Oleh : Noval Adib
Ada jurus yang sepertinya ‘wajib’ dilakukan dalam berinvestasi, yaitu portofolio. Portofolio adalah diversifikasi investasi dengan tujuan untuk meminimalisir resiko. Adagium yang terkenal terkait dengan portofolioini, yaitu “don’t put your eggs in one basket” (jangan taruh seluruh telurmu dalam satu keranjang), yang maksudnya adalah jangan menaruh seluruh uang pada satu macam investasi saja, karena kalau investasi tersebut rugi maka seluruh uang yang diinvestasikan di situ juga ikut tergerus. Oleh karena itu investasi perlu disebar kebeberapa obyek investasi. Dalam konteks investasi di pasar modal portofolio dipraktekkan dengan membeli beberapas aham daripada membeli satu saham saja.
Dengan demikian memang prinsip portofolio dalam berinvestasi ini lebih menekankan pada meminimalisasi resiko dari pada memaksimalisasi keuntungan. Namun seringkali investor/trader lupa dari tujuan dasar portofolio tersebut sehingga menerapkannya secara kaku, bahwa berinvestasi di pasar modal itu harus melakukan portofolio dan tidak boleh hanya focus pada satu saham saja.Padahal konteks investasi saham sejak Harry Markowitz memperkenalkan teori portofolio 70 tahun yang lalu sudah sangat berbeda seiring dengan kemajuan teknologi.
Sampai era awal90an transaksi di pasar modal masih menggunakan cara tradisional yang kurang lebih sama dengan era beberapa decade sebelumnya dimana investor tidak bias sepenuhnya mengeksekusi keputusannya karena harus melalui broker. Selain itu data real time harga saham juga tidak bias didapat karena teknologi waktu itu yang belum memungkinkan sehingga investor juga kesulitan dalam melakukanan analisis teknikal dengancepat. Laporan keuangan perusahaan juga masih susah diakses oleh investor sehingga analisis fundamental juga sulit dilakukan. Kondisi tersebut membuat investasi saham menjadi sangat terasa beresikonya. Bisa dibayangkan asimetri informasi yang dirasakanoleh para investor yang dengan demikian sudah tentu membuat resiko investasi saham dirasa semakin tinggi. Oleh karena itu terasa sekali relevansi dari penerapan portofolio dalam investasi saham di pasar modal pada waktu itu.
Namun kondisi berubah drastic sejak awal dekade 2000an dimana teknologi informasi dan internet telah berkembang pesat dan banyak mengubah perilaku manusia secara signifikan, termasuk dalam praktek berinvestasi di pasar modal. Investasi di pasar modal sudah mulai dilakukan secara terkomputerisasi sejak pertengahan dekade 90an. Di Indonesia sendiri system otomatisasi trading saham mulai diterapkan sejak tahun 1995 melaluiJakarta Automated Trading System (JATS) namun penggunaannya masih terbatas di kalangan pialang saham saja. Dan pada awal dekade 2000an,tepatnyatanggal 28 Maret 2002, system perdagangan jarak jauh (remote trading) mulai diterapkan oleh Bursa Efek Jakarta. Sejakitu investor bias melakukan trading sendiri melalui jaringan internet di komputer.Selain itu perusahaan emiten juga diwajibkan untuk mengunggah laporan keuangan mereka di website masing-masing perusahaan sehingga investor dengan mudah bias mengakses laporan keuangan perusahaan.Dan yang juga sangat membantu investor dengan perkembangan teknologi informasi/internet adalah makin tersedianya bahan baku analisis lainnya seperti chart harga saham berikut indikator-indikatornya sehingga memungkinkan dilakukannya analisis teknikal.Dengan demikian informasi menjadi semakin simetris atau semakin terbuka dilihat dar isisi investor.
Nah, dengan makin meleknya investor atas informasi-informasi yang diperlukan dalam berinvestasi masihkah portofolio alias diversifikasi investasi saham harus dilakukan secara ketat? Misalnya jika sebuah saham sudah diketahui batas bawah resikonya sedangkan dari berbagai analisis yang telah dilakukan potensi cuannya sudah di depan mata dant ampaknya berlipat-lipat kali dari potensi resikonya, bukankah lebih baik mencurahkan modal yang ada pada satu saham tersebut daripada menyebarnya kebeberapa saham?
Ambil contoh saham BCAP yang sekarang berada di harga 272 dan sempat menyentuh harga tertinggi 318 beberapa hari yang lalu, sebulan yang lalu harganya masih di level 50an, tepatnya 54. Di sini investor sudah pasti tahu bahwa potensi untuk turun lagi sudah sangat terbatas karena batas bawah harga saham di BEI adalahRp. 50. Nah dengan demikian tentu disayangkan kalau saham yang sudah jelas kelihatan berada di ‘dasarsumur’ ini dilewatkan begitu saja atau Cuma dikasih porsi sedikit dari modal investasi yang dimiliki. Dan masih ada beberapa saham lain yang seperti BCAP seperti IPTV yang dari harga 70 ke 180 dalam waktu dua minggu, IATA dari harga 60 ke 200 dalam waktu satu bulan, dan mungkin masih ada beberapa saham yang lain kalau lebih jeli dalam mencari dan menganalisisnya.
Selamat mencoba untuk sekali-sekali tidak menerapkan portofolio demi memaksimalkan cuan. Jangan lupa untuk selalu melakukan analisis fundamental dan teknikal serta pasangmata dan telinga untuk mencari ‘bocoran’ atau rumor yang siapa tahu relevan untuk pengambilan keputusan dalam berinvestasi saham.
Penulis adalah Kepala Laboratorium Investasi dan Pasar Modal/Galeri Investasi BEI FEB UB serta dosen pada Departemen Akuntansi FEB UB