Setyo Widagdo
Guru Besar Hukum Internasional Universitas Brawijaya – [email protected]
Berita agak mengejutkan bagi masyarakat internasional yang saya baca di harian Kompas 9 Desember 2024, yaitu mengenai jatuhnya rezim Assad setelah 50 tahun berkuasa di Suriah.
Yang dimaksud Kompas adalah jatuhnya Presiden Bashar Al Assad oleh kelompok oposisi bersenjata, sedangkan 50 tahun itu dihitung sejak ayahnya Hafez Assad berkuasa tahun 1970. Bashar Al Assad sendiri telah berkuasa selama 24 tahun menggantikan ayahnya, dan memerintah secara otoriter.
Suriah beberapa dekade ini dikenal sebagai negara penuh dengan konflik internal atau perang saudara, bahkan melibatkan negara lain yang menambah kompleksnya perselisihan. Betapa tidak kompleks, yang terlibat pertikaian selain pemerintah yang sah dibawah Assad, juga ada pasukan pemberontak, ada ISIS, ada pasukan Rusia, Ada pasukan AS, kadang Iran juga secara tidak langsung membantu Assad.
Oleh karena itu banyak yang mengatakan Suriah adalah negara gagal, ratusan ribu bahkan jutaan pengungsi menambah ke luar dari Suriah melengkapi kegagalan itu.
Barangkali kejatuhan Bashar Al Assad memiliki hikmah tersendiri bagi masa depan Suriah, misalnya terjadi rekonsiliasi antar kelompok-kelompok yang selama ini saling bertikai.
Artikel ini hendak memberikan sedikit analisis tentang berbagai kemungkinan setelah jatuhnya Bashar Al Assad.
Kejatuhan rezim Bashar al-Assad di Suriah, kemungkinan akan membawa implikasi yang signifikan terhadap keamanan dan stabilitas Timur Tengah. Sebagai pemimpin yang memerintah sejak tahun 2000 setelah menggantikan ayahnya, Hafez al-Assad, Bashar telah memainkan peran sentral dalam dinamika politik, militer, dan sosial di kawasan tersebut. Pergeseran kekuasaan di Suriah tidak hanya akan memengaruhi negara itu sendiri, tetapi juga akan menimbulkan dampak regional yang kompleks. Berikut adalah beberapa implikasi utama yang dapat terjadi akibat kejatuhan rezim Bashar al-Assad terhadap keamanan Timur Tengah:
Pertama, Kejatuhan Bashar al-Assad kemungkinan besar akan menciptakan kekosongan kekuasaan di Suriah. Dalam situasi seperti ini, berbagai faksi yang telah terlibat dalam perang saudara, termasuk kelompok oposisi, milisi Kurdi, dan kelompok ekstremis seperti ISIS atau Hayat Tahrir al-Sham, akan bersaing untuk mengisi kekosongan tersebut. Hal ini dapat memperpanjang konflik bersenjata dan membuat Suriah semakin terpecah. Ketidakstabilan internal ini juga dapat memicu gelombang pengungsian yang lebih besar ke negara-negara tetangga, seperti Turki, Yordania, dan Lebanon, yang dapat meningkatkan tekanan sosial dan ekonomi di kawasan tersebut.
Kedua, Suriah telah menjadi medan proxy war bagi kekuatan regional seperti Iran, Turki, dan Arab Saudi. Kejatuhan Bashar al-Assad dapat melemahkan pengaruh Iran di kawasan tersebut karena rezim Assad merupakan salah satu sekutu utama Teheran. Iran telah memberikan dukungan militer dan finansial yang signifikan kepada Assad untuk menjaga pengaruhnya di Timur Tengah, terutama melalui hubungan dengan Hizbullah di Lebanon. Namun, kekosongan kekuasaan di Suriah dapat dimanfaatkan oleh negara lain, seperti Turki atau Arab Saudi, untuk memperluas pengaruh mereka, sehingga meningkatkan ketegangan antara kekuatan-kekuatan regional.
Ketiga, Kehancuran rezim Assad juga dapat memberikan ruang bagi kelompok ekstremis untuk bangkit kembali. Kelompok seperti ISIS, meskipun telah mengalami kekalahan besar sejak tahun 2019, dapat memanfaatkan ketidakstabilan pasca-Assad untuk mereorganisasi dan memperluas wilayah kekuasaannya. Selain itu, kelompok-kelompok Islamis lainnya dapat mencoba untuk mendirikan pemerintahan berbasis ideologi mereka, yang dapat mengancam stabilitas kawasan dan memperburuk konflik sektarian.
Keempat, Rezim Assad selama ini dikenal sebagai pendukung minoritas Alawi, sebuah cabang dari Syiah, di tengah mayoritas populasi Sunni di Suriah. Jika Assad jatuh, ketegangan sektarian antara kelompok Syiah dan Sunni dapat meningkat tidak hanya di Suriah tetapi juga di negara-negara tetangga seperti Irak, Lebanon, dan bahkan Yaman. Konflik sektarian yang lebih dalam dapat memperpanjang kekerasan di kawasan Timur Tengah dan mempersulit upaya rekonsiliasi.
Kelima, Kejatuhan Bashar al-Assad juga akan memengaruhi hubungan antara kekuatan global yang terlibat dalam konflik Suriah. Rusia, yang merupakan sekutu utama rezim Assad, telah memberikan dukungan militer yang signifikan untuk mempertahankan pemerintahannya. Kejatuhan Assad akan melemahkan posisi Rusia di Timur Tengah dan dapat memberikan keuntungan strategis bagi Amerika Serikat dan sekutunya. Namun, hal ini juga dapat memperburuk persaingan geopolitik antara kedua kekuatan besar ini.
Keenam, Kelompok Kurdi di Suriah telah memainkan peran penting dalam melawan ISIS dan mempertahankan wilayah mereka di timur laut Suriah. Kejatuhan Assad dapat memberikan peluang bagi kelompok Kurdi untuk memperkuat otonomi mereka, tetapi ini juga dapat memicu konflik dengan Turki, yang khawatir terhadap gerakan Kurdi yang dianggap sebagai ancaman terhadap keutuhan wilayahnya. Ketegangan antara Turki dan kelompok Kurdi dapat menyulut konflik baru di kawasan tersebut.
Ketujuh, Konflik berkepanjangan yang mungkin terjadi setelah kejatuhan Assad dapat memperburuk krisis kemanusiaan di Suriah. Lebih dari setengah populasi Suriah telah menjadi pengungsi atau terlantar akibat perang saudara, dan situasi ini kemungkinan akan memburuk jika konflik terus berlanjut. Gelombang pengungsi baru dapat memberikan dampak signifikan terhadap negara-negara tetangga dan komunitas internasional, yang sudah berjuang untuk menangani krisis pengungsi yang ada.
Kedelapan, Hizbullah, sebagai sekutu utama Iran dan Assad, akan kehilangan dukungan strategis jika rezim Assad jatuh. Hal ini dapat melemahkan posisi Hizbullah di Lebanon dan menciptakan ketidakstabilan politik lebih lanjut di negara itu. Sebaliknya, kekuatan politik oposisi di Lebanon yang menentang Hizbullah dapat memanfaatkan situasi ini untuk menantang dominasi kelompok tersebut.
Kesembilan, Meskipun penuh dengan risiko, kejatuhan Bashar al-Assad juga dapat membuka peluang untuk transisi politik yang lebih inklusif di Suriah. Dengan dukungan dari komunitas internasional, Suriah dapat berupaya membangun pemerintahan yang demokratis dan memperbaiki hubungan dengan negara-negara tetangga. Namun, ini memerlukan komitmen jangka panjang dan upaya kolektif dari berbagai pihak untuk mengatasi tantangan yang ada.
Penutup
Kejatuhan Bashar al-Assad akan membawa implikasi yang luas dan kompleks terhadap keamanan Timur Tengah. Konflik berkepanjangan, kebangkitan kelompok ekstremis, dan ketegangan sektarian adalah beberapa dampak negatif yang dapat terjadi. Namun, jika dikelola dengan baik, situasi ini juga dapat menjadi peluang untuk menciptakan stabilitas dan perdamaian di kawasan tersebut. Penting bagi komunitas internasional dan kekuatan regional untuk bekerja sama dalam memastikan transisi yang damai dan mencegah eskalasi lebih lanjut di Timur Tengah.(*)