Kanal24, Malang – Hak asasi manusia merupakan hak yang harus dihormati, dilindungi, dan dipenuhi oleh negara dan masyarakat. Namun, kenyataannya masih banyak pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang terjadi di Indonesia. Pelanggaran hak asasi manusia tidak hanya merugikan korban, tetapi juga mengancam perdamaian, keadilan, dan kemanusiaan. Oleh karena itu, Fakultas Hukum Universitas Brawijaya (FHUB) berkolaborasi dengan Imparsial dan Lembaga Bantuan Hukum POS Malang dalam rangka Diskusi Publik dan Launching Buku. Senin (05/02/2024)
Diskusi publik yang diadakan di Ballroom Munir, Gedung B Fakultas Hukum Universitas Brawijaya ini dihadiri oleh sejumlah narasumber, antara lain Suciwati, Istri Munir Said Thalib; Utomo Rahardjo, Ayah Petrus Bimo, korban penghilangan paksa; Al Araf, penulis buku Penculikan Bukan Untuk Diputihkan; Dhia Al-Uyun, Akademisi; dan Ken Swastyasty, Women March Malang.
Dekan FH UB, Dr. Aan Eko Widiarto, S.H., M.Hum. menyampaikan bahwa kolaborasi kali ini merupakan sebuah jalan agar kita terus mengingat. Dalam hal ini adalah kejahatan dan pelanggaran HAM yang telah terjadi jangan dilupakan begitu saja.
“Kita masih memiliki banyak PR terkait dengan pelanggaran HAM. khususnya yang telah ditulis oleh teman-teman dalam buku “Penculikan Bukan Untuk Diputihkan,” yang berisi tentang korban penculikan yang hingga sekarang belum mendapat keadilan. Baik dari sisi keluarga korban, maupun korban itu sendiri,” terang Aan.
Aan melanjutkan bahwa bagi dirinya dan teman-teman akademisi, adanya diskusi ini untuk memperkuat keilmuan di bidang demokrasi dan HAM. Dengan dibedahnya buku ini saya harap bisa dimanfaatkan para dosen sebagai salah satu bahan ajar untuk mahasiswa, bahwa Indonesia sudah mengalami peristiwa kelam seperti ini dan jangan sampai kita mengulangi hal yang sama di kemudian hari.
“Kami berharap masyarakat jangan sampai mengulang apa yang telah terjadi di masa lalu. Kita harus sudah beranjak ke tahap yang lebih maju. pasca demokrasi kita sudah harus pada tahapan negara hukum . negara kesejahteraan, rakyat sejahtera, bebas menyampaikan pendapat, bebas demokrasi, sehingga dengan kebebasan itulah akan muncul bangsa yang baldatun toyyibatun warabbun ghafur,” ujar Aan..
Buku Penculikan Bukan Untuk Diputihkan adalah bentuk refleksi pertama kesaksian korban penculikan dan keluarga korban yang telah memperjuangkan keadilannya dalam kasus penculikan di tahun 1998.
“Dalam buku ini saya ingin menunjukkan bahwa kasus penculikan itu bukan fiktif belaka, tetapi merupakan fakta sejarah yang benar benar terjadi, dan hingga sekarang kasusnya belum usai. Mereka yang terlibat dalam kasus penculikan tersebut sudah seharusnya dipertanggung jawabkan. Harus menghadap ke hadapan Komnas HAM,” ujar Araf.
Araf berharap agar masyarakat dan publik terus mengingat, harus melawan lupa. Karena dalam buku ini juga dijelaskan bahwa korban-korban di luar sana masih tetap berjuang untuk mendapat keadilannya yang hingga sampai saat ini belum mereka dapatkan.
“Dengan melawan lupa kita bisa mengembalikan sejarah dalam arah yang benar, dan kita tidak akan belajar agar tidak mengulangi kesalahan telah sejarah miliki di masa lalu,” harap Araf. (fan/skn)