KANAL24, Malang – Kebijakan maritim perlu dimaksimalkan pelaksanaannya di Indonesia. Demikian yang diutarakan oleh Dhiana Puspitawati, SH.,LLM.,PhD pada International Seminar The Legal Comparative of Maritime Law between Indonesia, Vanuatu, and Malaysia. Seminar yang digelar hari ini (4/11/2019) di FH UB ini merupakan rangkaian dari Dies Natalies ke 57 Universitas Brawijaya.
Sebenarnya kedekatan wilayah, untuk Vanuatu dan Indonesia itu sama-sama negara kepulauan. Kalau untuk Malaysia sendiri itu merupakan negara pantai. Memang ada perbedaan antara negara pantai dan negara kepulauan. Kalau negara kepulauan sudah pasti negara pantai, tetapi kalau negara pantai belum tentu negara kepulauan.
Disini, diambil dari perspektif bagaimana negara kepulauan dan perspektif dari negara pantai. Hukum maritim dan hukum laut ini sangat berbeda.
“Kalau boleh saya bagi laut secara vertical, ada surface, middle, dan bottom. Kalau bicara kemaritiman, secara surface fungsi laut sebagai sarana transportasi mengurusi apapun akibat hukum yang timbul akibat pengoperasian kapal, selebihnya itu tentang laut. Tapi, yang perlu digaris bawahi saya tidak pernah mengatakan bahwa laut itu lebih luas daripada maritim. Mereka 2 hal yang berbeda, tetapi harus berjalan secara sinergis untuk mencapai poros maritim,” terangnya.
Negara kepulauan bercirikan nusantara. Nusantara itu konektivitas antar pulau. Laut sebagai sarana pemersatu bukan lagi pemisah, ini yang harus ditekankan di Indonesia. Keterkaitannya karena transportasi atau hukum maritim ini sangat penting bagi keberlangsungan perdagangan internasional khususnya yang melewati laut.
Indonesia memiliki banyak pulau tetapi hanya bertindak sebagai feeder vessel. Artinya Kapal pengangkut container dengan kapasitas kecil yang mengangkut container dari pelabuhan muat menuju pelabuhan transit untuk di pindah ke Mother Vessel. Contoh : dari Tanjung Priok menuju ke Singapore atau Hongkong….dsb. Singapore yang lautnya lebih kecil bisa menjadi mother vessel, sedangkan Indonesia yang luas sekali lautnya cuma menjadi feeder vessel saja.
“Kita mencoba mensosialisaiskan kepada akademisi, di laut itu bukan hanya hukum laut saja tapi ada hukum maritim. Sehingga kebijakan bukan hanya kebijakan kelautan saja melainkan harus ada kebijakan kemaritiman. Di FH UB, hukum maritim masih menjadi mata kuliah pilihan konsentrasi sehingga tidak menarik. Padahal ini lebih dinamis dibandingkan hukum laut,” jelas Dhiana.
Disini tidak pernah berpikir kalau ada kapal container atau tanker kecelakaan. Bagaimana muatan yang tumpah, menggugatnya ke siapa, ganti rugin, asuransi lautnya. Perusahaan mana yang mau menanggung, kemudian pakai hukum apa. Padahal, ini bisa didekati dari pendekatan pidana, perdata, internasional, administrasi negara, bisa masuk menjadi multidisiplin ilmu hukum.
Saat ini BAKAMLA sedang merumuskan kebijakan keselamatan dan keamanan maritim sebagaimana yang diamanahkan di UU kelautan. Sekarang yang ada adalah kebijakan kelautan, tapi kalau dilihat isinya itu masih ada kata-kata industri atau transportasi yang masih campur.
Harapannya akan dikembangkan mata kuliah hukum maritim yang terpisah dari hukum laut internasional. Mahasiswa yang belajar hukum maritim akan lebih paham bagaimana menyusun kebijakan kedepan kaitannya dengan poros maritim, yang jelas poros maritim bukan hanya tentang ketersediaan infrastruktur didarat tetapi juga membangun pelabuhan-pelabuhan mother vessel yang harusnya sudah ada di Indonesia. (meg)