oleh | Akhmad Muwafik Saleh
Bentuk masyarakat yang dikehendaki dalam pandangan profetik adalah masyarakat yang dibangun atas keimanan dengan perilaku yang saling menghormati, menghargai, saling membantu, peduli pada sesama, saling mengingatkan dalam kebenaran dan saling mendukung dalam kebaikan. Bukanlah sebuah masyarakat yang saling cuek atas keadaan, tidak peduli pada yang lain, individualis. Bukan pula realitas masyarakat yang saling berkompetisi untuk saling menjatuhkan. Masyarakat kapitalis yang individualistik telah melahirkan manusia-manusia yang sangat bersemangat dalam mengejar harta dan berlaku kikir terhadap orang lain atas hartanya itu.
Realitas masyarakat ideal sebagaimana yang disebutkan pertama diatas hanya akan terwujud manakala dasar berpikir dan tindakannya dibangun atas nilai keimanan yang kokoh dan lurus sebagai dasar dalam membangun landasan komunikasi intrapersonalnya. Karena keimanan yang benar akan mendorong seseorang untuk mewujudkan kebaikan atas dirinya dan lingkungannya melalui berbagai realitas tindakan dan perilaku. Sementara seseorang yang tidak dibangun atas dasar keimanan dalam berpikir dan bertindak hanya akan melahirkan egoisme dan kekikiran diri. Sifat kikir ini adalah sesuatu yang dibenci dalam pandangan profetik. Sebagaimana disebutkan dalam teks sumber wahyu:
ٱلَّذِينَ يَبۡخَلُونَ وَيَأۡمُرُونَ ٱلنَّاسَ بِٱلۡبُخۡلِ وَيَكۡتُمُونَ مَآ اتهُمُ ٱللَّهُ مِن فَضۡلِهِۦۗ وَأَعۡتَدۡنَا لِلۡكَٰفِرِينَ عَذَابٗا مُّهِينٗا
(yaitu) orang yang kikir, dan menyuruh orang lain berbuat kikir, dan menyembunyikan karunia yang telah diberikan Allah kepadanya. Kami telah menyediakan untuk orang-orang kafir azab yang menghinakan. (QS. An-Nisa’, Ayat 37)
Perilaku komunikasi yang individualis akan melahirkan sikap kikir dan cuek pada orang lain. Hal ini adalah dampak dari cara berpikir kapitalistik yang menilai interaksi dalam pola hubungan untung rugi (cost and benefit). Mengeluarkan harta untuk membantu orang lain yang didapat dari kerja keras dirinya pada cara berpikir kapitalistik ini akan menganggap merugikan dan mengurangi harta. Hal ini tentu akan sangat bertentangan dengan cara pandang profetik yang memahami bahwa harta yang diinfaqkan itu bukan berkurang (rugi) melainkan bertambah dan menguntungkan. Sebagaimana dijelaskan dalam teks sabda Nabi ;
ما نقص مال من صدقة بل يزداد بل يزداد
Artinya : “Tidak akan berkurang harta yang disedekahkan, bahkan bertambah, bahkan bertambah.”
Bahkan dikatakan dalam teks wahyu bahwa harta yang diinfaqkan itu bertambah berkali lipat. Sebagaimana disebutkan:
مَّثَلُ ٱلَّذِينَ يُنفِقُونَ أَمۡوَٰلَهُمۡ فِي سَبِيلِ ٱللَّهِ كَمَثَلِ حَبَّةٍ أَنۢبَتَتۡ سَبۡعَ سَنَابِلَ فِي كُلِّ سُنۢبُلَةٖ مِّاْئَةُ حَبَّةٖۗ وَٱللَّهُ يُضَٰعِفُ لِمَن يَشَآءُۚ وَٱللَّهُ وَٰسِعٌ عَلِيمٌ
Perumpamaan orang yang menginfakkan hartanya di jalan Allah seperti sebutir biji yang menumbuhkan tujuh tangkai, pada setiap tangkai ada seratus biji. Allah melipatgandakan bagi siapa yang Dia kehendaki, dan Allah Mahaluas, Maha Mengetahui. (QS. Al-Baqarah, Ayat 261)
Sifat kikir atau bakhil adalah tanda ketidakpedulian pada orang lain. Karena mereka menyangka bahwa sikap ketidakpedulian itu adalah sebuah kebaikan yaitu bentuk menjaga wilayah privasi orang lain. Sebab dalam pandangan individualisme setiap orang memiliki privasi diri yang harus dijaga dan setiap orang bertanggungjawab atas dirinya sendiri. Sehingga interaksi antar individu berada dalam transaksi materialistik yaitu seberapa menguntungkan suatu interaksi maka hal itu yang menjadi dasar pertimbangan apakah seseorang perlu melanjutkan hubungan ataukah tidak. Cara berpikir seperti ini, mereka menganggapnya sebagai suatu kebaikan, padahal sikap tersebut dalam pandangan profetik dianggap sebuah keburukan. Sebagaimana teks sumber wahyu:
وَلَا يَحْسَبَنَّ الَّذِينَ يَبْخَلُونَ بِمَا آتَاهُمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ هُوَ خَيْرًا لَهُمْ بَلْ هُوَ شَرٌّ لَهُمْ سَيُطَوَّقُونَ مَا بَخِلُوا بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
Sekali-kali janganlah orang-orang yang bakhil dengan harta yang Allah berikan kepada mereka dari karuniaNya menyangka, bahwa kebakhilan itu baik bagi mereka. sebenarnya kebakhilan itu adalah buruk bagi mereka. harta yang mereka bakhilkan itu akan dikalungkan kelak di lehernya di hari kiamat. (QS. Ali Imaran : 180 )
Bahkan sikap kikir atau bakhil ini sangat dilarang dan dibenci oleh Nabi saw. Sebagaimana dalam sabdanya;
وَعَنْ جَابِرٍ رضى الله عنه أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ: ((اتَّقُوْا الظُّلْمَ فَإِنَّ الظُّلْمَ ظُلُمَاتٌ يَوْمَ الْقِيَامَةِ، وَاتَّقُوْا الشُّحَّ فَإِنَّ الشُّحَّ أَهْلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ حَمَلَهُمْ عَلَى أَنْ سَفَكُوا دِمَاءَهُمْ وَاسْتَحَلُّوا مَحَارِمَهُمْ)) رواه مسلم
Diriwayatkan dari Jabir radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya Rasulullah sallallahu alaihi wasallam bersabda: “Jauhilah (takutlah) oleh kalian perbuatan dzalim, karena kedzaliman itu merupakan kegelapan pada hari kiamat. Dan jauhilah oleh kalian sifat kikir, karena kikir telah mencelakakan umat sebelum kalian, yang mendorong mereka untuk menumpahkan darah dan menghalalkan apa-apa yang diharamkan bagi mereka”. (HR: Muslim).
إِيَّاكُمْ وَالشُّحَّ فَإِنَّمَا هَلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ بِالشُّحِّ أَمَرَهُمْ بِالْبُخْلِ فَبَخَلُوا وَأَمَرَهُمْ بِالْقَطِيعَةِ فَقَطَعُوا وَأَمَرَهُمْ بِالْفُجُورِ فَفَجَرُوا
Hendaklah kalian jauhi sifat bakhil, maka sesungguhnya telah celaka orang-orang sebelum kalian dengan kebakhilan : memerintahkan kepada mereka dengan kebakhilan kemudian mereka bakhil, dan memerintahkan kepada merela untuk memutus silaturrahmi kemudian mereka putus, dan memerintahkan kepada mereka dengan perbuatan dosa kemudian ia melakukannya. [ HR. Abu Daud ]
Untuk itu sikap yang sangat dianjurkan dalam pandangan profetik adalah bersikap dermawan, suka memberi karena hal itu tanda kepedulian dan saling perhatian. Sebagaimana dalam kisah antara kepedulian dan saling perhatian sahabat muhajirin dan anshar yang diabadikan oleh Allah swt dalam alQuran:
وَٱلَّذِينَ تَبَوَّءُو ٱلدَّارَ وَٱلۡإِيمَٰنَ مِن قَبۡلِهِمۡ يُحِبُّونَ مَنۡ هَاجَرَ إِلَيۡهِمۡ وَلَا يَجِدُونَ فِي صُدُورِهِمۡ حَاجَةٗ مِّمَّآ أُوتُواْ وَيُؤۡثِرُونَ عَلَىٰٓ أَنفُسِهِمۡ وَلَوۡ كَانَ بِهِمۡ خَصَاصَةٞۚ وَمَن يُوقَ شُحَّ نَفۡسِهِۦ فَأُوْلَٰٓئِكَ هُمُ ٱلۡمُفۡلِحُونَ
Dan orang-orang (Ansar) yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka mencintai orang yang berhijrah ke tempat mereka. Dan mereka tidak menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa yang diberikan kepada mereka (Muhajirin); dan mereka mengutamakan (Muhajirin), atas dirinya sendiri, meskipun mereka juga memerlukan. Dan siapa yang dijaga dirinya dari kekikiran, maka mereka itulah orang-orang yang beruntung. (QS. Al-Hasyr, Ayat 9)
Terdapat tiga istilah dalam perspektif profetik atas tindak kedermawanan ini, yaitu sakho’, aljuud dan itsar. Sakho’ adalah suatu sikap dari diri kita dalam memberi kepada orang lain sesuatu, namun apa yang kita beri adalah sebagian kecil dari yang kita miliki atau yang kita simpan masih jauh lebih banyak daripada yang kita beri serta kita baru bersedia untuk memberi disaat orang lain memintanya terlebih dahulu.
Kemudian, al juud adalah sikap seseorang dalam memberi pada seseorang tanpa diminta atau tanpa menunggu orang lain meminta pada diri kita serta apa yang kita beri adalah sebagian besar dari apa yang kita punya, atau dengan kata lain memberi lebih banyak dan menyisakan sedikit dari apa yang kita miliki maka hal itu masuk dalam kategori al juud ini.
Terakhir adalah itsar, yaitu suatu sikap diri yang bersedia memberikan apapun saja sepenuhnya tanpa menyisakan sedikit pun dari yang kita miliki dan kita lebih mengutamakan kebutuhan dan kepentingan orang lain dibandingkan diri kita sendiri sekalipun diri kita amat sangat membutuhkannya, maka itulah level tertinggi dari maqam kedermawanan.
Apabila kita cermati pribadi Rasulullah saw maka beliau adalah pribadi yang jauh dari kekikiran diri bahkan memiliki jiwa kedermawanan level tertinggi, yaitu lebih mementingkan orang lain dibandingkan dirinya sendiri. Dalam sebuah kisah disebutkan, bahwa suatu ketika, Khadijah binti Khuwailid, istri beliau, membawakan untuknya sembilan puluh ribu dirham. Kemudian diletakkan dan dibagikan oleh Rasul yang mulia itu. Tidak ada seorangpun yang
permintaannya tertolak hingga harta itu habis. Kemudian datanglah seorang lelaki yang minta sedekah. Beliau Saw, mengatakan, “Saya sudah tidak punya apa-apa, tapi belilah yang kau
butuhkan itu dengan tanggunganku, nanti kami yang akan membayarnya.” Umar mengatakan kepadanya, “Allah tidak membebanimu dengan sesuatu yang Anda tidak mampu melakukannya.”Rasul tidak senang mendengar ucapan semacam itu dikatakan oleh Umar. Seorang Anshar berkata, “Wahai Rasulullah, berinfaklah dan jangan takut akan pemiskinan dari Dzat yang memiliki Arsy.” Rasulullah Saw. tersenyum seraya berkata, “Itulah yang
diperintahkan kepadaku.”.
Sikap Rasulullah ini menunjukkan kepedulian dan perhatian yang tinggi atas orang lain sekaligus menunjukkan nilai kejiwaan yang matang serta pemahaman atas nilai keimanan yang sangat sempurna. Proses komunikasi intrapersonal yang dibangun atas keimanan yang sempurna ini melahirkan sikap dan kepribadian yang sangat indah nan mulia. Hanya pribadi yang memiliki kesadaran tinggi atas nilai kebaikan sajalah yang mampu menunjukkan komunikasi profetik puncak berupa kepedulian dan rasa tanggungjawab sosial yang tinggi pada sesama. Selamat berkomunikasi secara profetik.
Penulis KH. Akhmad Muwafik Saleh pengasuh Pesma Tanwirul Afkar dan Dosen Fisip UB