oleh | Akhmad Muwafik Saleh
Tujuan utama dalam penciptaan manusia adalah dalam rangka untuk beribadah kepada Allah swt Sang Maha Pencipta. Beribadah adalah tanda bahwa manusia menyadari atas dirinya sebagai mahkluk atau ciptaan. Kesadaran yang terbangun atas informasi pengetahuan bahwa setiap diri pada mulanya adalah tiada kemudian dicipta melalui proses pertemuan antara sel sperma dengan ovum hingga sempurna proses penciptaannya pada usia 125 hari dalam rahim sang ibu dalam keadaan tanpa jiwa dan belum bernafas. Saat itulah Allah sang Pencipta meniupkan ruh pada setiap janin seraya membuat kesepakatan yang menjadikannya dapat bernafas dan berproses hidup secara sempurna hingga proses kelahiran. Sebagaimana diinformasikan secara detail dalam teks sumber wahyu:
فَإِذَا سَوَّيۡتُهُۥ وَنَفَخۡتُ فِيهِ مِن رُّوحِي فَقَعُواْ لَهُۥ سَٰجِدِينَ
Kemudian apabila telah Aku sempurnakan kejadiannya dan Aku tiupkan roh (ciptaan)-Ku kepadanya; maka tunduklah kamu dengan bersujud kepadanya.” (QS. Shad, Ayat 72)
Saat itulah Allah membuat perjanjian kesepakatan dengan makhluk tentang apa yang harus dilakukannya. Kesepakatan ini ibarat password untuk melanjutkan sebuah proses, hal demikian diinformasikan dalam teks sumber wahyu :
وَإِذۡ أَخَذَ رَبُّكَ مِنۢ بَنِيٓ ءَادَمَ مِن ظُهُورِهِمۡ ذُرِّيَّتَهُمۡ وَأَشۡهَدَهُمۡ عَلَىٰٓ أَنفُسِهِمۡ أَلَسۡتُ بِرَبِّكُمۡۖ قَالُواْ بَلَىٰ شَهِدۡنَآۚ أَن تَقُولُواْ يَوۡمَ ٱلۡقِيَٰمَةِ إِنَّا كُنَّا عَنۡ هَٰذَا غَٰفِلِينَ
Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu mengeluarkan dari sulbi (tulang belakang) anak cucu Adam keturunan mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap roh mereka (seraya berfirman), “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab, “Betul (Engkau Tuhan kami), kami bersaksi.” (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari Kiamat kamu tidak mengatakan, “Sesungguhnya ketika itu kami lengah terhadap ini.” (QS. Al-A’raf, Ayat 172)
Maka menjadi selayaknya bagi Tuhan untuk mengingatkan dan kewajiban bagi manusia untuk mengabdi dan beribadah kepada Tuhan yang mencipta sebagai konsekwensi atas janji kesepakatan yang diucapkannya sebagai password melanjutkan proses penciptaan itu. Sehingga Sang Pencipta mengingatkan sekaligus mengingatkan akan tujuan penciptaan bahwa mereka dicipta tiada lain adalah untuk beribadah
وَمَا خَلَقۡتُ ٱلۡجِنَّ وَٱلۡإِنسَ إِلَّا لِيَعۡبُدُونِ
Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku. (QS. Adz-Dzariyat, Ayat 56)
Kata ibadah secara etimologi berasal dari kata ‘abada, ya’du yang artinya merendahkan diri dan ketundukan (al-khudhu’ wa tadzallul). Sementara secara terminologi makna ibadah adalah : taat dan tunduk patuh kepada Allah seraya merendahkan diri dengan menjalankan perintahNya dan menjauhi laranganNya. Hal ini terkait dengan seluruh tindakan manusia dalam rangka membangun dan mewujudkan ketaatan kepadaNya dengan beragam aktifitas. Sehingga ibadah dibagi menjadi dua macam yaitu ibadah makhdhah (ibadah wajib seperti shalat puasa zakat dan haji) serta ibadah ghairu makhdhah (yaitu semua aktifitas manusia yang ditujukan untuk membangun ketaatan keoada Nya).
Aktifitas komunikasi dalam pelayanan publik adalah salah satu dari aktifitas ibadah pada jenis yang kedua itu yaitu ghairu makhdhah, manakala seluruh rangkaian proses pelayanan yang dilakukan jika diniatkan untuk beribadah kepada Tuhan. Sebagaimana pengertian ibadah baik secara etimologis maupun terminologis, bahwa ibadah adalah sikap merendahkan diri guna mewujudkan ketaatan. Artinya bahwa kegiatan mengabdi atau melayani adalah termasuk dalam amal ibadah.
Kegiatan mengabdi atau melayani adalah kesediaan untuk “merendahkan diri” dihadapan orang yang dilayani dalam rangka nemenuhi berbagai kebutuhan dan kepentingan yang dimaksudkan oleh orang lain. Merendahkan diri (dlosor: jawa) berarti bersedia untuk berkhidmad atau melayani orang lain dengan memberikan ruang yang ada dalam dirinya untuk diisi oleh kepentingan orang lain. Sebuah ungkapan mengatakan “ana fii khidmatikum”, saya siap berkhidmad pada anda. Jadi seorang pelayan publik adalah orang yang bersedia mendahulukan kepentingan orang lain daripada kepentingan dirinya.
Prinsip dasar dalam komunikasi pelayanan adalah bersedia mengabdikan diri secara penuh pada kepentingan orang lain. Sebagaimana kesan dari teks sumber wahyu di atas (wa maa khalaqtul jinna wal insa illa liya’budun). Jika ada huruf ما (harfu nafi, huruf peniadaan) kemudian bersambung dengan huruf istitsna’ (pengecualian) maka memiliki makna bahwa kalimat setelah ما telah dianggap tiada serta kalimat setelah إلا dianggap sebagai satu-satunya dan tiada maksud lainnya dengan makna “hanya itu”. Artinya bahwa kalimat وَمَا خَلَقۡتُ ٱلۡجِنَّ وَٱلۡإِنسَ إِلَّا لِيَعۡبُدُونِ, “Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku.” Maka maknanya bahwa maksud dari pada penciptaan hanyalah semata-mata untuk ibadah dan tidak ada maksud lainnya. Sehingga seluruh tindakan dan aktifitas manusia haruslah ditujukan untuk beribadah kepada Allah. Untuk itu tindakan dan kegiatan komunikasi pelayanan haruslah dimaksudkan untuk ibadah serta seorang pelaksana kegiatan pelayanan haruslah benar-benar fokus dalam memberikan pelayanan dan menjalankan kegiatan pelayanan, bahkan tidak menjadikan kegiatan pelayanan sebagai pekerjaan sampingan atau dalam saat seseorang sedang memberikan pelayanan maka dia harus mencurahkan seluruh energi dan potensinya untuk sepenuhnya memberikan pelayanan. Dalam konteks komunikasi pelayanan maka seseorang disaat sedang melakukan tindakan pelayanan haruslah sepenuh hati dan berfokus serta serius memberikan perhatian pada pihak yang sedang dilayani. Artinya melayani dengan sepenuh hati, jiwa dan raga adalah bagian integral dari ibadah.
Penulis KH Akhmad Muwafik Saleh Pengasuh Pesma Tanwirul Afkar dan Dosen FISIP UB