Kanal24, Malang – Anis Hidayah, Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) dalam acara “The 7th Conference on Human Rights”, yang mengangkat tema “Human Rights, Peace, and Innovation in Asia and the Pacific: A Synergistic Approach to Sustainable Societies” yang digelar oleh Fakultas Hukum (FH) Universitas Brawijaya (UB) pada Rabu (28/08/2024), memberikan pernyataan yang mendalam tentang kondisi demokrasi dan pemenuhan hak asasi manusia (HAM) di Indonesia.
Anis mengungkapkan kekhawatirannya terhadap proses legislasi yang berjalan cepat tanpa partisipasi publik yang memadai. “Bagaimana satu undang-undang akan direvisi hanya dalam waktu 1 jam dan itu bisa gagal karena masyarakat bergerak. Artinya, kalau masyarakat tidak bergerak, banyak regulasi yang hadir untuk kepentingan kelompok, bukan untuk memastikan kepentingan warga negara. Ini cukup mengkhawatirkan, terutama bagi situasi demokrasi yang akan berdampak pada pemenuhan hak asasi manusia di Indonesia,” ujar Anis.
Ia menekankan pentingnya peran masyarakat dalam mengawasi proses legislasi dan menyoroti bahwa tanpa partisipasi aktif dari masyarakat, regulasi-regulasi yang dibuat bisa lebih menguntungkan kelompok tertentu dibandingkan rakyat secara keseluruhan. Anis juga menyatakan bahwa konferensi ini menjadi momentum yang tepat untuk membahas HAM di masa transisi pemerintahan yang sedang berlangsung di Indonesia.
Dalam tiga tahun terakhir, Komnas HAM telah menerima banyak pengaduan terkait konflik lahan dan agraria, di mana pemerintah pusat dan daerah menjadi pihak yang paling banyak diajukan dalam kasus-kasus ini. “Pemerintah pusat dan daerah paling banyak diajukan ke Komnas HAM dalam hubungannya dengan pemenuhan HAM dalam menangani kasus-kasus, terutama hak atas keadilan, rasa aman, dan kesejahteraan masyarakat,” kata Anis.
Selain itu, ia juga menyoroti masih jauhnya kesejahteraan masyarakat dari yang seharusnya. “Pekerjaan yang layak belum bisa dipenuhi sepenuhnya, masih banyak tantangannya. Pemenuhan hak atas pekerjaan ini akan menentukan bagaimana kesejahteraan masyarakat, yang sampai sekarang ini masih belum tuntas dan merugikan masyarakat,” lanjutnya.
Anis juga menyinggung tragedi Kanjuruhan, di mana Komnas HAM telah melakukan investigasi dan merekomendasikan pemerintah untuk memberikan keadilan bagi korban. “Kami telah merekomendasikan pengamanan yang tidak berlebihan dan mendorong proses hukum yang berkeadilan bagi korban. Namun, faktanya justru para terduga pelaku dibebaskan, yang cukup mengecewakan dan melukai keadilan bagi para korban serta publik,” ujarnya.
Tak hanya itu, Anis menyoroti perlunya perhatian lebih dalam bidang pendidikan, terutama untuk anak-anak disabilitas. “Pendidikan inklusif bagi anak-anak disabilitas masih menjadi tantangan besar. Akses yang layak, penganggaran yang memadai, serta perlakuan yang setara masih menjadi isu yang harus diselesaikan,” tegasnya.
Anis menekankan bahwa menyampaikan pendapat adalah hak dasar yang harus dijamin, termasuk bagi perempuan. Ia menekankan bahwa jika nilai-nilai lokal bertentangan dengan prinsip HAM, maka prinsip-prinsip HAM harus didahulukan.
Konferensi ini dihadiri oleh akademisi, aktivis, dan pejabat pemerintah dari berbagai negara di Asia dan Pasifik. Diskusi mendalam mengenai HAM dan tantangan-tantangan yang dihadapi oleh negara-negara di kawasan ini menjadi agenda utama. Anis menekankan pentingnya kerjasama antara masyarakat dan pemerintah untuk memastikan bahwa HAM di Indonesia dapat terlindungi dan dihormati di tengah dinamika politik dan sosial yang terus berubah. (nid/una)