KANAL24, Malang – Untuk menyelamatkan keuangan maskapai nasional Garuda Indonesia, Wakil Menteri II BUMN Kartika Wirjoatmodjo mengambil langkah penyelamatan restrukturisasi melalui proses legal internasional dan moratorium. Langkah ini oleh pakar manajemen Universitas Brawijaya, Ainur Rofiq, S.E., M.M.,Ph.D dinilai sudah tepat.
Kepada kanal24.co.id, Rofiq menuturkan BUMN sedang berupaya untuk menata kembali segala kewajiban-kewajiban yang harus dipenuhi oleh Garuda tersebut, agar beban yang menjadi tanggung jawab perusahaan bisa diatur kembali sesuai kondisi yang saat ini. Karena tidak ada yang tahu sampai kapan pandemi berlangsung.
Selain itu, dilakukan pula moratorium, yang artinya disini Garuda sedang mengkaji kembali aktifitas-aktifitas apa yang memang secara ekonomi merugikan, sehingga perlu dihentikan karena dirasa akan membebani jalannya perusahaan.
Rofiq menjelaskan, di suatu perusahaan ada yang namanya biaya tetap atau fix cost, artinya beroperasi atau tidak beroperasi, biaya yang dikeluarkan akan sama. Oleh karena itu, salah satu upaya agar fix cost yang dikeluarkan tidak besar, maka dipangkas aktifitas yang kurang produktif, salah satunya dengan menutup rute-rute yang jumlah penumpang yang tidak gemuk.
“Garuda mungkin bisa berkonsentrasi pada rute-rute gemuk terlebih dahulu. Kalau dulu ada istilahnya jalur perintis seperti ke Banyuwangi, ke Jember atau ke kota-kota kecil lainnya yang biasanya tingkat okupansinya rendah, kalau ini masih dipertahankan, maka akan menimbulkan cost yang lebih besar,” paparnya, jumat (4/6/2021).
Wakil dekan bidang umum dan keuangan Fakultas Ekonomi dan Bisnis UB (FEB UB) itu juga memberikan langkah lain yang bisa diambil maskapai berpelat merah tersebut, yakni dengan melakukan aliansi bersama maskapai lain. Menurutnya, salah satu yang menyebabkan kerugian besar adalah rute internasional, namun di sisi lain Garuda Indonesia sudah memiliki “nama” besar, sehingga apabila tidak bisa melayani penerbangan internasional dapat menurunkan reputasinya.
“Yang bisa ditempuh oleh Garuda adalah dengan melakukan aliansi dengan maskapai yang lain. Misalkan rute Jakarta-London dengan transit di Dubai. Misalkan rute Dubai ke London kecil pasarnya, maka Garuda hanya melayani rute Jakarta-Dubai, sedangkan untuk Dubai-London penumpang ditransfer ke maskapai lain dan ini hal yang lumrah,” jelas Rofiq.
Lanjutnya, hal tersebut juga menguntungkan bagi Garuda karena penumpang membeli tiket di Garuda namun hanya dilayani sampai di Dubai, lalu ketika rute Dubai-London, penumpang bisa pindah pesawat tanpa harus membawa bagasi karena sudah otomatis tersistem. Artinya Garuda masih ada keuntungan, karena apabila Garuda menutup rute London, terlihat kurang elok yang kemungkinan dapat menyebabkan reputasinya turun. Namun, apabila dipaksakan melayani rute ke London, padahal penumpang banyak yang turun di Dubai, maka Garuda akan mengalami kerugian.
“Kalau dengan aliansi, ada resource sharing, cost sharing dan profit sharing dengan maskapai yang lain dan ini lebih menguntungkan. Ini berlaku tidak hanya di rute internasional saja namun di rute-rute domestik dan ini lebih efisien serta bisa memangkas fix cost,” tandasnya. (Meg)