KANAL24, Surabaya – Wakil Ketua Asosiasi Agribisnis Cabai Indonesia (AACI) Jawa Timur, Nanang Triatmoko, mengungkapkan kenaikan harga cabai rawit jelang Nataru disebabkan oleh curah hujan yang tinggi.
Nanang menyebut harga tingkat petani untuk cabai rawit mencapai Rp 50 ribu per kilogram. Berdasarkan data Sistem Informasi Ketersediaan dan Perkembangan Harga Bahan Pokok (Siskaperbapo) Disperindag Jatim harga Selasa (14/12/2021) rata-rata cabai rawit di Jatim Rp 76.250 per kilogram.
Di Kota Surabaya, harga cabai rawit rata-rata Rp 84.000 per kilo gram, di Pasar Genteng sebesar Rp 70.000 per kilo gtam. Kemudian di Pasar Keputran mencapai Rp 100.000 per kilo gram, di Pasar Pucang Anom Rp 90.000 per kilo gram, di Pasar Tambahrejo Rp 70.000 per kilo gram, dan di Pasar Wonokromo Rp 90.000 per kilo gram. “Meningkatnya harga cabe rawit disebabkan stok dan produksinya yang mulai berkurang akibat curah hujan yang cukup tinggi,” kata Nanang, Rabu (15/12/2021).
Sementarqa Kepala Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Jatim, Hadi Sulistyo, mengatakan, berdasarkan perkembangan tanaman tegakan pada kuartal ketiga 2021, potensi luas panen komoditas cabai rawit pada November seluas 1.441 hektar dan Desember seluas 8.764 hektar. Sesuai kondisi tersebut, potensi produksi komoditas cabai rawit pada bulan November 2021 mencapai 7.347 ton dan potensi produksi Desember 2021 sebesar 16.583 ton.
“Potensi ketersediaan cabai rawit pada November surplus sebesar 1.816 ton dan Desember diprediksi surplus 11.052 ton,” ujar Hadi.
Sedangkan akumulatif dalam setahun capaian produksi cabai rawit sepanjang 2021 di Jawa Timur mencapai 474,192 ton atau surplus tahunannya mencapai 407.820 ton.
Ditambahkan Hadi, daerah yang panenan cabai rawitnya cukup luas di akhir 2021 ini berada di daerah Blitar, Malang, Jember, Lumajang, Sumenep, dan Probolinggo.
“Untuk mempertahankan ketersediaan cabai ini, beberapa hal menjadi perhatian. Antara lain mengantisipasi adanya dampak La Nina berupa bencana hidrometeorologi banjir yang berpotensi mengancam sektor pertanian. Selain itu optimalisasi pewaspadaan terjadinya peningkatan serangan organisme penganggu tumbuhan, karena musim hujan memiliki kelembaban tinggi,” pungkas Hadi.(sdk)