Kanal 24, Malang – Bahasa adalah jembatan komunikasi. Namun, bagi teman tuli atau penyandang disabilitas rungu, jembatan itu sering kali masih penuh hambatan. Pemenuhan hak atas bahasa isyarat bukan sekadar soal teknis, tetapi bagian dari hak asasi manusia yang dijamin undang-undang. Menyadari pentingnya akses komunikasi yang setara, pemerintah berencana memasukkan bahasa isyarat dalam kurikulum pendidikan nasional.
Rencana ini disampaikan Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, Pratikno, di Jakarta pada Selasa (26/8/2025). Menurutnya, bahasa isyarat harus bisa dikuasai tidak hanya oleh teman tuli, tetapi juga oleh masyarakat luas. Harapannya, komunikasi inklusif dapat benar-benar terwujud.
Baca juga:
Strategi Cegah Karies Menuju Indonesia Bebas Karies 2030
“Setiap anak nantinya belajar bahasa isyarat. Semua anak, semua guru, semua dokter, semua perawat, semua aparat publik bisa berkomunikasi dengan tunarungu,” ujar Pratikno, dikutip dari Kompas.
Data dan Landasan Hukum
Kementerian Kesehatan pada 2014 mencatat ada sekitar 2,5 juta penyandang disabilitas rungu di Indonesia. Meski begitu, jumlah pengguna bahasa isyarat di masyarakat umum masih sangat terbatas. Penelitian Khresna (2022) di Universitas Gadjah Mada bahkan menegaskan bahwa akses ke bahasa isyarat belum merata.
Padahal, hak untuk berkomunikasi sudah diatur jelas. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas menjamin hak atas aksesibilitas, pelayanan publik, hidup mandiri, berekspresi, berkomunikasi, dan memperoleh informasi. Sementara itu, UU Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran juga mengakui bahasa isyarat dalam siaran tertentu untuk khalayak tunarungu.
Namun, di lapangan, pemenuhan hak itu belum sepenuhnya berjalan.
Belajar dari Selandia Baru
Indonesia bukan negara pertama yang menimbang bahasa isyarat dalam kurikulum pendidikan. Selandia Baru sudah lebih dulu mengakui New Zealand Sign Language (NZSL) sebagai bahasa resmi sejak 2006. Tidak hanya diakui, bahasa ini juga dimasukkan dalam kurikulum sekolah sebagai mata pelajaran pilihan.
Langkah tersebut berdampak besar. Juru bahasa isyarat kini hadir di berbagai sektor, termasuk sistem peradilan dan parlemen. Hampir 23 ribu orang di Selandia Baru menggunakan NZSL, baik tuli maupun dengar. Keberadaan bahasa isyarat sebagai bahasa resmi menandai pengakuan negara atas komunitas tuli, sekaligus menciptakan ruang publik yang lebih inklusif.
Respons Positif dari Akademisi dan Aktivis
Rencana pemerintah memasukkan bahasa isyarat ke kurikulum nasional mendapat sambutan baik dari berbagai pihak. Rizqika Arrum Bakti, peneliti GEDSI dari Seknas FITRA, menyebut kebijakan ini sebagai pemenuhan hak dasar yang semestinya sudah lama dilakukan.
“Bayangkan tinggal di sebuah tempat tapi tidak bisa bahasanya. Di sisi lain, mereka juga tidak diberi akses untuk belajar bahasa itu. Pemerintah harusnya sejak lama menyadari pentingnya bahasa isyarat,” katanya.
Rizqika menekankan pentingnya akses bahasa sejak dini. Anak tuli yang tidak mendapat akses bahasa pada usia 0–5 tahun berisiko mengalami deprivasi bahasa. Hal ini bisa berdampak serius pada kemampuan belajar dan berpikir mereka.
Dukungan juga datang dari komunitas tuli. Nissi Taruli Felicia, Co-Founder FeminisThemis, menyebut kebijakan ini progresif. Menurutnya, memasukkan bahasa isyarat ke kurikulum bukan hanya soal keterampilan komunikasi, tetapi juga pengakuan negara terhadap Bahasa Isyarat Indonesia (BISINDO) yang setara dengan bahasa lisan lain.
Catatan Penting dari Komunitas Tuli
Meski mendukung, Nissi menegaskan ada hal-hal mendasar yang tidak boleh diabaikan. Pertama, keterlibatan komunitas tuli dalam penyusunan kurikulum. Bahasa isyarat adalah bagian dari budaya tuli, sehingga komunitas ini seharusnya dilibatkan sejak tahap perencanaan, bukan sekadar di implementasi.
Kedua, pengakuan profesi guru bahasa isyarat. Jika bahasa isyarat diajarkan di sekolah, pemerintah perlu memastikan ada guru tuli yang kompeten, tersertifikasi, dan sejahtera.
Ketiga, pemerintah perlu mempertegas penggunaan BISINDO. Selama ini, Sekolah Luar Biasa masih menggunakan SIBI (Sistem Isyarat Bahasa Indonesia) yang bukan bahasa alami, melainkan hasil rekayasa. Sementara BISINDO berkembang alami di komunitas tuli, lebih sederhana, ekspresif, dan sesuai kebutuhan komunikasi sehari-hari.
“Bahasa isyarat di Indonesia hanyalah BISINDO. Jangan lagi ada perdebatan antara SIBI dan BISINDO,” tegas Nissi.
Tantangan Implementasi
Meski secara hukum sudah diakui, implementasi masih menghadapi banyak kendala. Menurut Rizqika, isu disabilitas masih terlalu terpusat di Kementerian Sosial, padahal sifatnya lintas sektor. Kurikulum jelas berada di ranah Kementerian Pendidikan, tetapi hingga kini belum ada eksplorasi serius di tingkat teknis.
Persoalan anggaran juga tidak kalah krusial. Pelatihan guru, penyediaan materi ajar, hingga ketersediaan juru bahasa isyarat membutuhkan dana besar. Tanpa dukungan anggaran, kebijakan ini rawan berhenti di wacana.
Dari sisi pelaksanaan, Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), Ubaid Matraji, menilai masih ada hambatan di tingkat sekolah. Banyak sekolah masih menolak menerima anak disabilitas, termasuk tuli. Jika masalah ini belum selesai, pembelajaran bahasa isyarat di sekolah bisa berakhir kontradiktif.
“Sekolah harus menjadi tempat yang inklusif. Kalau sekolah masih menolak anak disabilitas, bagaimana mungkin siswa lain belajar bahasa isyarat dengan tulus?” ujarnya.
Baca juga:
Biosecurity Jadi Kunci Peternakan Kambing Domba
Harapan ke Depan
Rencana memasukkan bahasa isyarat ke kurikulum nasional adalah peluang besar untuk menjadikan pendidikan Indonesia lebih inklusif. Namun, kebijakan ini tidak bisa setengah hati. Pemerintah perlu menyiapkan kurikulum matang, melibatkan komunitas tuli, menghadirkan guru bahasa isyarat, memastikan anggaran memadai, serta mempertegas penggunaan BISINDO.
Lebih dari itu, kebijakan ini adalah simbol penghormatan terhadap keberagaman bahasa dan budaya. Dengan belajar bahasa isyarat, generasi muda tidak hanya menambah keterampilan komunikasi, tetapi juga menumbuhkan empati dan rasa hormat pada perbedaan.
Inklusi bukan sekadar wacana, melainkan langkah nyata yang harus diwujudkan di ruang kelas dan kehidupan sehari-hari. (han)