Kanal24, Malang – Emas kembali menjadi primadona di tengah gejolak global yang semakin tidak menentu. Harga logam mulia ini mencatatkan rekor baru dalam perdagangan Senin (14/4/2025) dan terus menguat di hari berikutnya, Selasa (15/4/2025), dengan kenaikan tipis 0,05% ke posisi US$3.211,02 per troy ons di pasar spot. Fenomena ini tidak terjadi tanpa sebab. Di balik lonjakan harga emas yang mencolok, terdapat serangkaian faktor fundamental yang saling berkelindan, mulai dari ketegangan geopolitik hingga pelemahan nilai tukar dolar AS.
Logam mulia ini bahkan membukukan kenaikan mingguan sebesar 6,55%—tertinggi sejak pekan terakhir Maret 2020 ketika dunia dihantui pandemi. Bukan hanya investor ritel, bank-bank sentral global pun memperkuat cadangan emas mereka. Tren ini mencerminkan tingginya permintaan terhadap aset safe haven saat ketidakpastian melanda berbagai aspek perekonomian global.
Baca juga:
IPMAPA Malang Dorong Kemandirian Ekonomi Mahasiswa Papua
Berikut lima alasan utama yang mendorong harga emas melambung tinggi di masa perang dagang dan gejolak ekonomi:
1. Perang Dagang dan Ketegangan Geopolitik
Konflik dagang antara dua kekuatan ekonomi terbesar dunia—Amerika Serikat dan China—menjadi pemicu utama keresahan pasar. Presiden AS Donald Trump memutuskan menaikkan tarif impor untuk semua negara hingga 10% dan khusus China mencapai 145%. Walau sempat ditunda selama 90 hari terhadap 57 negara, langkah ini tetap gagal meredam gejolak pasar.
Kebijakan tersebut menciptakan ketidakpastian ekonomi global yang cukup signifikan. Dalam kondisi seperti ini, investor cenderung mengamankan kekayaannya melalui aset yang relatif aman dan tahan terhadap inflasi, seperti emas.
2. Ancaman Resesi Global
Tanda-tanda perlambatan ekonomi global mulai terasa, khususnya di Amerika Serikat dan Eropa. Banyak ekonom terkemuka mulai memberikan peringatan. CEO BlackRock, Larry Fink, bahkan menyebut AS mungkin sudah berada dalam fase resesi.
Ekonom dari Goldman Sachs dan JP Morgan pun mengerek peluang resesi masing-masing menjadi 45% dan 60%. Ketika investor merasakan risiko ini semakin nyata, permintaan terhadap emas sebagai alat lindung nilai pun meningkat drastis.
3. Pelemahan Dolar AS
Indeks dolar AS menyentuh level 100,14 pada perdagangan Jumat—terendah sejak Juli 2023. Dolar yang melemah membuat harga emas menjadi lebih menarik bagi investor global yang menggunakan mata uang selain dolar, sehingga meningkatkan permintaan terhadap logam mulia tersebut.
Dalam perdagangan internasional, emas yang dibanderol dalam dolar akan terasa lebih murah ketika nilai dolar melemah, memperkuat daya tariknya sebagai investasi.
4. Kebijakan Moneter The Fed
Ketidakpastian ekonomi turut mempengaruhi arah kebijakan moneter The Federal Reserve. Ketika risiko resesi meningkat, The Fed diperkirakan akan memangkas suku bunga lebih cepat dan agresif dari rencana semula.
Suku bunga yang rendah biasanya akan menekan dolar dan menurunkan imbal hasil obligasi pemerintah AS. Dalam kondisi ini, emas menjadi lebih kompetitif karena tidak memberikan imbal hasil tetap, tetapi nilainya tetap terjaga, bahkan meningkat.
5. Aksi Borong Emas oleh Bank Sentral
Langkah bank sentral global yang menambah cadangan emas juga turut mendorong reli harga. Sepanjang tahun 2024, pembelian emas oleh bank sentral tercatat mencapai 1.045 ton—nyaris menyamai rekor tahunan sebelumnya.
Baca juga:
Insentif PPN 6 Persen untuk Tiket Pesawat Ekonomi Lebaran
Pada Januari 2025, pembelian emas oleh bank sentral tercatat 18 ton, lalu meningkat menjadi 29 ton pada Februari 2025. Aksi borong ini menunjukkan adanya kekhawatiran serius terhadap ketergantungan pada dolar AS dan gejolak geopolitik yang memaksa negara-negara mencari bentuk diversifikasi aset yang lebih aman.
Kenaikan harga emas dalam beberapa waktu terakhir tidak bisa dilepaskan dari dinamika global yang terus bergejolak. Mulai dari konflik dagang, resesi, hingga pelemahan dolar, semua turut memperkuat posisi emas sebagai pelindung nilai utama di saat ketidakpastian. Arah tren ini tampaknya belum akan berubah dalam waktu dekat, selama ketegangan dunia masih terus berlangsung dan sentimen pasar tetap waspada terhadap risiko ekonomi global. (nid)