibaratkan dengan: gelung yang ikel (gelungan)-nya dapat lepas (lukar) “wukel.ing gelung mahulunan lukar anyakesaran (?) kupat lepas”. Pada kuliner ini, beras rebus tanak berada terbungkus (besembunyi) dalam anyaman janur (kinupat-kupatan). Aspek tersembunyi dalam kuliner ketupat menjadi inspirasi untuk mengibaratkan sesuatu tersembunyi secara rapi dengan “menyimpan seperti dalam kupat (akupat)”. Penganan yang berada tersembunyi dalam bungkus ayaman daun kelapa muda itu baru tampak isinya apabila bungkusnya dibelah, dengan mengiris secara horisontal pada wadah yang bangun persegi. Pengirisan yang demikian dinamai dengan “belah ketupat”.
Kuliner pendamping kupat, yakni lepet juga telah terdapat pada Masa Hindu-Buddha, sebagaimana penyebutan kata “lepet”, yakni beras ketan dibungkus rapat dalam daun kelapa dan firebus (Zoetmulder, 1995:589) dalam kakawin Ramayana (25.210, 26.25 dan 26.43) dengan kalimat “manis enak awas luput ing lepet”. Selain itu, kata “lepet” sebagsi sebutan kuliner terdapat pada kitab Korawasrama (132). Sebutan “lepet”, yang secara harafiah berarti: rapat, sempit, ketat, ikatan yang kuat, dikempa, ditekan, tersusun rapat, padat (Zoetmulder, 1995:589) dengan tepat menggambarkan ketan rebus yang mengembang nsmun terliliti rapat dan ketat oleh lilitan daun kelapa muda. Oleh karena itu, pakaian ketat pada tubuh, sehingga lekuk-lekuk tubuh terlihat kentara diisilahi dengan “mlepet”, dan digunjing “koyok lepet (seperti lepe
Berdasarkan papsran diatas, pendapat bahwa istilah “kupat” berasal dari bahasa Arab adalah suatu anggapan yang perlu untuk dipertanyakan kesahihannya. Marak pendapat mengasalkan kata ‘kupat dari bahasa Arab ‘kafa, kaffat, atau hufat’, dan tradsi ‘Kupatan’ dikaitkan dengan kata dala bahasa Arab ‘Kaffatan” pada ayat suci al Qur’an berbunyi ‘udkhulu fi al silmi kaffatan, wa la tattabi’u khuthuwat al syaithon, innahu lakum ‘aduww al mubin (artinya kurang lebih: masuklah kamu sekalian ke dalam Islam secara sempurna dan jangan kamu ikuti jalannya syetan, sesungguhnya syetan itu adalah musuh yang nyata”). Dalam konteks ini, kata “kaffat’ dan “kaffatan” imaknai sebagai: kesempurnaan, dalam arti kembalinya manusia kepada fitrah (kesucian) saat merayakan hari raya Idul Fitri. Mustinya, kata ‘lkupat’ tak harus dipaksakan untuk diasalkan dari bahasa Arab, sebab istilah ini telah dikenal sebagai kosa kata dalam bahasa Jawa Kuna atapun Jawa Tengahan sejak abad IX Masehi, jauh sebelum pengaruh budaya Isam memasuki Nusantara,
Kala itu, namanya sudah “kupat (bukan ‘kaffat atau hafat’)’, seperti pada namanya sekarang. Adapun Tradisi Kupatan mengarah kepada ritus tradisional slametan, yakni ritus kenduri dalam.tradisi Jawa dengan menu khusus berupa ketupat. Pendapat yang mengasalkannya dari bahasa Arab hanya mendasarkan pada tulisan dan sebutan yang serupa antara “kupat” dan “kafat” dalam bahasa Arab. Demikianlah, keserupaan istilah dari bua bahasa, yakni ‘kupat’ dan ‘kaffat’, tidak harus ditafsir bahwa kata ‘kupat berasal dari bahasa Arab’. Tidak ada bukti pendukung lainnya yang dapat memberi jaminan adanya hubungan Arab-Jawa dalam konteks kuliner ini maupun dalah hal tradisi selamatannya. Dengan demikian, tafsir tersebut sekedar “tak-tik-tuk (otak-atik-gatuk). Tradisi “kupatan” berlatar dan berakar budaya Melayu dan Nsuantara, bukan budaya Arab. Pada mulanya, kupat adalah penganan yang disajikan di sembarang waktu untuk menu makanan tertentu, yang kemudian dijadikan sebagai menu khusus ketika lebaran tiba. Selain kupat, pada moment waktu itu hadir pula penganan lain seperti sompil dan lepet.
C. Semarak Bodo Kupat di Kawasan Mataraman
Diantara berbagai daerah di Jawa Timur yang mentradisikan Bodo Kupat, Tenggalek boleh dibilang yang paling kental. Bahkan, Rioyo Kupat di Kecamatan Durenan jauh lebih marak ketimbang hari ke-1 sd ke-6 pekan Idul Fitri. Silaturohmi antar tetangga, kerabat di daerah yang sama maupun kehadiran kerabat jauh dari luar kota justru berlangsung di hari ke-7 pekan Idul Fitri ini. Sejak satu hingga dua dasawarsa terakhir tradisi kupatan yang demikian meluas hingga ke kecamatan-kecamatan lain di Kabupaten Trenggalek, bahkan merambah pula ke beberapa kecamatan di Kabupaten Tulungagung.
Kini membuat kupat tidak terlalu ribet. Orang tidak musti harus punyam kemampuan membuat ayaman daun kelapa muda untuk.bisa,memiliki wadah ketupat, sebab telah tersedia dalam jadi (teranyam). Namun, sesunggunya, menganyam ketupat sendiri, mengisikan dengan beras, merbus hinggs tanak, lalu mentiriskan adalah keasyikan tersendiri. Dengan telah tersedianya kupat jadi, mska kemampuan buat ketupat hanya dimiliki.orang-orang tertentu. Padahal, ini adalah khadanah kerajinan tradisional Nusantara. Pada sisi lain, beberapa hari ini bsnyak pohon kelaps kehilangan daun.mufanya, karena diambili untuk buat ketupat.
Demikianlah, tradisi “Kupatan” dalam konteks Hari Raya Idul Fitri (Lebaran). Tradosi Kupatan merupakan wujud perkembangan budaya lokal (local culture development) terhadap tradisi budaya Lebaran pada lingkungan pemang budaya Islam, khususnya di wilayah Jawa Timur. Semoga tulisan bersahaja ini membuahkan kefaedahan Selamat menikmati kuliner khas ketupat di momentum Bodo Kupat. Nuwun.
M. Dwi Cahyono, Dosen UM Malang, Sejarawan dan Penikmat Kopi