oleh | Akhmad Muwafik Saleh
Inti komunikasi dalam Perspektif Islam adalah pesan yang bernilai kebenaran dan kebaikan, sementara penerimaanya dibingkai oleh keyakinan dan ketaatan. Hal ini terungkap dalam konsepsi dasar keimanan seorang mukmin, sebagaimana Firman Allah swt
ءَامَنَ ٱلرَّسُولُ بِمَآ أُنزِلَ إِلَيۡهِ مِن رَّبِّهِۦ وَٱلۡمُؤۡمِنُونَۚ كُلٌّ ءَامَنَ بِٱللَّهِ وَمَلَٰٓئِكَتِهِۦ وَكُتُبِهِۦ وَرُسُلِهِۦ لَا نُفَرِّقُ بَيۡنَ أَحَدٖ مِّن رُّسُلِهِۦۚ وَقَالُواْ سَمِعۡنَا وَأَطَعۡنَاۖ غُفۡرَانَكَ رَبَّنَا وَإِلَيۡكَ ٱلۡمَصِيرُ
Rasul (Muhammad) beriman kepada apa yang diturunkan kepadanya (Al-Qur’an) dari Tuhannya, demikian pula orang-orang yang beriman. Semua beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya dan rasul-rasul-Nya. (Mereka berkata), “Kami tidak membeda-bedakan seorang pun dari rasul-rasul-Nya.” Dan mereka berkata, “Kami dengar dan kami taat. Ampunilah kami Ya Tuhan kami, dan kepada-Mu tempat (kami) kembali.” (QS. Al-Baqarah : 285)
Kesadaran komunikasi manusia berpusat pada keimanan yaitu kesadaran diri untuk membangun keyakinan transendental atas ketuhanan, keyakinan atas malaikat, kitab, Rasul, hari Akhir dan taqdir. Semua konsepsi ini bersumber dan merujuk pada suatu pesan yaitu alquran sebagai sumber wahyu dan sumber hukum serta sumber konstruksi berpikir seorang mukmin. Keyakinan atas pesan yang bersumber dari sumber wahyu inilah yang menjadi dasar sekaligus kualitas pesan seseorang, sehingga dari siapapun pesan tersebut di produksi arau sampaikan, maka seorang mukmin layak untuk menerimanya. Sehingga inti komunikasi dalam islam adalah pesan yang bernilai kebenaran. Islam melarang seseorang berpersepsi atau memberikan penilaian secara mandiri personal atas pesan sumber wahyu, penilaian atau persepsi baru dianggap benar manakala didasarkan atas ilmu dan bersumber dari proses jalur keilmuan yang jelas hingga bersambung kepada Rasulullah, yang disebut sanad ilmu.
Namun demikian, Islam masih memperkenankan seorang mukmin untuk mempersepsi orang lain dengan cara yang baik dan bernilai kebaikan, persepsi yang demikian disebut dengan prasangka baik, husnudzan kepada orang lain. Sementara persepsi negatif atas orang lain disebut dengan suuddzan. Munculnya prasangka merupakan akibat dari adanya interaksi atau kontak sosial antara berbagai individu didalam masyarakat itu sendiri. Seseorang tidak mungkin akan berprasangka apabila tidak pernah mengalami kontak sosial atau interaksi dengan individu lainnya. Pada prasangka atau persepsi yang negatif inilah Islam melarang seseorang untuk melakukannya. Karena prasangka negatif telah menempatkan orang lain dalam penilaian yang buruk dan menafikan nilai kebaikan yang ada pada orang tersebut.
Seorang yang suka berburuk sangka (suudzon) akan selalu melihat setiap perilaku dan tindakan orang lain secara negatif. Melihat orang yang tersenyum dikira mencaci, orang diam dianggap sombong, orang yang taat serta patuh dinilai tidak kreatif dan tidak memiliki kreatif, seorang yang memberi masukan dianggap mengkritik, orang yang suka menolong dinilai mencari muka. Bagi seseorang yang selalu berpikir negatif maka orang lain tidak akan ada benarnya dan selalu dianggap salah, serta seorang yang suka bersuudzon akan pasti akan selalu mencari-cari kesalahan orang lain. Karena itu sikap suudzon berdampak merusak hubungan dengan orang lain dan masyarakat. Untuk itu hal ini sangat dilarang oleh Islam khususnya dalam proses interaksi antar sesama. Sebagaimana Firman Allah swt :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِّنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ ۖ وَلَا تَجَسَّسُوا
“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan berprasangka, karena sesungguhnya sebagian tindakan berprasangka adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain” (QS. Al-Hujurat : 12)
Untuk itu Nabi menegaskan agar kaum muslimin meninggalkan segala bentuk prasangka (suudzan) pada orang lain karena hal demikian akan mendorong pada perilaku dusta dan melahirkan kebencian yang merusak hubungan harmonis dalam komunikasi. Sebagaimana sabdanya :
إِيَّا كُمْ وَالظَّنَّ فَإِنَّ الظَّنَّ أَكْذَبُ الْحَدِيْثِ وَلاَ تَحَسَّسُوا وَلاَ تَجَسَّسُوا وَلاَ تَحَاسَدُوا وَلاَتَدَابَرُوا وَلاَتَبَاغَضُوا وَكُوْنُواعِبَادَاللَّهِ إحْوَانًا
“Berhati-hatilah kalian dari tindakan berprasangka buruk, karena prasangka buruk adalah sedusta-dusta ucapan. Janganlah kalian saling mencari berita kejelekan orang lain, saling memata-matai, saling mendengki, saling membelakangi, dan saling membenci. Jadilah kalian hamba-hamba Allah yang bersaudara” (HR. Bukhari).
Perilaku suudzon ibarat virus yang dapat merusak tatanan sosial yang lebih luas yaitu suatu kelompok masyarakat, sebab sekalipun suudzon dilakukan oleh seseorang namun perilaku ini hadir dalam proses interaksi antar individu (diadik) yang berdampak lebih kuat penyebarannya secara dalam ruang antar personal yang intim dan massif yang dikenal dengan istilah getuk tular (word of mouth).
Diriwiyatkan sebuah kisah inspiratif tentang sahabat nabi yang menjauhkan diri dari dzan negatif (suudzan) terhadap orang lain sehingga oleh Rasulullah dijuluki dengan ahli surga. Dari Anas bin Malik menceritakan sebuah kejadian menarik yang dialaminya pada sebuah majelis bersama Rasulullah Saw. Anas bercerita, “Pada suatu hari kami duduk bersama Rasulullah Saw kemudian beliau bersabda, “Sebentar lagi akan muncul di hadapan kalian seorang laki-laki penghuni surga. Tiba-tiba muncullah laki-laki Anshar yang janggutnya basah dengan air wudhunya. Dia mengikat kedua sandalnya pada tangan sebelah kiri.”
Ketika majlis Rasulullah Saw. selesai, Abdullah bin Amr bin Al-Ash mencoba mengikuti seorang lelaki yang disebut Nabi sebagai penghuni surga itu. Kemudian dia berkata kepadanya, “Saya ini bertengkar dengan ayah saya, dan saya berjanji kepada ayah bahwa selama tiga hari saya tidak akan menemuinya. Maukah kau memberi tempat pondokan buat saya selama hari-hari itu?”
Abdullah mengikuti orang itu ke rumahnya, dan tidurlah Abdullah di rumah orang itu selama tiga malam.
Tetapi selama itu pula dia tidak menyaksikan sesuatu istimewa di dalam ibadahnya. Setelah ditanyakan amalan apa, orang Anshar itu menjawab, “Demi Allah, amalku tidak lebih dari yang kau saksikan itu. Hanya saja aku tidak pernah menyimpan pada diriku niat yang buruk terhadap sesama muslim, dan aku tidak pernah menyimpan rasa dengki kepada mereka atas kebaikan yang diberikan Allah kepada mereka”. Lalu Abdullah bin Amr berkata, “Beginilah bersihnya hatimu dari perasaan jelek dari kaum muslim, dan bersihnya hatimu dari perasaan dengki. Inilah tampaknya yang menyebabkan engkau sampai ke tempat yang terpuji itu. Inilah justru yang tidak pernah bisa kami lakukan.”
Menjauhkan diri dari prasangka atau persepsi negatif terhadap orang akan menjadikan seseorang sebagai ahli sorga hal ini dikarenakan seseorang yang demikian tidak memiliki pretensi apapun terhadap orang lain serta tidak menyibukkan diri untuk memikirkan dan mencari informasi tentang orang lain karena setiap upaya mencari informasi atas pribadi orang lain maka tindakan tersebut hanya akan berpeluang melakukan tiga kemungkinan tindakan, yaitu ghibah (membicarakan orang lain), tajassus (mencari-cari kesalahan orang lain) dan fitnah (menuduh sesuatu yang tidak benar atas orang lain) , kesemua tindakan tersebut amatlah dilarang dalam agama.
Sehingga Islam sangat menjaga privasi seseorang dengan melarang ummatnya untuk tidak berburuk sangka kepada siapapun bahkan menganjurkannya untuk selalu berbaik sangka agar terjalin hubungan komunikasi yang baik dan harmonis. Sebab sekalipun apa yang diprasangkakan negatif itu benar maka hal itu tetaplah buruk dan jelek. Sebaliknya, sekalipun informasi yang diperoleh dari berbaik sangka (husnud dhzan) itu salah maka tindakan berbaik sangka itu tetaplah dianggap kebaikan. Untuk itu jauhi buruk sangka, berpersepsi negatif kepada orang lain karena hal ini akan merusak jalinan komunikasi antar manusia. Karena itu, inti komunikasi dalam islam bukanlah terletak pada persepsi, melainkan pada nilai pesan kebenaran (alhaq) itu sendiri.
KH. Akhmad Muwafik Saleh dosen FISIP UB, penulis produktif, pengasuh pondok pesantren mahasiswa Tanwir Al Afkar