Suatu hari abina Ihya ulumiddin (santri senior Prof. DR. Abuya sayyid Muhammad bin Alawi al Maliki, ahli hadist Makkah dan keturunan Rasulullah saw, yang biasa dipanggil abuya oleh para santrinya) diajak oleh Abuya menginap di sebuah hotel termahal Jakarta kala itu. Disaat telah masuk hotel dengan fasilitas yang sangat lengkap berkelas premium, tiba-tiba Abuya meminta abina untuk membeli tikar. Sebagai santri yang taat kepada guru tanpa banyak bertanya, abina langsung turun dan keluar hotel mencari tikar yang dimaksud.
Setelah memperoleh tikar abina langsung menuju ke kamar tempat dimana beliau bersama Abuya menginap dan tanpa disangka Abuya memerintahkan, “Ihya….!, buka tikar itu dan hamparkan, malam ini kita tidur di atas tikar tidak di atas kasur…!”. Abina terkaget dan tertegun, lalu tiba-tiba Abuya menyampaikan lagi, “jika kamu sudah tidak bisa membedakan antara batu dan emas kamu telah menjadi manusia”. Subhanallah ?
Itulah wujud pikiran spiritualitas yang mendalam dan tinggi dari Abuya Sayyid Muhammad bin Alawi al-maliki tentang bagaimana memandang dan menilai dunia. Pada manusia awam, tentu akan berpikir bagaimana mungkin manusia tidak bisa membedakan antara batu dan emas sementara masih ada nafsu pada dirinya ?, disaat hawa nafsu duniawi masih menggelora dalam kesehariannya ?. Namun tidaklah demikian bagi seseorang yang telah mencapai maqam tasawuf yang sesungguhnya, Baginya sudah tidak ada beda antara celaan dan pujian, antara hinaan dan sanjungan, antara derita dan nikmat, karena yang ada dalam pandangannya hanyalah Allah semata dan apapun yang dialaminya telah dianggap sebagai wujud dari kasih sayang Allah atas dirinya.
Pada mereka yang telah mencapai maqam ma’rifah, pandangannya hanya tertuju pada Allah semata, batu dan emas hanyalah makhluk yang sama saja dengan dirinya, ciptaan Allah swt yang harus tunduk patuh semata kepada Allah swt. Bagi mereka yang telah mencapai maqom ini, dia telah merasakan kebersamaan dengan Allah swt jauh lebih nikmat dibandingkan apapun, sehingga apapun yang dilihat atas makhluk, tidaklah seindah di saat dia bersama Allah swt, hatinya terus hidup dan lisannya terus berdzikir menyebut Sang Kekasih yaitu Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
Itulah jiwa yang hidup yang dipenuhi dengan cinta (al hubb) kepada Sang Penciptanya, pikiran dan pandangannya hanya tertuju pada satu titik yaitu Dzat Yang Maha Tercinta, Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
Lintasan makhluk yang ada di hadapannya tidak akan mampu membuat dirinya berkedip dan tersilaukan karena yang ada dalam pandangan dan pikirannya adalah hanya cahaya Allah, cahaya diatas cahaya yang amat terang dan telah telah menyilaukan mata batinnya dan menghilangkan benda-benda lain sehingga tak tampak terlihat dalam pandangannya. Inilah hati yang hidup, yang mampu mensaring segala kotoran dalam pikiran.
Hal ini persis juga terjadi dalam kisah pembelian rencana lahan pondok Nurul Haromain di dekat alun-alun kota Batu pada masa itu yang dianggap sangat strategis dan menguntungkan karena dipenuhi tanaman apel yang subur. Disaat proses pembelian dilangsungkan, terlintaslah dalam pikiran abina Ihya atas lahan tersebut bahwa dengan lahan yang sedemikian strategis itu akan bisa memenuhi kebutuhan pondok di kemudian hari. Lalu disampaikanlah pikiran itu pada Abuya, namun apa jawab Abuya, tak disangka-sangka, “Huus..? pikiranmu rusak, kamu menggantungkan pada apel, tidak pada pencipta apel”. Subhanallah…
Inilah pikiran yang bersih wujud pemahaman aqidah yang bersih sehingga mampu menemukan celah kesalahan berpikir sekalipun dengan lintasan berpikir yang samar dan terkesan sepele, tapi disitulah syaitan memainkan peran untuk mengelabuhi pikiran manusia dan kesalahan itu terbaca dengan jelas dan tampak terang benderang oleh Abuya sebab bersihnya pikiran, lurusnya aqidah dan tingginya maqam.
Semoga kita termasuk hambaNya yang terselamatkan dalam pikiran dari hal-hal yang merusak. Semoga Allah swt selalu membimbing kita di jalanNya. Dan semoga Allah meridhoi diri kita. Aamiiiin…..
Penulis Akhmad Muwafik Saleh. Dosen Fisip UB dan mitivator