Kanal24, Malang – Penelitian disertasi Sujadmi dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Brawijaya (UB) yang diujikan pada Selasa (11/02/2025) ini mengungkap kompleksitas dan hibriditas keberagaman etnis Tionghoa di Bangka. Berbeda dengan kajian yang fokus pada politik identitas dan ekonomi, penelitian ini menyoroti aspek kebudayaan, khususnya sistem religi mereka.
Sujadmi mengamati bahwa pengakuan Konghucu sebagai agama oleh pemerintah belum sepenuhnya memenuhi hak etnis Tionghoa. Ada ruang-ruang yang belum tersentuh oleh negara, terutama dalam praktik di lapangan.
Baca juga:
Pemilwa FISIP UB 2024, Transparan dan Demokratis

Hasil penelitian menunjukkan bahwa etnis Tionghoa, sebagai kelompok minoritas ganda (minoritas etnis dan agama), memiliki strategi bertahan yang unik. Mereka mampu beradaptasi dengan perubahan tanpa kehilangan esensi nilai-nilai komunitas mereka.
“Mereka sangat cair atau flip, jadi adaptasi yang sangat sulit ini tadi yang membuat mereka ternyata ini bisa menjadi sebuah model bagi kelompok minoritas lain bagaimana untuk bisa tetap survive bagaimana untuk bisa tetap mempertahankan tanpa melunturkan esensi nilai-nilai dari komunitas atau etnis itu sendiri,” kata Sujadmi.
Penelitian ini juga menyoroti pentingnya peran keluarga dalam meregenerasi nilai-nilai kehidupan etnis Tionghoa. Keluarga menjadi tempat pendidikan pertama dan utama bagi generasi penerus.
Promotor penelitian, Prof. Dr. Ir. Darsono Wisadirana, MS., menyampaikan bahwa penelitian ini menemukan konsep Resiliensi Hibrida Transformatif (RHT). Konsep ini diharapkan dapat menjadi pedoman bagi kelompok minoritas lain di Indonesia yang pluralis.
“Ini tadi ditemukan ternyata memang ada konsep yang disebut dengan apa konsep HRT. Sebagai konsep untuk adaptasi setiap prioritas Indonesia kan di sini kan pluralis ya artinya banyak sekali suku-suku kecil-kecil. Bagaimana struktur itu tidak tergores ya nanti selalu bertahan maka konsep yang ditemukan oleh promotor. Ini bisa digunakan itu untuk Indonesia agar Indonesia tetap eksis dalam dalam situasi yang realis,” ujar Darsono.
Penelitian ini diharapkan dapat membuka jalan bagi penelitian lebih lanjut, terutama terkait identitas generasi muda etnis Tionghoa dan interseksionalitas faktor gender, kelas sosial, dan lainnya dalam memahami Khonghucu.
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif studi kasus dengan 38 informan. Hasilnya menunjukkan dinamika keberagaman etnis Tionghoa yang sangat dinamis mengikuti perkembangan politik, membentuk resiliensi keberagaman dalam berbagai aspek. Penelitian ini juga menemukan kompleksitas dan hibriditas dalam keberagaman internal etnis Tionghoa dan penganut Khonghucu.
Secara keseluruhan, penelitian ini memberikan kontribusi signifikan dalam memahami dinamika keberagaman etnis Tionghoa di Indonesia, khususnya di Bangka, dan menghasilkan konsep RHT yang dapat menjadi model bagi kelompok minoritas lain. (nid/din)