oleh | Akhmad Muwafik Saleh
Realitas komunikasi di abad millenial saat ini telah menggeserkan pola komunikasi antar manusia dari diadik yang bersifat personal berupa tatapan langsung menjadi tidak langsung dengan menggunakan media yaitu new media dalam hal ini media sosial misal twitter, Facebook, whatsapp dsb. perilaku komunikasi manusia dalam menggunakan media mungkin berbeda dalam komunikasi langsung, sehingga muncullah fenomena cyberbullying. Namun konten dan perilaku konten cenderung tetap sama baik pada masyarakat bermedia dengan masyarakat tradisional yaitu saling menggunjing antar pihak dengan saling melempar isu atas diri seseorang dan kemudian saling menanggapi dengan cara dan konten yang negatif sehingga saling membuka aib dan keburukan antar pihak yang saling menggunjing.
Realitas media sosial akhir-akhir ini menjadi sarana (medium) yang paling mudah seseorang untuk melakukan tindakan-tindakan komunikasi yang dilarang oleh Allah swt yaitu beruba tajassus atau mencari-cari kesalahan orang lain, ghibah atau menggunjing, fitnah atau hoax, mencela atau bullying, dan pula dzan atau prasangka (prejudice) pada orang lain dan dengan mudah pula menviralkannya. Sehingga penyebaran dosa menjadi berlipat-lipat.
Realitas ini sebenarnya telah diindikasikan sejak lama oleh Allah melalui teks sumber wahyu :
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ ٱجۡتَنِبُواْ كَثِيرٗا مِّنَ ٱلظَّنِّ إِنَّ بَعۡضَ ٱلظَّنِّ إِثۡمٞۖ وَلَا تَجَسَّسُواْ وَلَا يَغۡتَب بَّعۡضُكُم بَعۡضًاۚ أَيُحِبُّ أَحَدُكُمۡ أَن يَأۡكُلَ لَحۡمَ أَخِيهِ مَيۡتٗا فَكَرِهۡتُمُوهُۚ وَٱتَّقُواْ ٱللَّهَۚ إِنَّ ٱللَّهَ تَوَّابٞ رَّحِيمٞ
Wahai orang-orang yang beriman! Jauhilah banyak dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah ada di antara kamu yang menggunjing sebagian yang lain. Apakah ada di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Tentu kamu merasa jijik. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Penerima tobat, Maha Penyayang. (QS. Al-Hujurat, Ayat 12)
Perilaku buruk komunikasi manusia sebagaimana yang dijelaskan dalam Firman Allah tersebut menjadi penghancur atau perusak hubungan sosial kemanusiaan. Yaitu Dzan, Tajassus, Ghaibah dan berbagai keburukan lainnya maka hal demikian diibaratkan dengan seseorang yang makan daging saudaranya yang telah mati. Sebuah perumpamaan yang menjijikkan bagi manusia.
Tiga perilaku yang merusak pola hubungan, pertama Dzan, berprasangka negatif atau prejudice. Berprasangka adalah memprediksi sikap orang lain secara negatif, kemudian memberikan penilaian dan merespon orang lain berdasarkan prasangka itu. Tentu hal seperti ini tidak benar karena dapat mengganggu hubungan antar individu. Dampak dari berprasangka negatif menjadikan seseorang akan mencoba mencari informasi tentang diri orang lain dan tidak jarang akhirnya mencari-cari keburukan dan kesalahan mereka, lahirlah tajassus.
Pesan komunikasi negatif cenderung lebih kuat daripada pesan positif. Proses komunikasi negatif itu melewati suatu siklus komunikasi. Tajassus bukanlah akhir dari proses komunikasi disharmoni. Informasi negatif dari hasil tajassus akan terus bergulir hingga menjadi gosip, bahan gunjingan bahkan jika bersentuhan dengan media akan menjadi viral bahkan menjadi bahan bullying, maka tentu dampaknya akan sangat buruk bagi hubungan komunikasi antar manusia. Alur komunikasi disharmoni di sebut dengan ghibah atau gosip (laa yaghtab). Sebagaimana dalam sabda nabi :
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَتَدْرُونَ مَا الْغِيبَةُ قَالُوا اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ قَالَ ذِكْرُكَ أَخَاكَ بِمَا يَكْرَهُ قِيلَ أَفَرَأَيْتَ إِنْ كَانَ فِي أَخِي مَا أَقُولُ قَالَ إِنْ كَانَ فِيهِ مَا تَقُولُ فَقَدْ اغْتَبْتَهُ وَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِيهِ فَقَدْ بَهَتَّهُ
dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bertanya: “Tahukah kamu, apakah ghibah itu?” Para sahabat menjawab; ‘Allah dan Rasul-Nya lebih tahu.’ Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: ‘Ghibah adalah kamu membicarakan saudaramu mengenai sesuatu yang tidak ia sukai.’ Seseorang bertanya; ‘Ya Rasulullah, bagaimanakah menurut engkau apabila orang yang saya bicarakan itu memang sesuai dengan yang saya ucapkan? ‘ Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkata: ‘Apabila benar apa yang kamu bicarakan itu ada padanya, maka berarti kamu telah menggunjingnya. Dan apabila yang kamu bicarakan itu tidak ada padanya, maka berarti kamu telah membuat-buat kebohongan terhadapnya.’ (HR. Muslim no. 4690).
Fenomena gosip yang terjadi dalam realitas komunikasi antar manusia, baik dalam komunikasi langsung atau tidak langsung (bermedia) menjadi faktor perusak atau disharmoni yang paling jahat dalam menghancurkan hubungan komunikasi karena gosip (ghibah) sangat tipis jaraknya dengan fitnah (hoax). Gosip atau ghibah adalah tindakan komunikasi yang memperbincangkan orang atas apa yang terjadi sebenarnya pada diri orang lain, baik seseorang itu suka ataupun tidak suka. Sementara al bahtah atau hoax adalah memperbincangkan orang lain atas apa yang tidak ada pada diri orang tersebut. Inilah fitnah yang dampaknya lebih buruk daripada pembunuhan (al qatl, assasination).
Sehingga dampak buruk itu diibaratkan oleh Allah swt bahwa pelaku ghosip dan fitnah (hoax) seperti seseorang yang rela memakan daging saudaranya sendiri yang telah mati. Manakala seseorang tidak merasa jijik sama sekali akan perbuatan itu, hal demikian dianggap oleh Allah telah keluar dari naluri kemanusiaan. Mereka bertubuh manusia namun berhati binatang.
Perumpamaan dalam teks sumber wahyu itu menandakan adanya pelarangan atau keharaman seseorang dalam melakukan komunikasi yang buruk saat berinteraksi dengan orang lain. Sebab membunuh manusia melalui harga dan martabat dirinya tentu sangat memiliki dampak yang cukup signifikan, mendalam dan lama. Jika pembunuhan fisik adalah bersifat seketika, yaitu mati, kemudian dikubur dan tidak lagi berurusan dengan orang lain. Namun pembunuhan karakter melalui penyebaran berita palsu jauh berdampak lama, panjang dan meluas. Karena itu Allah swt sangat melarang kebohongan dan penyebaran kebohongan (hoax) bagi seseorang yang merasa dirinya beriman, melalui seruhan yaa ayyuhal ladzinlina aamanuu.
Karena itulah, Allah swt sangat melarang dan mendorong setiap orang untuk menjauhinya karena hal demikian sangat berbahaya dan merusak pola hubungan dan komunikasi manusia. Sekalipun realitas komunikasi disharomi itu diakhir zaman menjadi suatu keniscayaan. Untuk itu, landasan solusi dalam komunikasi profetik adalah keimanan. Artinya nilai keimanan atau keyakinan seseorang yang mampu menjadi dasar pemilah yang memproteksi berbagai tindakan komunikasi disharmonis itu. Sebab realitas komunikasi ideal dalam perspektif profetik adalah komunikasi yang mampu memanusiakan manusia sehingga lahir harmonisasi sosial.