KANAL24, Jakarta- Pemerintah sedang menyusun aturan baru untuk mengenakan pajak pertambahan nilai (PPN) pada produk dan layanan online yang disediakan oleh perusahaan di luar negeri. Pemerintah menargetkan pendapatan yang lebih besar dari pasar digital.
Studi bersama oleh Google dan Temasek Holdings mengungkapkan, Indonesia adalah negara terpadat keempat di dunia dengan 260 juta orang dengan nilai ekonomi internet mencapai USD27 miliar tahun lalu, dan diperkirakan akan tumbuh menjadi USD100 miliar pada tahun 2025.
Menurut John Hutagaol, Direktur Perpajakan Internasional, Direktorat Jenderal Pajak, Kementerian Keuangan, meskipun perdebatan global masih berlanjut tentang cara terbaik untuk memajaki pendapatan perusahaan di bidang ini, namun secara umum menerima bahwa PPN, atau dalam beberapa kasus pajak penjualan, dapat dikenakan pada barang dan layanan digital.
“Ini seperti buah yang menggantung rendah dan dapat diterapkan sesuai aturan setiap negara,” kata Hutagaol, seperti dikutip Reuters, Selasa (16/7). Orang Indonesia gemar menggunakan media sosial seperti Facebook, Instagram dan Twitter, sementara popularitas layanan streaming seperti Spotify dan Netflix terus meningkat.
Namun ia menambahkan, untuk membebankan PPN produk dan layanan online , Indonesia membutuhkan, “Aturan implementasi baru untuk memutuskan mekanismenya, karena aturan saat ini hanya berlaku untuk transaksi konvensional, sedangkan transaksi digital tidak dibatasi oleh ruang dan waktu,” katanya.
Saat ini, Indonesia memungut PPN 10% untuk semua barang dan jasa, dengan mengecualikan bisnis yang omsetnya di bawah ambang batas Rp4,8 miliar rupiah atau sekitar USD345.000.
Hutagaol mengatakan, penarikan PPN baru akan diterapakan pada e-commerce , penyedia konten, startup dan kegiatan ekonomi berbasis internet lainnya. Saat ini pemerintah masih mempelajari pengalaman Jepang dan Australia dalam menerapkan pajak digital tersebut.(sdk)