Kanal24, Malang – Pemberantasan korupsi di Indonesia masih menghadapi tantangan besar. Dengan skor Indeks Persepsi Korupsi (IPK) yang stagnan di angka 34 dari skala 100 selama beberapa tahun terakhir, upaya untuk menciptakan pemerintahan yang bersih dan transparan masih harus diupayakan.
Oleh karenanya dalam rangka memperingati Hari Antikorupsi Sedunia 2024, Komisi Pemberantasan Korupsi Republik Indonesia (KPK RI) bekerja sama dengan Universitas Brawijaya (UB) mengadakan Diskusi Publik bertajuk “Menggagas Kembali Indikator Keberhasilan Pemberantasan Korupsi di Indonesia”.
Acara yang berlangsung di Gedung Auditorium UB ini menghadirkan sejumlah narasumber, diantaranya Prof. Dr. Unti Ludigdo, S.E., M.Si., Ak., Prof. Dr. Muchamad Ali Safaat, S.H., M.H., Prof. Dr. Ir. Dominicus S. Priyarsono, M.S., dan Dr. Hengki Andora, S.H., LL.M., serta Sekretaris Jenderal KPK, Cahya Hardianto Harefa (21/11/2024).
Rektor Universitas Brawijaya, Prof. Widodo, S.Si., M.Si., Ph.D., Med.Sc., menekankan pentingnya pengawasan terhadap sektor swasta dalam upaya pemberantasan korupsi.
“Sektor swasta di Indonesia sangat besar dan memerlukan pengawasan yang intensif. Kasus-kasus korupsi di sektor swasta yang terungkap akhir-akhir ini menunjukkan bahwa pengawasan tidak hanya penting bagi pemerintah, tetapi juga sektor non-pemerintah,” ungkapnya.
Prof. Widodo juga menyoroti perlunya reformasi budaya politik dan demokrasi dalam pemberantasan korupsi.
“Budaya korupsi sudah menyusup dalam praktik demokrasi kita, terutama dalam pemilu dan pilkada. Transformasi budaya menjadi kunci penting untuk mengatasi korupsi yang multidimensi dan multifaktor ini. Kampus harus menjadi pusat pembentukan budaya integritas untuk menciptakan generasi yang lebih berintegritas,” tambahnya.
Sekretaris Jenderal KPK, Cahya Hardianto Harefa, dalam sambutannya menyampaikan pentingnya mengevaluasi indikator keberhasilan pemberantasan korupsi.
“Saat ini, kita menggunakan beberapa indikator utama, seperti Indeks Persepsi Korupsi (IPK) yang stagnan di angka 34, Sistem Pengendalian Intern Pemerintah (SPI) dengan skor 70,97, dan Indeks Perilaku Antikorupsi (IPAK) yang tercatat 3,85 pada tahun 2024. Namun, hasil ini belum memuaskan. Kita perlu mengkaji apakah indikator ini sudah cukup relevan atau memerlukan perbaikan,” jelas Cahya.
Menurut Cahya, kerja sama antara KPK dan perguruan tinggi sangat penting. Universitas tidak hanya menjadi pusat edukasi, tetapi juga berperan dalam membangun budaya integritas sejak dini. “Kami berharap diskusi ini dapat memberikan rekomendasi untuk memperkuat kerja KPK dan menciptakan sistem yang membuat korupsi semakin sulit terjadi. Dengan integritas yang dibangun dari lingkungan kampus, kita dapat menciptakan masyarakat yang menjunjung tinggi nilai antikorupsi,” tutupnya.
Acara ini diharapkan mampu menghasilkan gagasan dan rekomendasi konkret untuk memperbaiki indikator keberhasilan pemberantasan korupsi di Indonesia. Kerja sama antara KPK dan Universitas Brawijaya juga menjadi langkah strategis untuk menciptakan generasi muda yang memiliki integritas tinggi dalam menyongsong visi Indonesia Emas 2045.(din/una)