Oleh: Hendra Sunandar_
(ASN Setjen DPR RI & Mahasiswa Pascasarjana Komunikasi Politik, Universitas Paramadina)
Dalam era digital yang terus berkembang, konsep parlemen modern tidak hanya berbicara mengenai reformasi institusi, tetapi juga tentang bagaimana parlemen beradaptasi dengan teknologi untuk menjangkau masyarakat secara lebih luas. Salah satu dimensi penting dalam transformasi ini adalah keterhubungan antara parlemen dan masyarakat melalui konsep kewarganegaraan digital (digital citizenship).
Dalam konteks DPR RI, membangun parlemen modern menjadi urgensi yang tidak terelakkan untuk menjawab tantangan zaman. Sebagai lembaga legislatif yang mewakili suara rakyat, DPR RI terus menerus beradaptasi dengan perkembangan teknologi. Karena tuntutan keterbukaan, dan kebutuhan masyarakat akan partisipasi aktif sangatlah penting dalam proses legislasi.
Untuk itu, DPR RI telah mengambil berbagai langkah strategis untuk mewujudkan open parliament sebagai bagian dari modernisasi tata kelola parlemen. Konsep open parliament menekankan pada transparansi, partisipasi publik, dan akuntabilitas dalam pelaksanaan fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasan. Melalui berbagai inisiatif berbasis teknologi dan keterbukaan informasi, DPR RI berupaya memperkuat kepercayaan publik serta meningkatkan partisipasi masyarakat dalam proses demokrasi seperti penguatan transparansi teknologi digital untuk meningkatkan transparansi dan mempermudah akses masyarakat terhadap informasi legislatif.
Inisiatif ini mencakup diantaranya situs resmi DPR (www.dpr.go.id) yang menjadi pusat informasi yang menyediakan data terbuka tentang agenda sidang, rancangan undang-undang, laporan kinerja, dan informasi anggota dewan. Portal ini memungkinkan masyarakat memantau langsung aktivitas parlemen, Bahkan juga ada kanal TVR Parlemen sebagai platform yang menyiarkan seluruh kegiatan DPR RI secara real time!
Kanal itu tersedia melalui berbagai platform website tvrparlemen.dpr.go.id hingga berbagai kanal media sosial seperti YouTube, Instagram dan Facebook TVR Parlemen.
Sebagai bagian dari upaya open parliament, DPR RI terus mendorong keterlibatan masyarakat dalam proses pengambilan keputusan melalui konsultasi publik untuk menyerap aspirasi masyarakat terkait rancangan undang-undang (RUU). Misalnya, pembahasan RUU yang kontroversial sering kali melibatkan masukan dari berbagai kelompok masyarakat melalui forum digital. Juga terdapat akun media sosial DPR RI, seperti Instagram (@dpr_ri), Twitter (@DPR_RI), dan YouTube (TVR Parlemen), digunakan untuk menyebarkan informasi, menjawab pertanyaan publik, dan memfasilitasi diskusi tentang isu-isu legislatif.
Salah satu langkah konkret DPR RI dalam menciptakan keterbukaan adalah menyiarkan secara langsung sidang-sidang parlemen melalui platform digital. Live streaming sidang DPR diakses melalui YouTube TVR Parlemen, Youtube DPR RI , dan situs resmi, memungkinkan masyarakat untuk memantau proses legislasi secara langsung tanpa hambatan geografis.
Tak hanya itu, DPR RI juga aktif berpartisipasi dalam jaringan global seperti Open Government Partnership (OGP) dan Open Parliament Indonesia (OPI). Kolaborasi ini bertujuan untuk berbagi pengalaman dan menerapkan praktik terbaik dari parlemen lain di dunia dalam menciptakan keterbukaan.
Kiprah DPR RI dalam menciptakan open parliament menunjukkan komitmen lembaga ini untuk memperkuat demokrasi dan mendorong partisipasi masyarakat secara aktif. Melalui pemanfaatan teknologi digital, transparansi, dan kolaborasi dengan berbagai pihak, DPR RI berupaya menjawab tantangan zaman sekaligus memperkuat posisi Indonesia sebagai negara demokrasi yang inklusif. Langkah ini harus terus ditingkatkan agar open parliament tidak hanya menjadi wacana, tetapi menjadi praktik nyata yang dirasakan manfaatnya oleh seluruh lapisan masyarakat.
Namun demikan, Menurut Norris dan Lovenduski (2004), modernisasi parlemen tidak hanya mencakup pengintegrasian teknologi informasi dan komunikasi, tetapi juga transformasi budaya kerja untuk lebih transparan dan responsif. Langkah ini dapat diwujudkan melalui implementasi konsep open parliament, yang mengedepankan keterbukaan informasi, partisipasi publik, dan akuntabilitas (WDR, 2017). Inisiatif seperti pengembangan platform digital untuk konsultasi publik dan penyediaan data legislasi secara daring adalah contoh konkret yang dapat memperkuat kepercayaan masyarakat.
Parlemen modern adalah sebuah paradigma yang menekankan peran legislatif sebagai institusi yang transparan, inklusif, dan responsif terhadap perubahan zaman. Konsep ini bertujuan untuk meningkatkan efektivitas fungsi parlemen, baik dalam hal legislasi, pengawasan, maupun representasi, dengan memanfaatkan teknologi informasi, meningkatkan partisipasi publik, dan menjunjung prinsip-prinsip akuntabilitas.
Menurut Inter-Parliamentary Union (IPU) dalam laporan “Parliaments in the Digital Era” (2018), parlemen modern harus memenuhi empat pilar utama yakni keterbukaan, partisipasi publik, inklusivitas dan inovasi teknologi. Di samping itu, laporan World Bank “World Development Report 2017: Governance and the Law” menyebutkan bahwa prinsip transparansi dan partisipasi publik dalam institusi politik, termasuk parlemen, mampu memperkuat kepercayaan publik dan memperbaiki akuntabilitas kebijakan.
Dengan mengadopsi konsep ini, parlemen tidak hanya berfungsi sebagai pembuat undang-undang tetapi juga sebagai institusi yang adaptif terhadap perubahan sosial, ekonomi, dan politik, sehingga relevan dengan kebutuhan masyarakat di era digital dan globalisasi. Sehingga relasivitas dengan digital citizenship penting untuk dibangun.
Masyarakat Digital dalam Demokrasi
Digital citizenship atau kewarganegaraan digital adalah konsep yang mengacu pada kemampuan individu untuk berpartisipasi secara aktif, etis, dan bertanggung jawab di dunia digital. Ini melibatkan pemahaman mendalam tentang hak, kewajiban, dan norma perilaku yang berlaku dalam ruang digital, yang kini telah menjadi bagian integral dari kehidupan sehari-hari. Di era di mana teknologi mendominasi interaksi sosial, ekonomi, dan politik, digital citizenship berfungsi sebagai pilar yang mengatur kehidupan digital secara lebih baik.
Konsep digital citizenship pertama kali diusulkan oleh Ribble, Bailey, dan Ross (2011) dalam karya mereka “Digital Citizenship in Schools: Nine Elements All Students Should Know”, yang menekankan sembilan elemen utama dalam berperan sebagai warga digital yang baik, termasuk literasi digital, hak dan tanggung jawab digital, serta etika digital. Elemen-elemen ini tidak hanya relevan untuk pendidikan formal, tetapi juga untuk pengembangan masyarakat dalam konteks demokrasi digital. Digital citizenship mempersiapkan masyarakat untuk berpartisipasi dalam ruang publik yang semakin terdigitalisasi, termasuk dalam partisipasi politik.
Digital citizenship dan konsep parlemen modern memiliki keterkaitan yang erat, khususnya melalui implementasi open parliament. Digital citizenship, yang mencakup hak, kewajiban, dan perilaku warga dalam ruang digital, menjadi dasar penting bagi masyarakat untuk berpartisipasi aktif dalam sistem demokrasi yang lebih terbuka, inklusif, dan adaptif terhadap perkembangan teknologi. Dalam konteks parlemen modern, open parliament menjadi manifestasi nyata dari penerapan digital citizenship dalam tata kelola pemerintahan.
Penelitian yang dilakukan oleh Choi (2016) dalam artikelnya “A Concept Analysis of Digital Citizenship for Democratic Citizenship Education in the Internet Age” menegaskan bahwa kemampuan literasi digital warga negara sangat penting untuk mendukung keberhasilan proses demokrasi dalam dunia digital. Penelitian ini menunjukkan bahwa digital citizenship memfasilitasi pemahaman yang lebih baik tentang penggunaan teknologi untuk partisipasi politik yang efektif, yang sejalan dengan tujuan utama dari open parliament.
Teori digital citizenship, sebagaimana dijelaskan oleh Ribble et al. (2011), menekankan pada kemampuan warga untuk menggunakan teknologi secara bertanggung jawab, kritis, dan produktif. Prinsip-prinsip ini relevan untuk mendukung keberhasilan open parliament, terutama dalam tiga aspek utama:
1. Transparansi Digital
Warga digital yang memiliki literasi digital yang baik mampu memanfaatkan data dan informasi yang disediakan oleh parlemen terbuka untuk memantau kinerja legislasi, sidang, dan pengambilan keputusan secara kritis.
2. Partisipasi Digital
Digital citizenship mendorong masyarakat untuk aktif terlibat dalam proses legislasi melalui konsultasi publik daring, survei kebijakan, atau forum diskusi digital yang difasilitasi oleh parlemen.
3. Keamanan dan Etika Digital
Warga yang memahami etika dan keamanan digital dapat menjaga kualitas interaksi mereka di ruang digital, menghindari penyebaran hoaks, dan mendukung diskusi konstruktif terkait isu-isu legislatif.
Konsep open parliament adalah inisiatif global yang bertujuan untuk membuka akses parlemen kepada masyarakat melalui teknologi digital, sejalan dengan semangat good governance. Parlemen modern yang menerapkan prinsip ini tidak hanya menjadi lembaga legislatif, tetapi juga berperan sebagai fasilitator partisipasi digital masyarakat.
Konsep open parliament sendiri mencakup upaya untuk membuat proses legislatif lebih terbuka, transparan, dan dapat diakses oleh publik melalui penggunaan teknologi. Sebagai contoh, salah satu langkah penting yang diambil oleh DPR RI adalah penyediaan akses terhadap informasi sidang dan dokumen legislatif melalui portal digital dan penggunaan media sosial yang masif!. Dengan cara ini, masyarakat bisa mengetahui lebih banyak mengenai kebijakan yang sedang dibahas, memberikan umpan balik, selain itu juga terdapat ruang konsultasi daring di mana masyarakat dapat memberikan masukan terhadap rancangan undang-undang seperti portal simaspuu.dpr.go.id hingga media sosial interaktif yakni Platform untuk berinteraksi langsung dengan publik, menjawab pertanyaan, dan menyosialisasikan kebijakan legislatif.
Zhang dan Lin (2018), dalam artikel “Parliamentary Openness: A Framework for Analysis”, memberikan kerangka kerja yang menunjukkan bahwa open parliament tidak hanya mencakup transparansi dalam penyediaan informasi, tetapi juga partisipasi publik yang lebih aktif. Mereka menekankan pentingnya keterbukaan data legislasi dan interaksi dua arah antara parlemen dan warga negara, yang memungkinkan masyarakat untuk lebih terlibat dalam proses legislasi. Dengan demikian, digital citizenship yang menekankan hak untuk mengakses informasi dan berpartisipasi dalam diskusi publik sangat relevan dengan konsep ini.
Dengan memanfaatkan teknologi digital, parlemen modern menciptakan ruang bagi warga digital untuk menjalankan hak dan tanggung jawabnya sebagai bagian dari sistem demokrasi. Di sinilah digital citizenship menjadi relevan, karena hanya dengan literasi digital yang memadai masyarakat dapat memanfaatkan peluang ini secara maksimal.
Digital citizenship dan open parliament saling melengkapi dalam mewujudkan parlemen modern yang inklusif dan responsif. Dengan meningkatkan literasi digital dan memanfaatkan teknologi, masyarakat dapat berperan aktif dalam pengambilan keputusan legislatif, sementara parlemen dapat meningkatkan transparansi, akuntabilitas, dan kepercayaan publik. Dalam era digital ini, integrasi kedua konsep tersebut adalah langkah strategis untuk memperkuat demokrasi dan menjawab tantangan zaman.
Meskipun berbagai inisiatif open parliament telah diterapkan, tantangan tetap ada, terutama terkait dengan kesenjangan digital. Norris (2001) dalam “Digital Divide: Civic Engagement, Information Poverty, and the Internet Worldwide” menyebutkan bahwa meskipun teknologi menyediakan banyak peluang untuk partisipasi politik, masih terdapat kelompok-kelompok yang kesulitan mengakses informasi karena faktor sosial-ekonomi dan kesenjangan teknologi.
Oleh karena itu, menurut saya untuk memastikan bahwa open parliament benar-benar inklusif, penting bagi pemerintah dan parlemen untuk memprioritaskan peningkatan literasi digital di kalangan seluruh masyarakat, terutama di daerah-daerah dengan akses teknologi yang terbatas.
Integrasi antara digital citizenship dan konsep open parliament sangat penting untuk mewujudkan parlemen modern yang lebih terbuka, inklusif, dan responsif terhadap kebutuhan masyarakat. Penelitian dalam berbagai jurnal menunjukkan bahwa penerapan digital citizenship memfasilitasi partisipasi aktif masyarakat dalam proses legislasi, sementara open parliament memberikan platform bagi masyarakat untuk terlibat secara langsung. Oleh karena itu, keduanya saling melengkapi dalam memperkuat demokrasi digital dan memastikan bahwa proses legislatif lebih transparan dan akuntabel. Ke depannya, penting bagi parlemen untuk terus mengembangkan inovasi dalam teknologi dan edukasi digital agar masyarakat dapat memanfaatkan hak mereka dalam sistem demokrasi secara maksimal.
Terakhir, Parlemen modern bukan hanya sebuah konsep, melainkan sebuah keharusan di era digital. Dengan mendukung digital citizenship, parlemen dapat menjadi institusi yang lebih inklusif, transparan, dan responsif terhadap kebutuhan masyarakat. Di sisi lain, masyarakat sebagai warga digital harus memanfaatkan ruang digital untuk berpartisipasi aktif dan membangun demokrasi yang sehat. Melalui sinergi antara parlemen modern dan digital citizenship, demokrasi di Indonesia dapat berkembang menjadi lebih kuat dan relevan dengan kebutuhan zaman serta DPR RI yang semakin dicintai oleh masyarakat. (*)