Oleh : Prof Rachmat Kriyantono
Ramai viral spanduk foto seorang Dandim bersebelahan dengan pasangan capres no 2 di Sukoharjo.Pejabat TNI sudah menyatakan bahwa spanduk itu hoax, yakni dibuat pihak lain di luar TNI.
Mungkin benar klarifikasi TNI ini, namun, tetap akan sulit mengubah persepsi publik bahwa aparat tidak netral dan dipersepsi mencoba memenangkan salah satu capres.
Persepsi negatif ini makin sulit dinegasi ketika secara bersamaan terjadi pembagian bansos oleh presiden di dekat baliho capres no 2. Kejadian ini juga disanggah oleh istana bahwa pembagian itu tidak terkait pilpres.
Kredibilitas Positif Menurun
Dalam Ilmu Komunikasi, proses komunikasi sangat ditentukan oleh kredibilitas komunikatornya. Komunikator adalah “the man behind the gun” yang menentukan efektifitas pesan yang ditembakkan ke publik.
Klarifikasi tentang dua peristiwa itu sulit mengubah persepsi publik karena saat ini muncul ketidakpercayaan publik terhadap netralitas presiden. Kredibilitas dibangun dari dua dimensi, yakni keterpercayaan dan kapabilitas komunikator.
Hal ini terakumulasi dari fakta-fakta sebelumnya. Presiden sudah dianggap publik tidak netral ketika fotonya terpampang bersama capres Prabowo dan Ketum PSI, parpol koalisi Prabowo, serta kasus MK yang terkait majunya anak presiden sebagai cawapres. Pernyataan presiden agar debat tidak menyerang personal dan usulannya agar format debat diubah makin memunculkan tuduhan ketidaknetralan ini.
Survei LSI pada Desember 2023 menunjukkan 28.7% responden menyatakan presiden tidak netral dalam pilpres. Level kepercayaan (dimensi irasional) terkait netralitas bisa mempengaruhi dimensi kapabilitas (yang lebih rasional), karena keduanya satu paket kredibilitas.
Secara kapabilitas, presiden sebenarnya dianggap cakap. Banyak hasil pembangun dirasakan publik. Survei LSI pada Juli 2023 menunjukkan kepuasan terhadap kinerja presiden mencapai 90%. Tetapi, survei litbang Kompas pada Desember 2023 (masa pilpres) menunjukkan bahwa kepuasan ini menurun menjadi 73.5%.
Presiden Harus Netral
Presiden memang punya hak pilih sebagai hak asasi warga negara. Belum ada aturan yang secara eksplisit mewajibkan presiden untuk netral/tidak mendukung capres.
Tetapi, terdapat aturan yang bisa dibaca bahwa presiden mesti netral. Pasal 48 UU No 7/2017 tentang Pemilu, KPU harus melaporkan kepada DPR dan Presiden tentang penyelenggaraan semua tahap pemilu. Pasal 22 UU Pemilu juga menugaskan Presiden terkait pembentukan anggota KPU. Dua pasal ini mestinya mensyaratkan presiden untuk netral agar kedua tugas dalam UU Pemilu di atas berjalan baik.
Presiden adalah panglima tertinggi TNI dan Polri serta manajer tertinggi pengelola ASN maka agar semua aparat negara netral, mestinya presiden juga netral. Kenetralan aparat ini merupakan amanat UU TNI, UU Polri, dan UU ASN serta UU Pilpres no 42/2008.
Isu kenetralan ini bisa berpotensi tinggi memunculkan penyalahgunaan kewenangan kepala penyelenggara pemerintahan. Potensi conflict of interest pun bisa tinggi karena salah satu kontestan adalah anak presiden. Hal ini sudah tetjadi dalam proses MK terkait UU Pemilu, November 2023.
Bisa terjadi tumpang tindih dengan posisi presiden sebagai kepala negara yang harus berdiri di semua golongan anak bangsa. Tumpang tindih dan penyalahgunaan wewenang ini bisa dianggap melanggar UU No 30/2014 tentang Administrasi Pemerintahan.
Komunikasi Politik High Context Culture
Demokrasi kita tidak sama dengan AS. Demokrasi di negeri Paman Sam ini lebih dewasa dan komunikasi politiknya bersifat lebih low context culture. Wajar jika tidak memunculkan kontroversi ketika presiden yang sefang ternyata menjabat mendukung seorang capres. Tetapi, dukungan ini diarahkan kepada capres yang satu parpol dengan presiden dan tidak ada anak presiden incumbent yang maju dalam kontestasi.
Dua kondisi di AS ini tampak berbeda dengan pilpres 2024 di Indonesia saat ini.
Perbedaan lain, Presiden Obama (PartainDemokrat) misalnya menyatakan secara terbuka dukungan kepada capres Hillary Clinton (Demokrat).
Presiden Jokowi sampai kini belum berbicara secara terbuka mendukung, hanya komunikasi nonverbalnya bermakna mendukung. Komunikasi nonverbal memang mendominasi dalam masyarakat kita yang masih high context culture.
Konteks budaya ini tampak mempengaruhi desain aturan main kita yang tidak secara tegas mewajibkan presiden netral. Sebenarnya, high context culture banyak menempatkan etika sebagai sandaran bermain daripada hukum formal.
Namun, ada yang aneh ketika etika sebagai sandaran ini seakan tidak dihiraukan dalam keputusan MK yang diputuskan MKMK telah melanggar etika berat dalam prosesnya. Mestinya cawapres yang bisa maju akibat keputusan MK ini dianggap cacat etika.
Dampak Kontestasi
Jika ketidaknetralan presiden berlanjut dan makin terbuka secara masif maka alih-alih positif, bisa berdampak negatif pada capres no 2.
Bagi masyarakat high context culture, presiden dianggap “bapake anak-anak” sehingga jika mendukung satu kontestan bisa dianggap tidak elok. Masyarakat kita, terutama di desa dan kampung-kampung, pun seakan tabu menyampaikan siapa yang akan dipilih.
Ditambah lagi, publik sekarang cerdas karena akses informasi makin terbuka. Publik membaca adanya ambiguitas pesan dari presiden. Di satu sisi menginstruksikan aparat netral (bahkan sudah ada,SKB tentang netralitas,ASN), tapi, presiden sendiri juga dipersepsi publik sebagai tidak netral. Hal ini jika terus-menerus berlanjut, bisa memunculkan kemuakan politik.
Memang mayoritas lembaga survei masih menyebut capres no 2 masih tertinggi. Tapi, belum bisa dipastikan kemenangan, karena, pertama, swing-voters masih tinggi, sampai 8% hingga 10%. Kedua, masih ada dua debat yang bisa membuat pergeseran pilihan. Ketiga, belum bisa dipastikan keakuratan hasil survei karena masih ada perbedaan antar pelaku survei akibat beda metode. Keempat, jika persepsi publik negatif pada “cawe-cawe” maka bisa berdampak negatif pada paslon no 2. “Cawe-cawe” ini bisa meruntuhkan kredibilitas presiden yang saat ini masih terjaga terutama di pedesaan, akibat strategi blusukan presiden selama 9 tahun ini.
Penulis merupakan Guru Besar Ilmu Hubungan Masyarakat UB