KANAL24, Malang – Di tahun 2021, beberapa daerah di Jawa Timur masih berada dalam status daerah dengan penduduk miskin yang ekstrim. Pernyataan ini disampaikan oleh tim peneliti dari Universitas Brawijaya, pada pemaparan hasil survey Konsolidasi Data Penanganan Kemiskinan Ekstrim Desa, kamis (10/12). Tim peneliti ini terdiri dari Dr Muhammad Lukman Hakim, HB Habibi Subandi dan Abdul Wahid yang bekerja sama dengan Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Kemendes PDTT).
Penelitian ini dilakukan dengan konsolidasi data di 4 Kabupaten di Jatim yaitu Bojonegoro, Probolinggo, Bangkalan dan Lamongan dari tanggal 1-10 desember 2021. Adapun data yang diambil, adalah data kemiskinan yang ada menurut SK Bupati dan data lapangan yang disetujui oleh kepala desa.
“Survey dilakukan dengan menurunkan tim di masing-masing 5 desa di 5 kecamatan. Tim ini melakukan konsolidasi data yang disetujui oleh kepala desa,”terang Dr. Muhammad Lukman Hakim, Senin (3/1/2022)
Dari data yang didapatkan, terdapat banyak perbedaan, diantaranya di Kabupaten Probolinggo, data menurut SK Bupati jumlah kemiskinan ekstrem ada 3672 warga dan berdasarkan hasil konsolidasi data tim peneliti berkurang menjadi 2884 warga. Sebaliknya, di tiga kabupaten yang lain ada penambahan jumlah warga dengan kategori kemiskinan ekstrem. Di Kabupaten Bangkalan berdasarkan SK Bupati jumlah warga dengan kategori kemiskinan ekstrem mencapai 10.617 sementara dari hasil konsolidasi ada penambahan 10.990 warga. Kabupaten Lamongan berdasar SK Bupati sebanyak 1191 warga dengan kategori kemiskinan ekstrem, sementara dari hasil survey ada 1392 warga. Kemudian, di Kabupaten Bojonegoro berdasarkan SK Bupati ada 7162 warga dengan kategori kemiskinan ekstrem, dan setelah hasil survey ada penambahan 7280 warga.
“Untuk data yang di Probolinggo, ada 931 data dihapus setelah dilakukan verifikasi oleh kepala desa sebab ada warga yang meninggal dan faktor yang lain,” jelas Ketua Program Studi S3 Sosiologi UB itu.
Dari hasil survey tersebut, tim peneliti mendorong Kemendes PDTT melakukan sensus penduduk miskin secara per orang untuk mengetahui data kemiskinan yang valid.
Peneliti lain, Habibi Subandi mengatakan, penetapan angka penerima manfaat kemiskinan ekstrem terlihat timpang jika dilihat dari persebaran penduduk di masing-masing wilayah. Dosen Politik UB tersebut menyebutkan, ketimpangan ini dari kebijakan penentuan kemiskinan ekstrem yang hanya diambil dari 5 kecamatan dan masing-masing 5 desa per kecamatan. Total keseluruhan jumlah desa yang ditetapkan adalah 25 desa per Kabupaten. Dengan jumlah tersebut, jumlah penduduk miskin ekstrem di tiap kabupaten bisa lebih banyak dari data yang tertera pada surat keputusan Bupati. Selain itu, perbedaan rujukan batas kemiskinan antara Pemerintah Daerah dan Pusat juga berpengaruh.
Sementara itu, Abdul Wahid, peneliti senior Centre for Policy Studies and Data Analysis (CYDA) menjelaskan, usaha keras pemerintah mengentaskan kemiskinan ektrim dihadapkan beberapa masalah seperti data overlap dari pusat, daerah, dan desa sendiri. Data ini menjadi penting sebagai acuan dasar bantuan, program pemberdayaan, dan sekaligus evaluasi keberhasilannya.
“Bantuan langsung pada masyarakat miskin ekstrim harus diimbangi dengan program pemberdayaan secara jangka panjang. Program pengentasan kemiskinan yang semata menempatkan masyarakat miskin sebagai penerima bantuan tidak cukup, tapi harus mulai digeser pada perspektif pemberdayaan sehingga progress pengentasan kemiskinan dapat lebih cepat,” tandasnya. (Meg)