KANAL24, Malang – Indonesia masih tertinggal dalam pembangunan sektor jasa keuangan dibanding negara-negara tetangga di ASEAN seperti, Thailand, Malaysia dan Vietnam. Berdasarkan indikator-indikator pembangunan sektor jasa keuangan, yaitu kedalaman finansial, akses finansial, efisiensi dan stabilitas sektor keuangan, menunjukan Indonesia masih banyak memiliki pekerjaan rumah yang harus diselesaikan.
“Berdasarkan data World Development Indicator (WDI) 2019, rasio domestic to private sector terhadap PDB sebagai proksiuntuk mengukur kedalaman finansial Indonesia hanya 32,5%, menduduki posisi terendah di ASEAN,” kataHead of Industry and Regional Research, PT Bank Mandiri Tbk (BMRI),Dendi Ramdani melalui pers rilisnya, Selasa (8/2/2022).
Indikator ini menunjukkan Indonesia masih memiliki ruang yang besar untuk meningkatkan pertumbuhan kredit, sehingga jumlah kredit yang disalurkan bisa lebih banyak. Pada akhirnya, kredit ini bisa lebih mendorong pertumbuhan ekonomi.
Indikator efisiensi perbankan Indonesia juga masih kalah dibandingkan efisiensi perbankan negara tetangga dilihat dari indikator interest rate sperad . Berdasarkan data WDI, interest rate spread Indonesia sebesar 3,7%, jauh lebih tinggi dibandingkan Malaysia dan Thailand yang masing-masing 1,9% dan 2,7%.
” Interest rate spread yang tinggi mengindikasikan overhead bank-bank di Indonesia masih tinggi dan premi risiko dari penyaluran kredit masih besar,” ujar Dendi.
Perkembangan pasar modal Indonesia pun masih relatif dibawah negara-negara tetangga. Kapitalisasi pasar modal Indonesia masih rendah yaitu hanya 46,2%, hanya lebih tinggi dari Vietnam pada tahun 2019.
Indikator ini menunjukkan peran pembiayaan pasar modal masih relatif kecil bagi perusahaan di Indonesia. Dilihat dari jumlah perusahaan yang listed pun, masih sangat sedikit yaitu hanya 738 perusahaan sampai dengan tahun 2021, dibanding dengan jumlah perusahaan perusahaan menengah-besar di Indonesia yang sebanyak 384.500 perusahaan.
Sebagai tambahan, pendanaan korporasi dari obligasi juga masih relatif rendah. Sampai dengan Januari 2022, outstanding obligasi korporasi hanya senilai Rp 430 triliun. Beberapa penyebabnya adalah biaya penerbitan obligasi korporasi yang mahal dan pasar sekunder yang belum tercipta. Oleh karenanya, biaya penerbitan obligasi korporasiperlu dibuat murah dan prosedur penerbitan yang lebih sederhana.
Menurut Dendi, Indonesia harus membangun sektor jasa keuangan Indonesia ke depan dengan meningkatkan efisiensi sehingga suku bunga kredit bisa lebih murah. Peningkatan efisiensi perlu dilakukan dengan menekan biaya overhead bank terutama dengan memanfaatkan perkembangan teknologi digital. Biaya overhead juga bisa ditekan dengan meningkatkan produktivitas baik fixed aset maupun tenaga kerja.(sdk)