KANAL24, Jakarta Pada semester pertama 2019, PT Bank Negara Indonesia Tbk (BBNI) mencatatkan perolehan laba bersih senilai Rp7,63 triliun atau bertumbuh sebesar 2,7 persen ( year-on-year ) dari Rp7,44 triliun di paruh pertama 2018.
“BNI mencatatkan perolehan laba bersih sebesar Rp7,63 triliun pada semester I-2019 yang bertumbuh 2,7 persen ( year-on-year ) dari Rp7,44 triliun pada semester I-2018,” kata Direktur Keuangan BBNI, Anggoro Eko Cahyo, di Jakarta, Selasa (23/7/2019).
Anggoro mengatakan, pertumbuhan non interest income (NII) atau fee based income pada semester I-2019 sebesar 11,6 persen (y-o-y). Sebesar 96,5 persen NII BBNI ditopang recurring fee yang bertumbuh 16,6 persen menjadi Rp5,2 triliun.
“Pertumbuhan ini berkontribusi 21,6 persen terhadap total operating income BBNI pada semester I-2019,” ucapnya.
Lebih lanjut dia menyebutkan, kenaikan NII tersebut didorong oleh kontribusi fee dari segmen business banking , antara lain fee dari trade finance yang bertumbuh 15,8 persen, fee sindikasi yang bertumbuh 76,5 persen dan fee bank garansi yang naik 1,3 persen.
“Sedangkan sisanya dari pertumbuhan bisnis Consumer & Retail, antara lain fee pengelolaan kartu debit dengan pertumbuhan 65,3 persen dan fee bisnis kartu yang bertumbuh 12,9 persen,” ujar Anggoro sembari menyebutkan bahwa pertumbuhan pendapatan bunga bersih sebesar satu persen menjad Rp17,61 triliun.
Anggoro menyatakan, pada semester pertama 2019, BBNI mencatatkan pertumbuhan kredit sebesar 20 persen (y-o-y) menjadi Rp549,23 triliun.
“Realisasi kredit tersebut menunjukkan fungsi intermediasi yang dijalankan BBNI
berjalan optimal, seiring dengan upaya pemerintah yang terus mendorong momentum pertumbuhan ekonomi di tengah kondisi ketidakpastian pasar keuangan global,” tuturnya.
Dia menjelaskan, pertumbuhan kredit BBNI didorong pembiayaan pada korporasi mencapai 51,9 persen dari total portofolio kredit, dengan fokus pembiayaan di sektor manufaktur, perdagangan, restoran dan perhotelan serta jasa dunia usaha.
“Hal ini sejalan dengan strategi yang ditetapkan BBNI, yaitu menjaga komposisi kredit korporasi dalam kisaran 50-55 persen dari total kredit. Kredit korporasi BBNI tersalurkan pada korporasi swasta dan BUMN yang masing-masing bertumbuh 27,8 persen dan 24,9 persen,” papar Anggoro.
Kredit yang dialirkan pada segmen usaha kecil mencatatkan pertumbuhan 21,5 persen (y-o-y), termasuk di dalamnya adalah penyaluran Kredit Usaha Rakyat (KUR). Sementara itu, pertumbuhan kredit segmen menengah dijaga tetap moderat sebesar 7,6 persen.
Pada segmen konsumer, kredit tanpa agunan (KTA) berbasis payroll masih menjadi kontributor utama pertumbuhan, yaitu 12,8 persen (y-o-y). Untuk mortgage dan kartu kredit masih mencatatkan pertumbuhan masing-masing 8,9 persen dan empat persen.
Penyaluran kredit BBNI ditopang kemampuan perseroan dalam menjaga likuiditas di tengah kondisi pasar keuangan yang ketat. Dana Pihak Ketiga (DPK) bertumbuh 13 persen (y-o-y) menjadi Rp595,07 triliun pada semester I-2019.
“BBNI juga mampu menjaga rasio dana murah yang ditunjukkan dari komposisi CASA yang mencapai 64,6 persen dari total DPK,” kata Anggoro.
Dari sisi kualitas aset, menurut Anggoro, tingkat kredit bermasalah (NPL) gross BBNI
tercatat membaik menjadi 1,8 persen pada semester I-2019 dari periode yang sama tahun sebelumnya sebesar 2,1 persen. Credit cost menurun dari 1,7 persen pada semester I-2018 menjadi 1,4 persen di semester I-2019.
“Coverage ratio terus meningkat dari 150,2 persen pada semester I-2018 menjadi 156,5 persen pada akhir semester I-2019,” ungkap Anggoro. (sdk).