Islam sebagai agama rahmat bagi alam semesta. Menempatkan manusia sebagai sebaik-baiknya makhluk ciptaan. Kemuliaan manusia tidaklah ditentukan oleh bentuk fisiknya, jenis kelamin, kekayaan, dan segala bentuk materi lainnya melainkan berdasarkan kualitas diri yang abstrak non material dan intangible yaitu ketaqwaan dirinya.
Islam menempatkan laki-laki dan perempuan dalam posisi yang sama dan sederajat dalam hal ibadah dan mendapatkan derajat ketaqwaan.
يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّاسُ ٱتَّقُواْ رَبَّكُمُ ٱلَّذِي خَلَقَكُم مِّن نَّفۡسٖ وَٰحِدَةٖ وَخَلَقَ مِنۡهَا زَوۡجَهَا وَبَثَّ مِنۡهُمَا رِجَالٗا كَثِيرٗا وَنِسَآءٗۚ وَٱتَّقُواْ ٱللَّهَ ٱلَّذِي تَسَآءَلُونَ بِهِۦ وَٱلۡأَرۡحَامَۚ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ عَلَيۡكُمۡ رَقِيبٗا
Wahai manusia! Bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu (Adam), dan (Allah) menciptakan pasangannya (Hawa) dari (diri)-nya; dan dari keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Bertakwalah kepada Allah yang dengan nama-Nya kamu saling meminta, dan (peliharalah) hubungan kekeluargaan. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasimu. (QS. An-Nisa’ :1)
Islam sangat memuliakan perempuan, bahkan alquran memberikan nama khusus dalam al quran dengan nama surat an nisa (wanita atau perempuan). Bahkan dalam memulai suratnya (an nisa), Allah pertama-tamu menempatkan posisi yang sederajat antara laki dan perempuan dan pembedanya hanyalah masalah kualitas taqwa. Namun ingat sekalipun keduanya (laki dan perempuan) memiliki kesamaan dalam mewujudkan kualitas diri namun bahwa hal demikian disebutkan dalam nama surat yang bernama an nisa (wanita/perempuan). Hal ini seakan memberikan sebuah kesan bahwa kehidupan masyarakat yang dilahirkan dan dibentuk dari entitas laki dan perempuan sangatlah dipengaruhi oleh kualitas kalangan perempuanya. Karena memang sejatinya perempuan adalah wajah sebuah generasi. Jika baik perempuannya maka baik pula generasi yang akan dilahirkan, karena perempuan adalah ibu dan ibu adalah sekolah bagi generasi (al ummu madrastul ulaa).
Salah satu cara Islam memuliakan wanita adalah dengan memberikan ruang baginya untuk memperoleh warisan dari keluarganya yang meninggal dengan cara yang adil dalam pembagian menurut Allah swt. Sementara apabila ditilik dari perjalanan sejarah di jaman jahiliyah, pada masa itu, menempatkan perempuan pada posisi subordinasi dan tidak mulia, bahkan apabila melahirkan anak perempuan dianggap memalukan keluarga dan merendahkannya. Diskriminasi ini berlanjut pula dalam hal pembagian harta warisan. Anak laki-laki yang belum dewasa serta perempuan, tidak berhak mendapat warisan dari harta peninggalan orang yang meninggal dunia. Bahkan mereka beranggapan, bahwa janda dari orang yang meninggal itu dianggap sebagai warisan dan boleh berpindah tangan dari si ayah kepada anaknya.
Masyarakat Arab jahiliyah menganggap, anak-anak tidak mungkin menjadi ahli waris karena belum mampu berperang, menunggang kuda, memanggul senjata ke medan perang serta memboyong harta rampasan perang. Disamping itu, status hukumnya juga masih berada di bawah perlindungan.
Sementara kaum perempuan tidak masuk dalam kelompok ahli waris karena fisiknya yang tidak memungkinkan untuk memanggul senjata dan bergulat di medan laga serta jiwanya yang sangat lemah bila melihat darah. Dalam persepsi masyarakat jahiliyah, perempuan adalah wujud kelemahan, kekurangan dan layak untuk tidak dihormati dan dimulyakan.
Islam hadir ke bumi manusia untuk mengembalikan fitrahnya dan menjunjung tinggi kemuliaan manusia baik laki-laki maupun perempuan. Bahkan secara spesifik Islam datang untuk memuliakan perempuan dengan berbagai konsepsi dan aturan yang terkait dengannya. Salah satunya adalah penetapan hak waris. Jika sebelumnya perempuan diperlakukan sebagai objek warisan yang disamakan kedudukannya dengan harta yang dibagikan, maka Islam hadir dengan memuliakannya yaitu mereka juga memperoleh sebagian harta waris yang ditinggalkan oleh keluarganya yang meninggal. Sebagaimana Firman Allah swt:
لِّلرِّجَالِ نَصِيبٞ مِّمَّا تَرَكَ ٱلۡوَٰلِدَانِ وَٱلۡأَقۡرَبُونَ وَلِلنِّسَآءِ نَصِيبٞ مِّمَّا تَرَكَ ٱلۡوَٰلِدَانِ وَٱلۡأَقۡرَبُونَ مِمَّا قَلَّ مِنۡهُ أَوۡ كَثُرَۚ نَصِيبٗا مَّفۡرُوضٗا
Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan kedua orang tua dan kerabatnya, dan bagi perempuan ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan kedua orang tua dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bagian yang telah ditetapkan. (QS An-Nisa’ : 7)
Pembagian harta waris bagi seorang perempuan adalah cara Islam dalam menghormati perempuan, hal ini juga berdampak pada bagaimana harusnya pula setiap orang memperlakukannya dengan mulia dan terhormat baik dalam ucapan, tindakan dan perlakuan dalam berbagai realitas kehidupan dan interaksi sosial lainnya yang lebih kompleks.
Secara spesifik Allah menjelaskan secara detail berapa bagian untuk perempuan, sebagaimana dalam FirmanNya dalam surat An Nisak di ayat 11-12.
يُوصِيكُمُ اللّهُ فِي أَوْلاَدِكُمْ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الأُنثَيَيْنِ
Allah mensyariatkan bagimu tentang pembagian waris untuk anak-anakmu, yaitu bagian buat seorang anak lelaki sama dengan bagian buat dua orang anak perempuan. (QS. An-Nisa : 11)
وَلَهُنَّ الرُّبُعُ مِمَّا تَرَكْتُمْ إِن لَّمْ يَكُن لَّكُمْ وَلَدٌ
Dan mereka (perempuan) mendapat 1/4 dari apa yang kamu tinggalkan bila kamu tidak mempunyai anak (QS. An-Nisa’: 12)
فَإِن كَانَ لَكُمْ وَلَدٌ فَلَهُنَّ الثُّمُنُ مِمَّا تَرَكْتُم مِّن بَعْدِ وَصِيَّةٍ تُوصُونَ بِهَا أَوْ دَيْنٍ
Jika kamu mempunyai anak, maka para istri memperoleh 1/8 dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar utang-utangmu. (QS. An-Nisa’: 12)
Pembagian hak waris atas diri perempuan sesungguhnya adalah bentuk keadilan Allah atas perempuan, sekalipun secara objektif jumlah bagian bagi laki-laki lebih besar dibandingkan atas perempuan, maka secara substantif jumlah besaran bagian untuk perempuan lebih besar. Hal ini dapat dipahami secara realitas objektif bahwa laki-laki adalah sebagai pemimpin atau kepala keluarga yang bertanggungjawab untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. Seluruh hasil kerja dan harta yang dimilikinya tentu tetap diperuntukkan untuk menafkahi istri dan anak-anaknya. Sehingga sekalipun seorang laki-laki (sebagai seorang anak) mendapatkan dua bagian dari perempuan tentu tetap akan dibagi atau didistribusikan kepada ibunya (sebagai wujud anak yang berbakti, sebab bagi anak laki-laki, dirinya dan hartanya adalah milik orang tuanya yaitu ibu dan bapaknya) atau pula diberikan kepada istri dan anak-anaknya. Sehingga pembagian waris atas laki-laki yang lebih besar dari perempuan sejatinya adalah bentuk keadilan Allah swt dalam memperlakukan hambanya. Bayangkan jika harta waris harus dibagi dua sama rata, maka seorang laki-laki pasti tidak akan memperoleh bagian apapun atas dirinya.
Keadilan dalam perspektif profetik tidaklah dipahami dengan cara membagi secara sama dan merata, melainkan bersifat proporsional sesuai dengan kontekstualisasi realitas (wad’u syai’in ‘alaa mahallihi). Jika Konsep keadilan dalam konteks ini ldengan membagi secara sama dan merata (setara, equal) dapat menjauhkan dari substansi keadilan itu sendiri. Sehingga keadilan gender bukanlah membelah realitas berdasarkan kompetensi fisik yang saling berkompetisi, melainkan berdasarkan substansi peran pada masing-masingnya yang saling melengkapi. Dalam konsep peran yang saling melengkapi ini maka akan terwujud keadilan yang berkesetaraan dalam mencapai realitas komunikasi dan interaksi yang harmonis, damai dan mensejahtetakan. Inilah keadilan gender dalam perspektif islam, sebagai bentuk komunikasi profetik yang mencerahkan dan membebaskan.