Oleh : Setyo Widagdo*
Sinyal bahwa Megawati akan bertemu dengan Prabowo memperkuat spekulasi bahwa PDIP akan bergabung dengan KIM plus. Jika spekulasi ini benar, maka tidak ada satupun Partai Politik peserta Pemilu yang berada di luar Pemerintah alias tidak akan ada oposisi di Pemerintahan Prabowo.
Situasi tersebut sangat tidak menguntungkan bagi kehidupan demokrasi, sebab check balances tidak akan berjalan secara wajar dan bermutu. Fungsi Pengawasan oleh lembaga legislatif pasti tidak optimal. Dalih demi persatuan dan kesatuan, tidak berarti semua Parpol dan komponen bangsa berkumpul, seperti kumpulan arisan.
Presiden terpilih Prabowo seharusnya tidak perlu merangkul semua, agar terjadi keseimbangan kekuatan politik dan meningkatkan kewibawaan Parlemen.
Apabila benar-benar terjadi bahwa PDIP larut dalam rangkulan KIM plus, maka masyarakat sipil dan Perguruan Tinggi harus merapatkan barisan dan mengkonsolidasi diri sebagai kekuatan penyeimbang Pemerintah. Hal ini adalah sebuah keciscayaan. Jika tidak, negara Indonesia akan set back, dan terjebak menjadi negara otoriter, bahkan bisa jadi lebih buruk.
Namun jika melihat sosok Prabowo yang patriotis, terbuka dan gentleman sebagai pensiunan Jendral TNI, mestinya kemungkinan demokrasi akan macet dan mundur tidak akan terjadi. Ini harapan kebanyakan masyarakat sipil. Memang masih perlu dibuktikan setelah 20 Oktober nanti.
Pekerjaan Rumah (PR) yang ditinggalkan Pemerintah Jokowi sangat banyak, baik di bidang ekonomi, sosial politik maupun di bidang hukum. Karenanya Prabowo harus bekerja ekstra keras untuk memperbaiki kerusakan-kerusakan yang telah ditinggalkan oleh rezim Jokowi.
Dalam bidang hukum, masyarakat telah merasakan betapa amburadulnya hukum dan penegakannya di Indonesia saat ini akibat keterlibatan kekuasaan yang begitu nyata. Hukum di uthak athik seenak jidatnya sendiri oleh penguasa demi kepentingan pribadi, keluarga dan kelompoknya sendiri sehingga merusak tatanan. Omnibus Law, pengerdilan UU KPK dan putusan MK No 90 adalah beberapa contoh diantaranya.
Hukum juga digunakan instrumen untuk menyandera orang-orang, sehingga menurut kepada kehendak penguasa atau mengikuti skenario penguasa.
Dibidang ekonomi, lilitan utang yang terus menggunung, situasi ekonomi global yang tidak membaik dan mandeknya pertumbuhan ekonomi menjadi PR yang berat bagi Pemerintahan Prabowo. Belum lagi APBN yang cekak semakin mempersempit ruang untuk mengelola keuangan.
Oleh karena itu Prabowo harus berani meninjau ulang proyek-proyek mercusuar yang digagas Jokowi yang menyedot keuangan negara, apalagi jauh dari manfaat bagi rakyat.
Kemudian yang tidak kalah beratnya adalah PR tentang merajut kembali persatuan yang terkoyak, akibat dari runtuhnya demokrasi. Keterbelahan masyarakat antara yang pro demokrasi dengan masyarakat yang membela penguasa sampai saat ini masih terasa.
Melihat PR yang begitu banyak dan berat tersebut, tidak seharusnya Prabowo menutup rapat-rapat adanya oposisi. Oposisi sangat diperlukan dalam negara demokrasi. Pemerintahan yang efektif dan ideal justru memerlukan oposisi, sebagai partner berpikir sekaligus sebagai penyeimbang dalam melaksanakan Pemerintahan.
Tanpa oposisi, suatu Pemerintahan akan hambar, seperti masakan tanpa garam. Yang akan terjadi di parlemen adalah rutinitas memberikan stempel kepada eksekutif. Padahal seharusnya Parlemen harus bertindak sebagai watch dog yang terus menggonggong mengawasi, mengingatkan dan menegur eksekutif, jika eksekutif bertindak melenceng.
Oposisi disini harus dimaknai sebagai teman berpikir, pengkritik yang konstruktif dan pemandu arah, bukan musuh yang harus ditakuti dan bukan asal beda.
Jika Prabowo membuka diri untuk bersama-sama membangun negeri, justru harus menghalalkan oposisi, bukan membungkam dengan cara bagi-bagi kue, semua dapat jatah Menteri.
Sekarang pilihan tergantung Prabowo, apakah akan memperbaiki demokrasi, ataukah justru memperburuk demokrasi. Semoga pasca tgl 20 Oktober 2024 benar-benar ada perubahan yang signifikan untuk kepentingan nasional.(*)
*) Penulis merupakan Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Brawijaya