KANAL24, Malang – Permasalahan overkapasitas lapas yang terjadi di Indonesia menjadi perhatian Pusat Pengembangan Riset Sistem Peradilan Pidana Universitas Brawijaya (PERSADA UB). Bekerjasama dengan ICJR dengan didukung oleh The Asia Foundation, Persada UB membahas hal tersebut dalam webinar dengan tema ”Peluang dan Kesiapan Sistem Peradilan Pidana dalam Penerapan Plea Bargain di Indonesia” pada (28/12/2021).
Dalam sambutannya, mewakili Ketua LPPM, Fachrizal Afandi, PhD selaku Ketua PERSADA UB menyebut tujuan webinar ini untuk mengkaji lebih dalam terkait konsep plea bargain, peluang serta kesiapan penerapannya dalam sistem peradilan pidana Indonesia serta memberikan pengetahuan bagi praktisi, akademisi hukum, dan masyarakat terkait konsep plea bargain .
“Webinar ini merupakan bentuk diseminasi penelitian yang telah dilakukan oleh para peneliti ICJR dan PERSADA UB terkait peluang penerapan mekanisme plea bargaining di Indonesia,” kata Fachrizal.
Hadir dalam webinar tersebut 4 narasumber yaitu Sulvia T. Hapsari, S.H., M.H. (Kepala Kejaksaan Negeri Lebak), Ibrahim, S.H., CLA., CIL. (Sekertaris Umum Kongres Advokat Indonesia), Fachrizal Afandi., S.psi., S.H., M.H., Ph.D (Akademisi Fakultas Hukum Universitas Brawijaya), dan Anugerah Rizky Akbari, S.H., M.Sc. (Ketua Bidang Studi Hukum Pidana Sekolah Tinggi Hukum (STH) Indonesia Jentera).
Sulvia T. Hapsari, S.H., M.H. menyampaikan kedudukan dan peran jaksa dalam menjadi dominus litis dituntut supaya bisa melakukan proses penuntutan bebas dari pengaruh lembaga atau kekuasaan manapun. Dalam hal plea bargain, kejaksaan Negeri Jakarta Selatan pernah melaksanakan praktik serupa dengan melimpahkan beberapa perkara narkotika yang awalnya menggunakan acara pemeriksaan biasa menjadi acara pemeriksaan singkat.
“Saya berharap penerapan plea bargain tidak hanya dibatasi pada beberapa tindak pidana yang ancamannya kurang dari 7 tahun, namun juga untuk pidana diatas 7 tahun supaya dapat memenuhi asas peradilan cepat, singkat, dan berbiaya ringan,”ujar Sulvia
Sedangkan Sekertaris Umum Kongres Advokat Indonesia Ibrahim, S.H., CLA., CIL. mengatakan Advokat memiliki peran yang cukup penting dalam menjamin due process atas penerapan plea bargain, bahkan dalam proses setiap tahapan peradilan pidana sebagaimana dengan prinsip dasar ke 1, 5 dan 6 PBB yang mensyarakatkan pentingnya keberadaan advokat. Pada dasarnya advokat memiliki tanggungjawab profesi yang tidak hanya melindungi rahasia klien atau accusatorial (berpihak kepada klien), tetapi juga inquisitorial (berpihak pada keadilan). “ Advokat memiliki peran sebagai lembaga penegak hukum di luar pemerintahan dalam melaksanakan perlindungan HAM sehingga merupakan unsur independen,” kata Ibrahim.
Akademisi Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Fachrizal Afandi., S.psi., S.H., M.H., Ph.D menyebut Indonesia memiliki peluang yang cukup lebar dalam penerapan plea bargain dalam arti luas karena saat ini sudah diterapakannya sepeti restorative justice, diversi dalam SPPA, Pengaturan Tipiring dalam PERMA no 02/12, pidana bersyarat/percobaan serta jalur khusus dalam pasal 204 RKUHAP versi tahun 2020.
“Namun jika Indonesia menerpakan plea bargain dalam arti sempit dibutuhkan penyeusaian dengan model peradilan yang ada di Indonesia,” katanya.
Dalam kesempatan yang sama Anugerah Rizky Akbari, S.H., M.Sc. membahas tentang kesiapan legislasi dalam mendukung penerapan konsep plea bargain di indonseia yakni dalam memproyeksikan penerapan jalur khusus Indonesia harus memiliki spectrum legislative sebagaimana kini telah menunjukkan suatu kemajuan dengan diaturnya jalur khusus dalam RKUHAP akan tetapi nantinya juga harus diimbangi dengan peratura turunannya. (sdk)