KANAL24, Malang – Suatu hari seseorang pernah bercerita tentang pengalamannya mendapatkan lailatul qadar. Menurutnya, suatu malam saat tanggal 27 ramadhan, dia biasa melakukan qiyamul lail mulai sejak jam 12 malam apabila telah masuk 10 hari terakhir bulan ramadhan (asyrul awakhir). Malam itu angin sangat kencang menerpa atap masjid yang kebetulan masih dalam proses renovasi sehingga terdengar suara gaduh diatas atap. Namun sejenak kemudian, seakan suasana berhenti seketika tidak ada angin seperti sebelumnya, semua terasa tenang dan sepi.
Saat itu dia sedang khusyuk dengan dzikirnya. Tiba-tiba dia diserang rasa kantuk, dan dalam keadaan antara tidur dan sadar (dalam bahasa NLP, Neuro Linguistic Programming, disebut dengan suasana bawah sadar, unconscious, gelombang theta) seakan dia bermimpi. Jauh di atas langit sana, terlihat bintang begitu terang bersinar dan tiba-tiba jatuh pada dirinya melalui kepala dan seakan terus masuk mengalir ke dalam tubuhnya hingga seakan terasa sangat dingin seperti es (salju yang lembut) sampai diujung kaki. Setelah itu dia langsung tersadar, kemudian antara kaget, bingung dan bahagia dia segera bersujud dan bersyukur pada Allah swt. Keesokan harinya dia merasakan suasana yang berbeda dengan hari sebelumnya, perasaan tenang bahagia dan alam sekitar membawa pada suasana yang benar-benar berbeda. Apakah ini yang disebut kejatuhan lailatul qadar ???? demikian kecamuk batin dalam benaknya. Bismillah, semoga….
Mungkin pada orang yang pernah berjumpa dengan lailatul qadar memiliki pengalaman spiritualnya masing-masing dengan perasaan dan peristiwa yang berbeda-beda. Beberapa ulama mencoba menjelaskan persoalan lailatul qadar ini dalam beragam sudut pembahasan. Dari sisi kemungkinan waktu turunnya –(di tanggal-tanggal ganjil sepuluh hari terakhir ramadhan)–, keadaan waktu turunnya –(keadaan matahari di pagi hari, terbit berwarna putih tanpa memancarkan sinar ke segala penjuru ; dan malamnya tidak panas, tidak juga dingin, matahari di pagi harinya tidak begitu cerah nampak kemerah-merahan)–, cara mendapatkannya –(tidak ada cara lain kecuali hanya dengan memperbanyak ibadah selama ramadhan dan menghidupi malam-malamnya serta memperbanyak dzikir syahadat dan taubat, yang utama adalah keikhlasan dan kesungguhan penuh harap untuk mendapatkannya)–, hingga pembahasan tanda-tanda seseorang yang memperoleh lailatul qadar.
Abuya Sayyid Muhammad bin Alawi al Maliki menyebutkan setidaknya terdapat 8 tanda seorang mukmin yang meraih lailatul qadar (sebagaimana ditulis dalam kitabnya, “Syaraful Ummah Muhammadiyah”) yaitu antara lain : 1). Hatinya lembut, 2). Mudah menangis, 3). Menyesali dosa-dosa masa lalu, 4). Merasa malu kepada Allah swt, 5). Rindu kepada Rasulullah saw, 6). Senantiasa jembar hati dan lapang dada, 7). Tambah semangat dan rajin dalam beramal shalih, 8). Rindu akan perjumpaan dengan Allah swt.
Intinya bahwa tanda mereka yang meraih lailatul qadar adalah ada perubahan signifikan pada dirinya menjadi lebih baik daripada sebelumnya. Ibadahnya semakin bersemangat, semakin menguatkan nilai keistiqamahan amaliahnya, jika sebelumnya pemarah maka menjadi lebih bisa mengontrol emosi dirinya, jika sebelumnya emosional maka menjadi lebih penyabar, jika sebelumnya mudah mengeluh maka menjadi lebih menerima ketetapan Allah dengan penuh ikhlas dan ridho, jika sebelumnya pendendam maka menjadi mudah memaafkan orang lain. Intinya, pribadinya menjadi lebih baik ibadah dan amalnya serta lebih peka terhadap penderitaan sesama dan ringan tangan untuk menolong orang lain.
Itulah pribadi yang berhasil mencapai tujuan utama puasa yaitu meraih derajat taqwa. Sebuah derajat kemuliaan seseorang yang tampak pada konstruksi berpikir yang bersih dan lurus, jauh dari kekacauan berpikir (vallacy, virus dan penyakit berpikir, semisal liberalisme dan sekularisme berpikir) berupa semakin mencintai Allah dan agamanya, semakin mencintai Rasulullah dan ummatnya serta terimplementasi dalam tindakan berupa tanggungjawab kemanusiaan atas berbagai pola hubungan dan perannya dalam kehidupan.
Ramadhan adalah nikmat terbesar yang diberikan oleh Allah swt kepada manusia terlebih bagi seorang mukmin karena di dalamnya banyak kebaikan dan ampunan. Allah swt sangatlah senang apabila puasa ramadhan itu berbekas dalam keseharian pasca ramadhan dalam 11 bulan setelahnya, tentu dengan cara menjaga keistiqomahan kebaikannya. Sebagaimana dalam sebuah hadits disebutkan :
Sesungguhnya Allah swt senang nikmatnya terlihat berbekas pada hambanya (HR. Tirmidzi)
Niat perubahan menuju lebih baik dan Istiqomah dengan perubahan kebaikan itulah yang diharapkan oleh madrasah ramadhan. Mereka yang menapaki jejak perubahan menuju kebaikan maka sejatinya itulah mereka yang mendapati lailatul qadar. Bekas kebaikan yang dapat dibawanya menuju perjumpaannya dengan Allah swt.
Semoga kita termasuk golongan orang yang mampu menapaki perubahan kebaikan yang lebih baik lagi dan mengistiqomahinya dalam masa-masa penantian kita dari sisa-sisa umur kita ini, hingga kelak Allah swt meridhoi kita dan diakhirkan dalam keadaan husnul khotimah. Aamiiiin….
Penulis Akhmad Muwafik Saleh. Dosen Fisip UB dan motivator