Oleh: Aminullah Achmad Muttaqin, M.Sc.Fin
“Apakah engkau tidak senang, bahwa dunia ini bagi mereka dan akhirat untuk kita?” (HR. al-Bukhari 4629 dan Muslim 1479). Begitulah jawaban sekaligus pertanyaan Rasulullah ﷺ kepada Umar saat berbincang-bincang mengenai segala bentuk kenikmatan dan kemewahan di dunia.
Sebagai pemimpin umat yang kaya raya, Rasulullah ﷺ tidak pernah menunjukkan ketertarikannya terhadap dunia dengan bermewah-mewahan, bahkan beliau tidak pernah sekalipun menikmati roti sampai kenyang hingga akhir hayatnya. Abu Hurairah RA, berkata: ”Rasulullah ﷺ dan keluarganya tidak pernah merasa kenyang dalam tiga hari berturut-turut karena memakan roti gandum. (Keadaan tersebut terus berlangsung) hingga beliau berpisah dengan dunia” (HR. Muslim dan Ibnu Majah).
Berbicara mengenai kesederhanaan beliau, sungguh tidak akan ada habisnya. Bahkan Aisyah RA mengatakan, “Sesungguhnya kami, keluarga Muhammad pernah selama sebulan tidak menyalakan api (tidak memasak apapun) kecuali kurma dan air” (HR. Muslim dan at-Tirmidzi).
Gaya hidup yang dicontohkan baginda Rasulullah ﷺ ini sangat bertentangan dengan teori ekonomi populer yang akhirnya justru menjadi pembenaran perilaku sebagian kalangan umat manusia untuk menuruti hawa nafsu semata dengan memaksimalkan kepuasan diri. Oleh karena itu, sebagai Muslim yang menjadikan Rasulullah ﷺ teladan dalam hidupnya, sudah sepatutnya meniru perilaku beliau termasuk dalam hal kesederhanaannya, dan tidak hidup bermewah-mewahan meskipun memiliki harta yang cukup untuk melakukannya. Karena, tenggelam dalam kenikmatan dan kemewahan dunia yang fana akan menyebabkan hati menjadi lalai dan akal pun terbuai.
Setiap orang yang hidup bermewah-mewahan adalah orang yang melampaui batas. Termasuk perbuatan melampaui batas adalah pemborosan, yaitu membuang-buang harta dan menghambur-hamburkan kekayaan dengan merasa sombong. Menurut Imam ar-Razi, kemewahan terdiri dari 2 aspek, yaitu aspek materiil (hidup senang) dan aspek moril (kesombongan). Sehingga, orang yang hidup mewah adalah penerima nikmat yang dibuat sombong oleh kenikmatan dan keluasan rezeki. Termasuk di dalam perbuatan sombong ialah sengaja mengumbar kenikmatan atas dirinya di sosial media tanpa memikirkan konsekuensi jangka panjang atau tidak mempedulikan perasaan orang yang sedang dilanda kesempitan.
إِنَّ قَارُونَ كَانَ مِنْ قَوْمِ مُوسَىٰ فَبَغَىٰ عَلَيْهِمْ ۖ وَآتَيْنَاهُ مِنَ الْكُنُوزِ مَا إِنَّ مَفَاتِحَهُ لَتَنُوءُ بِالْعُصْبَةِ أُولِي الْقُوَّةِ إِذْ قَالَ لَهُ قَوْمُهُ لَا تَفْرَحْ ۖ إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْفَرِحِينَ .
“Sesungguhnya Qarun adalah termasuk kaum Musa, maka ia berlaku aniaya terhadap mereka, dan Kami telah menganugerahkan kepadanya perbendaharaan harta yang kunci-kuncinya sungguh berat dipikul oleh sejumlah orang yang kuat-kuat. (Ingatlah) ketika kaumnya berkata kepadanya: “Janganlah kamu terlalu bangga; sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang terlalu membanggakan diri” (QS. Al-Qashas: 76).
Selain itu, hidup bermewah-mewahan merupakan salah satu faktor degradasi sosial dan dekadensi moral. Di mana setiap hati individu menjadi lalai dalam hal-hal mulia disebabkan manusia hanya menyibukkan diri dengan nafsu perut dan kemaluannya, sehingga segala sesuatu yang dilakukan menjadi berlebih-lebihan. Di sisi lain, manusia menjadi semakin egois dan hanya memikirkan kesenangan diri sendiri dan golongan mereka saja sehingga lupa terhadap orang-orang di sekitar mereka yang kurang beruntung.
Baca juga:
Mendidik Nafsu di Bulan Ramadhan: Hikmah Pembatasan Konsumsi
Padahal, pada harta mereka (orang kaya) terdapat hak orang miskin yang harus ditunaikan. “Dan orang-orang yang dzalim hanya mementingkan kenikmatan yang mewah yang ada pada mereka, dan mereka adalah orang-orang yang berbuat jahat” (QS. Hud: 116).
Allah ﷻ berfirman,
وَاَصْحٰبُ الشِّمَالِ ەۙ مَآ اَصْحٰبُ الشِّمَالِ ۗ فِيْ سَمُوْمٍ وَّحَمِيْمٍ ۙ وَّظِلٍّ مِّنْ يَّحْمُوْمٍ ۙ لَّا بَارِدٍ وَّلَا كَرِيْم ٍ اِنَّهُمْ كَانُوْا قَبْلَ ذٰلِكَ مُتْرَفِيْنَ ۚ وَكَانُوْا يُصِرُّوْنَ عَلَى الْحِنْثِ الْعَظِيْمِ ۚ
“Dan golongan kiri, alangkah sengsaranya golongan kiri itu. (Mereka) dalam siksaan angin yang sangat panas dan air yang mendidih, dan naungan asap yang hitam, tidak sejuk dan tidak menyenangkan.
Sesungguhnya mereka sebelum itu (dahulu) hidup bermewah-mewah, dan mereka terus-menerus mengerjakan dosa yang besar” (QS. Al-Waqi’ah: 41-46).
Begitu buruknya dampak dari hidup bermewah-mewahan, sehingga Allah ﷻ pun mengecam orang-orang yang hidup dengan bermewah-mewahan. Dengan demikian, hendaknya kita senantiasa menjauhi gaya hidup mewah serta berusaha hidup dengan hemat dan sederhana sebagaimana dicontohkan oleh Rasulullah ﷺ. Semoga kita selalu dalam lindungan dan karunia-Nya.
Wallahu a’lam bisshowab.
Penulis Dosen FEB UB