Pada hari-hari setelah wuquf di Arafah para jamaah haji bergerak menuju muzdalifah dan mina untuk melaksanakan mabit dan kemudian dilanjutkan dengan aktifitas melempar Jumrah di Mina, yaitu di salah satu bukit yang sekarang menjadi tempat pelemparan jumrah (jamarat). Para jamaah haji melempar jumrah sebanyak 3 kali, yaitu jumrat al ula, wustha dan ‘aqabah.
Aktifitas melempar jumrah ini merujuk pada kisah Nabiyallah Ibrahim saat bermimpi mendapat perintah “aneh” dari Tuhannya untuk menyembelih anak semata wayang yang sangat dicintainya. Hal ini sangat terkait dengan amal ibadah yang luar biasa dari Nabiyallah Ibrahim a.s. yaitu melaksanakan perintah qurban dalam rangka taqarrub kepada Allah swt dengan jumlah yang sangat banyak hingga pernah terungkap sebuah pernyataan bahwa sekiranya Allah swt memerintahkan untuk menyembelih anaknya guna taqarrub pun, maka pasti dipenuhinya karena ketaatannya kepada Allah swt. Hal ini diungkapkannya jauh sebelum beliaunya memiliki anak.
Hingga pada suatu waktu, Allah swt benar-benar menguji Nabiyallah Ibrahim dengan ucapannya sendiri. Namun Nabi Ibrahim sangatlah sadar bahwa mencintai Tuhan haruslah melebihi segalanya. Ada pelajaran berharga disini bahwa berhati-hatilah dengan ucapan, sebab suatu ucapan maka seseorang akan diuji denganya. Dalam sebuah mahfudhat dikatakan :
“وَاحْفَظْ لِسَانَكَ لَا تَقُوْلُ فَتُبْتَلَى إِنَّ البَلَاءَ مُوَكَّلٌ بِالمَنْطِقِ .
“Jagalah lisanmu jangan sampai berkata yang menjadikanmu celaka, sesungguhnya bala itu dititipkan pada ucapan“.
Karena kecintaannya yang tinggi kepada Allah swt melebihi dari segalanya, sekalipun perintah itu terkesan “aneh” maka tetaplah hal itu dipatuhinya, dan itulah ujian terhebat yang pernah dialami oleh Nabi Ibrahim. Keteguhan dan kesungguhan Ibrahim tidak menyurutkan semangatnya untuk memenuhi perintah Allah swt sekalipun iblis dan kroninya berusaha untuk mengganggu dengan menebarkan keraguan dan menggagalkannya. Sehingga dilemparlah iblis dengan batu yang datang menggoda selama tiga berturut-turut. Dan itulah yang mendasari aktifitas jumrah oleh jamaah haji.
Ada hal penting pelajaran dari nabiyallah Ibrahim ini yaitu kesungguhannya dalam menolak kemungkaran. Kemungkaran bagi nabiyallah Ibrahim dan Ismail yaitu setiap gangguan yang menghalangi terlaksananya perintah Allah adalah sebuah kemungkaran. Karena menghalang-halangi perintah dengan cara membuat ragu dan merintangi jalan kebaikan sama halnya dengan menolak perintah, dan hal itu adalah sebuah kemungkaran.
Oleh karena itu bagi Nabi Ibrahim dan Ismail, tidak ada kata mundur untuk melaksanakan perintah dan setiap penghalang kemungkaran harus disingkirkan dengan apapun caranya, bahkan mereka berdua selama tiga hari berturut-turut melemparkan batu kepada iblis untuk mengusirnya. Karena bagi Nabi Ibrahim dan ismail, mendiamkan penghalang kebaikan sama halnya membiarkan kemungkaran dan itu merupakan pengkhianatan atas perintah Allah swt. Keteguhan dan ketegasan Nabi ibrahim dan pemuda Ismail dalam menolak kemungkaran patut ditiru dan diteladani. Bahwa sesungguhnya kemungkaran tidaklah boleh didiamkan, karena mendiamkannya hanya akan membuat kemungkaran akan terus merajalela dan semakin leluasa untuk menjauhkan manusia dari perintah Allah swt. Sekalipun menolak kemungkaran itu memiliki resiko lebih tinggi daripada hanya sekedar mengajak orang lain pada kebaikan.
Tentu tidak cukup hanya sekedar menolak ajakan kemungkaran dalam diri, namun membentengi masyarakat dari ajakan kemungkaran yang ditimbulkan oleh perilaku sosial ( external factor) akan jauh lebih merusak sebab tindakan tersebut tampak terbuka dihadapan publik maka tentu daya rusaknya akan lebih besar karena publik atau masyarakat melihatnya secara langsung dan nantinya akan berpeluang untuk diadopsi oleh kelompok masyarakat lainnya. Oleh karena itu menghadapi realitas kemungkaran yang seperti ini tidak cukup dengan omongan dan seruan lisan, namun harus melalui tindakan tangan. Demikianlah yang dicontohkan oleh Ibrahim dan Ismail.
Lalu bagaimana dengan realitas kita saat ini, disaat berbagai kemungkaran telah tampak terbuka baik melalui berbagai media (konvensional dan medsos) atau bahkan terlebih difasilitasi oleh penguasa. Maka tentu disinilah perlu adanya kepedulian dan ketegasan dari ummat islam atau kelompok ummat islam yang berani menolak kemungkaran dan tidak hanya sekedar mengajak kepada kemakrufan.
Patutlah dicatat bahwa dakwah menolak kemungkaran adalah sebuah usaha dakwah yang sangat berat sebab mereka tidak hanya akan berhadapan dengan para pelaku kemungkaran saja namun mereka pasti juga akan berhadapan dan ditentang oleh sesama muslim lainnya yang mungkin agak permisif dengan kemungkaran atau oleh mereka yang merasa risih dengan keberaniannya dalam menolak kemungkaran sebab bisa jadi mereka (si penentang) ikut berkelindan dalam mendiamkan kemungkaran.
Ingatlah bahwa mendiamkan kemungkaran sama dengan meridhoi kemungkaran, dan itu adalah bentuk pengkhianatan atas kebenaran dan kebaikan ilahi. Tidak sepatutnya seseorang menolak para penentang kemungkaran sementara dia berteman mesra dan melindungi para pelaku kemungkaran. Namun inilah keanehan akhir zaman, yang keanehannya semakin hari akan semakin aneh. Jadilah seseorang yang aneh (ghuraba’) karena Tuhan pun juga telah memberikan perintah yang “aneh”.
Semoga kita diselamatkan dari keanehan akhir zaman ini dan dijadikan orang yang aneh dalam pandangan mayoritas yang semakin aneh menurut agama. Semoga kita tetap istiqomah di jalanNya dan mendapatkan bimbingan serta ridhoNya. Aamiin…
KH. Akhmad Muwafik Saleh dosen FISIP UB, penulis produktif, pengasuh pondok pesantren mahasiswa Tanwir al Afkar