Kanal24, Malang – Kasus pagar laut di pesisir Tangerang memunculkan berbagai persoalan hukum yang menjadi perhatian banyak pihak, terutama terkait penerbitan Hak Guna Bangunan (HGB) di wilayah laut.
Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Prof. Dr. Imam Kuswahyono, S.H., M.Hum, memberikan pandangan mendalam tentang kompleksitas hukum ini, termasuk pengaruh Undang-Undang Cipta Kerja terhadap tata kelola sumber daya alam
HGB di Laut: Problem Tafsir dan Regulasi
Prof. Imam menjelaskan bahwa HGB, secara prinsip, adalah surat tanda bukti hak atas tanah yang memberikan wewenang kepada individu atau badan hukum untuk memanfaatkan lahan tertentu. Namun, penerapannya di wilayah laut dinilai tidak tepat.
“Laut adalah open resource atau sumber daya terbuka. Jika laut dipagari, ini bertentangan dengan prinsip dasar pemanfaatan laut yang seharusnya dapat diakses oleh siapa saja. Apalagi Indonesia adalah negara bahari,” tegasnya (24/1/2025).
Ia juga mengkritisi interpretasi ekstensif terhadap pasal 1 ayat 4 dan pasal 4 ayat 2 dan 3 dalam peraturan agraria. “Peraturan hukum di Indonesia hanya mengatur hak atas tanah, bukan atas laut. Menyamakan laut dengan tanah adalah kesalahan tafsir yang harus segera diluruskan,” tambahnya.

Reklamasi dan Hak atas Tanah Baru
Dalam konteks reklamasi, Prof. Imam menegaskan bahwa tanah hasil reklamasi menjadi tanah negara yang pemanfaatannya harus melalui prosedur resmi. “Reklamasi menciptakan daratan baru, tetapi tidak otomatis memberikan hak milik kepada pihak tertentu. Semua harus melalui pengajuan resmi kepada Kantor Pertanahan,” jelasnya.
Ia mempertanyakan dasar hukum pemberian HGB di wilayah laut dalam kasus pagar Tangerang. “Ini adalah kesalahan interpretasi serius. Jika benar HGB diberikan untuk wilayah laut, maka itu tidak sah dan harus segera dibatalkan,” ujarnya.
Dampak Undang-Undang Cipta Kerja
Prof. Imam menyoroti UU Cipta Kerja (UU No. 6 Tahun 2023) sebagai salah satu penyebab utama kerancuan hukum yang terjadi. Ia menjelaskan bahwa UU ini terlalu menitikberatkan pada fasilitasi investasi dengan mengabaikan prinsip-prinsip keterbukaan, partisipasi publik, dan perlindungan lingkungan.
“UU Cipta Kerja menyederhanakan banyak aturan, tetapi dengan mengorbankan rambu-rambu hukum. Regulasi turunannya, seperti PP No. 18 Tahun 2021 dan PP No. 46 Tahun 2021, sering kali memberikan ruang interpretasi yang menabrak prinsip-prinsip tata kelola sumber daya alam,” paparnya.
Prof. Imam juga mengkritik proses legislasi UU Cipta Kerja yang dinilai ugal-ugalan. “Proses ini mengabaikan partisipasi publik dan menghasilkan regulasi yang justru merugikan masyarakat kecil, seperti nelayan di kasus pagar laut ini,” tambahnya.
Dampak pada Nelayan dan Solusi Hukum
Kasus pagar laut ini, menurut Prof. Imam, mencerminkan minimnya perlindungan hukum terhadap masyarakat pesisir. “Pemagaran laut jelas merugikan nelayan, baik dari sisi akses terhadap sumber daya alam maupun mata pencaharian mereka,” katanya.
Ia mengusulkan beberapa langkah hukum yang dapat diambil:
- Judicial Review UU Cipta Kerja: Akademisi dan masyarakat harus mendorong revisi undang-undang yang bermasalah ini.
- Class Action oleh Nelayan: Masyarakat terdampak dapat mengajukan gugatan terhadap pemerintah untuk mendapatkan ganti rugi dan keadilan.
- Penguatan Koordinasi Kementerian: Lemahnya koordinasi antara ATR/BPN dan KKP perlu segera diperbaiki untuk mencegah kasus serupa di masa depan.
Pentingnya Reformasi Agraria
Prof. Imam juga menyoroti pentingnya reformasi hukum agraria yang komprehensif. Ia merekomendasikan pembentukan Pengadilan Agraria dan Sumber Daya Alam sebagai lembaga khusus untuk menangani konflik agraria. “Pengadilan ini harus melibatkan hakim ahli, akademisi, dan tokoh masyarakat, sehingga keputusan yang diambil benar-benar berpihak pada keadilan,” jelasnya.
Prof. Imam berharap kasus ini menjadi momentum untuk mereformasi kebijakan agraria dan tata kelola sumber daya laut secara menyeluruh.
“Masyarakat pesisir adalah pilar penting bangsa ini. Keberpihakan pada mereka harus menjadi prioritas dalam setiap kebijakan,” pungkasnya.(Din)