Kanal24, Malang – Wacana relokasi dua juta warga Gaza ke Indonesia sebagai bagian dari rekonstruksi pascakonflik Palestina-Israel menjadi perbincangan hangat. Wacana ini pertama kali dilaporkan oleh NBC News pada Minggu (19/1/2025), hanya dua hari sebelum pelantikan Presiden AS Donald Trump. Dalam laporan tersebut, Steve Witkoff, utusan Timur Tengah Trump, menyebut relokasi ke Indonesia sebagai solusi sementara selama masa gencatan senjata.
Menanggapi hal ini, Yusli Effendi, S.IP., M.A., dosen Hubungan Internasional Universitas Brawijaya sekaligus pakar kajian Timur Tengah, memberikan pandangan kritis. Ia mengingatkan agar isu ini tidak ditanggapi secara gegabah mengingat dampak politik, sosial, dan ekonomi yang bisa ditimbulkan.
Strategi “Testing the Water” oleh AS
Menurut Yusli, wacana ini lebih sebagai langkah “testing the water” oleh Amerika Serikat untuk mengukur respons internasional, bukan pernyataan resmi yang dikeluarkan melalui jalur diplomatik.
“Perlu dipahami bahwa ini bukan berasal dari saluran diplomatik resmi, meskipun dilontarkan oleh utusan Timur Tengah Trump. Dengan demikian, wajar jika Kementerian Luar Negeri Indonesia menyatakan tidak menerima informasi resmi dari pemerintah AS terkait hal ini,” ujarnya dalam keterangan (30/1/2025).
Yusli menilai gagasan ini tidak realistis dan lebih merupakan uji coba reaksi publik internasional. “Menurut saya, ini tidak lebih dari sekadar upaya untuk melihat reaksi publik internasional. Dalam istilah diplomasi, ini yang disebut ‘testing the water’. Amerika Serikat ingin melihat respons Indonesia dan negara-negara lain terhadap wacana ini,” jelasnya.
Ancaman Terhadap Memori Sejarah Palestina
Relokasi besar-besaran warga Gaza, menurut Yusli, dapat menghapus jejak sejarah Palestina dan menjadi perangkap politik berbahaya. Ia menyebut langkah ini berpotensi mengulang tragedi Nakbah 1948, di mana ratusan ribu warga Palestina diusir dari tanah air mereka.
“Palestina memang membutuhkan bantuan, tetapi gagasan meninggalkan tanah air mereka sama saja dengan pengusiran terselubung. Jika relokasi terjadi, artefak sejarah mereka bisa hilang, dan generasi mendatang tidak lagi memiliki memori kolektif tentang perjuangan mereka,” ungkap Yusli.
Selain itu, ia menyoroti jarak geografis dan tantangan logistik dalam memindahkan dua juta orang. “Memindahkan komunitas besar dengan akar budaya dan sejarah yang kuat bukanlah hal mudah. Relokasi ini tidak realistis,” tambahnya.
Dampak Sosial dan Ekonomi bagi Indonesia
Yusli menilai dampak relokasi ini bagi Indonesia akan sangat besar. Sebagai negara yang bukan penandatangan Konvensi Pengungsi 1951, Indonesia hanya bisa memberikan status pencari suaka bagi warga Gaza. Pemenuhan kebutuhan dasar mereka akan sangat bergantung pada lembaga internasional seperti UNHCR dan IOM.
“Jika rencana ini benar-benar terjadi, status mereka hanya sebatas asylum seeker. Indonesia sendiri menghadapi banyak tantangan domestik, dan tambahan dua juta orang akan menjadi beban berat,” ujar Yusli.
Ia juga mengingatkan potensi konflik sosial seperti yang pernah terjadi pada kasus pengungsi Rohingya. “Pengungsi membutuhkan tempat tinggal, pendidikan, pekerjaan, bahkan kebutuhan biologis seperti pernikahan, yang seringkali menjadi masalah baru,” jelasnya.
Kritik terhadap Kepentingan AS
Yusli juga menyoroti motif di balik wacana ini. Ia menyebut NBC News, media yang pertama kali melaporkan isu ini, sebagai perpanjangan kepentingan politik AS. “NBC News mungkin mengklaim dirinya sebagai media independen, tetapi mereka punya kepentingan tertentu. Penyebutan Indonesia sebagai tujuan relokasi adalah jebakan politik yang harus kita waspadai,” ungkapnya.
Menurut Yusli, penyebutan Indonesia tidak terlepas dari citra negara ini yang vokal mendukung Palestina. “Jika menerima, kita akan kewalahan. Jika menolak, kita bisa dicap tidak peduli,” ujarnya.
Solusi Diplomasi Multilateral
Sebagai solusi, Yusli menekankan pentingnya diplomasi melalui forum multilateral seperti PBB dan OKI. Ia juga menyerukan negara-negara Arab, yang secara geografis lebih dekat, untuk lebih proaktif dalam membantu Palestina.
“Masalah ini tidak bisa diselesaikan oleh satu negara saja. Negara-negara Arab seharusnya menjadi pihak utama yang bertanggung jawab. Indonesia dapat mendorong mereka untuk lebih konkret dalam tindakan, bukan hanya retorika,” katanya.
Yusli menegaskan bahwa mendukung Palestina adalah bagian dari amanat konstitusi Indonesia. Namun, ia mengingatkan agar solusi yang diambil tetap rasional dan tidak mengorbankan pihak lain.
“Kita harus mendukung Palestina, tetapi solusi yang ditawarkan harus tetap realistis dan berkelanjutan,” pungkasnya. (din)