Oleh | Akhmad Muwafik Saleh
Sumber dan landasan kajian dalam komunikasi profetik adalah teks sumber wahyu dan hadits nabi. Keduanya adalah landasan yang sempurna dalam menjelaskan berbagai fenomena dan peristiwa kehidupan baik yang telah berlalu maupun yang akan datang dan dititipkan secara implisit dalam setiap teks yang ada. Kesempurnaan sumber landasan profetik ini sebagaimana ditegaskan dalam Firman Allah swt :
ٱلۡيَوۡمَ أَكۡمَلۡتُ لَكُمۡ دِينَكُمۡ وَأَتۡمَمۡتُ عَلَيۡكُمۡ نِعۡمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ ٱلۡإِسۡلَٰمَ دِينٗاۚ فَمَنِ ٱضۡطُرَّ فِي مَخۡمَصَةٍ غَيۡرَ مُتَجَانِفٖ لِّإِثۡمٖ فَإِنَّ ٱللَّهَ غَفُورٞ رَّحِيمٞ
Pada hari ini telah Aku sempurnakan agamamu untukmu, dan telah Aku cukupkan nikmat-Ku bagimu, dan telah Aku ridhai Islam sebagai agamamu. Tetapi barangsiapa terpaksa karena lapar, bukan karena ingin berbuat dosa, maka sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang. (QS. Al-Ma’idah, Ayat 3)
Teks sumber wahyu ini memberikan informasi bahwa Islam yang berisi aturan dan konsepsi-konsepsi kehidupan telah sempurna. kesempurnaan Islam artinya ide dan konsepsi yang dimiliki memiliki nilai yang sangat tinggi dan bahkan tidak ada satupun konsepsi lain yang mampu menandingi ketinggian, kelengkapan, kesempurnaan dan kemuliaannya.
Terdapat dua cara penurunan aturan dan konsepsi profetik Islam ini , yaitu dengan cara terperinci (tafshili), bahwa aturan ilahiyah diturunkan dengan penjelasan yang telah sangat rinci, khususnya hal- hal yang bersifat ibadah makhdhoh ritual (seperti wudhu, sholat, haji termasuk dalam ha ini adalah tentang masalah waris dsb) ataupun pula hal prinsip yaitu aqidah atau nilai dasar keyakinan. Pada aspek ini sudah tidak ada ruang untuk melakukan ijtihad, pembaharuan aturan.
Cara kedua adalah bersifat khuthuth al ‘aridhah atau secara garis besar yaitu aturan dan konsep ilahiyah hanya dijelaskan garis besarnya saja dengan penjelasan singkat namun bermakna. Pada ranah ini maka menjadi tugas cendekiawan atau ulama yang memiliki kapasitas dalam membedah isyarat ilahiyah dalam setiap teks sumber wahyu yang ada untuk menemukan pesan-pesan penting yang disembunyikan dalam setiap teks nya, hal ini terbuka luas untuk melakukan ijtihad atau formulasi aturan atau konsep sebagaimana yang dimaksudkan oleh Allah swt. Pada cara yang kedua ini, membuka ruang bebas untuk melakukan diskusi guna menghasilkan konsep-konsep baru yang sesuai dengan nilai dasar profetik. Metode khuthut ‘aridhah atau garis besar dalam konsep awal biasanya berkaitan dengan aspek hubungan sosial kemanusiaan, interaksi ekonomi, konstruksi politik dan berbagai hal kemashlahatan kehidupan sosial manusia dan sebagainya.
Kesempurnaan konsep profetik ini dapat terlihat pada tingkat komprehensif aturan dan konsep dalam beragam pola hubungan. Antara lain tentang bagaimana manusia berinteraksi dengan Tuhannya, berupa konsep ibadah, dzikir. Pola hubungan manusia dengan dirinya sendiri, berupa konsepsi tentang aurat (batasan diri yang harus ditutupi), sehingga lahirlah konsep tentang pakaian dan mode (pakaian, rambut, berhias) yang dibenarkan dalam perspektif profetik. Termasuk pula tentang konsepsi kebersihan dan kesucian diri (taharah), manajemen waktu atau tindakan yang dianggap bernilai berkiitan dengan waktu, serta banyak lagi lainnya yang kesemua ini merupakan bagian dari fenomena komunikasi manusia.
Cakupan nilai Komprehensif dari konsep profetik juga dapat dilihat pada konsepsi dampak dalam hubungan seseorang dengan orang lain. Baik dalam konsep hubungan laki-laki dan perempuan yang didalamnya terdapat konsep dalam berkumpul (ijtima’) maka dilarang berkhalwat (berdua-duaan), ada pemisahan (infishal) tempat antara kelompok laki-laki dan perempuan, larangan ikhtilat (bercampur) antara laki-laki dan perempuan dalam suatu tempat tanpa pemisah, adanya konsep anjuran untuk menundukkan pandangan (ghaddul bashar) dalam interaksi dan tidak boleh saling menatap pandangan secara langsung dalam kehidupan umum (hayatul ‘am), larangan bersalaman atau menyentuh lawan jenis. Serta adanya konsep tentang hayatul khas dengan segala konsekwensi sikap tindakannya. Demikian pula dalam hubungan laki-laki dan perempuan dibangun pula konsep munakahaat, atau pernikahan (yang didalam terdapat konsep ta’aruf, khitbah, aqad nikah dengan segala prosesi dan pola interaksinya serta konsekwensi dampak selanjutnya dalam hubungan suami istri). Kesemua ini membentuk fenomena dalam kajian komunikasi keluarga perspektif profetik.
Dalam konteks ini pula terbentuk konsep komunikasi keluarga profetik dalam mengatur hubungan komunikaai antara anak dengan orang tua yang dibangun atas dasar kebaktian dan kepatuhan yang dikenal dengan konsep birrul waalidain. Serta pula hubungan timbal balik antara orang tua terhadap anak, yaitu berupa hubungan tanggungjawab, perhatian dan kepedulian baik dalam hal memberi nafkah maupun pendidikan. Sehingga hal ini membentuk suatu realitas dalam komunikasi pendidikan awal dalam keluarga.
Demikian pula konsep profetik juga menghadirkan konsep tentang hubungan ekonomi (shilah iqtishodiyah) berupa adanya konsepsi jual beli versus riba, saling ridho (an taraadhin) dsb. Demikian pula dalam interaksi sosial (shilah ijtimaiy) melahirkan konsep sosial profetik ( ijtima’iyah ) hingga hubungan antar kelompok dan interaksi antar budaya (suku,kabilaj, bangsa dan sebagainya). Semua ini menghasilkan fenomena komunikasi antar budaya.
Demikian pula hubungan sosial kemasyakatan melahirkan konsep pengelolaan sosial berbangsa dan bernegara sehingga melahirkan konsep kepemimpinan (ri’ayah). Demikian pula lahirlah konsepsi politik tentang bagaimana mengatur hubungan dalam berkelompok, berjamaah, proses memilih pemimpin yang ditetapkan dengan cara musyawarah dan adanya ahli syuro, model kepemimpinan dan formalisasinya. Semua ini membentuk fenomena komunikasi organisasi, komunikasi kepemimpinan hingga komunikasi politik.
Tidak hanya hubungan antar manusia, namun pendekatan profetik juga mengatur hubungan manusia dengan alam sekitar, baik terhadap binatang, tumbuhan, dan alam semesta. Konsep profetik mengatur tentang bagaimana memperlakukan hewan, air, tanah, tumbuhan, serta dampak nya apabila melakukan tindakan yang tidak bertanggungjawab seperti munculnya bencana dan cara mensikapinya. Semua ini dijelaskan secara ringkas dalam teks sumber wahyu (alquran dan al hadits) yang kesemua ini membentuk fenemona komunikasi yang beragam, misal komunikasi kesehatan, komunikasi lingkungan serta komunikasi bencana.
Kompleksitas dan cakupan komprehensif dari konsep profetik ini menjadikan kajian komunikasi profetik memiliki ruang cakupan kajian yang sangat luas dan beragam. Inilah konsekwensi dari kamaliyah dan syumuliah dari ajaran islam yang agung.
Penulis KH Akhmad Muwafik Saleh Pengasuh Pesma Tanwirul Afkar dan Dosen FISIP UB