Kanal24, Jakarta – Pemerintah melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 6 Tahun 2025 memberikan jaminan uang tunai kepada pekerja yang terkena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Manfaat tersebut dijanjikan sebesar 60 persen dari upah untuk paling lama enam bulan, sebagaimana tertuang dalam Pasal 21 PP tersebut.
Namun, meski memberikan manfaat bagi pekerja terdampak PHK, kebijakan ini turut memangkas iuran Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP). Dari semula 0,46 persen upah per bulan, iuran kini diturunkan menjadi 0,36 persen. Hal ini memunculkan pertanyaan apakah perlindungan yang diberikan akan tetap optimal di tengah penurunan iuran.
Dalam kebijakan yang diteken Presiden Prabowo Subianto pada 7 Februari 2025, manfaat uang tunai JKP didasarkan pada upah terakhir yang dilaporkan pengusaha kepada BPJS Ketenagakerjaan. Namun, terdapat batas maksimal Rp5 juta untuk penghitungan manfaat tersebut. Jika upah pekerja melebihi angka tersebut, manfaat uang tunai tetap dihitung berdasarkan batas atas upah Rp5 juta.
Di satu sisi, kebijakan ini memberikan kepastian perlindungan bagi pekerja yang kehilangan pekerjaan. Namun, di sisi lain, keterbatasan nilai manfaat dinilai tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup pekerja, terutama di kota-kota besar dengan biaya hidup yang tinggi.
Selain pembatasan manfaat, perubahan signifikan lainnya terlihat pada penurunan iuran JKP. Pemerintah pusat kini menyumbang 0,22 persen dari upah sebulan, sementara rekomposisi iuran dari Program Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) sebesar 0,14 persen turut menopang pendanaan.
Kebijakan ini dinilai sebagai upaya pemerintah untuk menekan beban anggaran di tengah situasi ekonomi yang penuh tantangan. Namun, beberapa pihak mempertanyakan apakah penurunan iuran tersebut dapat berdampak pada keberlanjutan program JKP dalam jangka panjang.
PP ini juga menambahkan Pasal 39A, yang mengatur bahwa BPJS Ketenagakerjaan tetap wajib membayarkan manfaat JKP bagi pekerja di perusahaan yang dinyatakan pailit atau tutup usaha, meskipun perusahaan menunggak iuran hingga enam bulan.
Kendati demikian, kebijakan ini tidak menghapus kewajiban pengusaha untuk melunasi tunggakan iuran dan denda. Langkah ini diharapkan dapat memastikan pekerja tetap menerima manfaat meskipun perusahaan tempat mereka bekerja mengalami masalah keuangan.
Meski tampak memberikan perlindungan, kebijakan ini tidak lepas dari kritik. Penurunan iuran dinilai berpotensi melemahkan daya dukung finansial program JKP, sementara batas manfaat maksimal Rp5 juta dianggap tidak mencerminkan kebutuhan riil pekerja, terutama di wilayah dengan biaya hidup tinggi.
Pemerintah perlu memastikan bahwa kebijakan efisiensi tidak mengorbankan perlindungan pekerja yang menjadi tulang punggung perekonomian. Sebab, meskipun langkah efisiensi penting, pekerja yang kehilangan pekerjaan membutuhkan jaminan nyata untuk bertahan hidup dan mencari peluang baru.
Ke depan, kebijakan ini harus dievaluasi secara berkala untuk memastikan bahwa perlindungan yang diberikan benar-benar sesuai dengan kebutuhan pekerja. Transparansi dalam pengelolaan iuran dan manfaat, serta keterlibatan aktif pemangku kepentingan, menjadi kunci untuk menjaga keberlanjutan program JKP.
Pekerja yang kehilangan pekerjaan layak mendapatkan jaminan yang memadai, bukan sekadar janji. Kini, tantangan pemerintah adalah menjawab kritik dengan bukti nyata bahwa kebijakan ini bukan hanya soal efisiensi, tetapi juga keberpihakan pada pekerja.