Kanal24, Malang – Fraud atau tindakan penipuan telah lama menjadi ancaman serius bagi sektor keuangan dan organisasi di seluruh dunia, termasuk di Indonesia. Dalam upaya untuk menghadirkan solusi baru, Prof. Dr. Lilik Purwanti, Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya (FEB UB), memperkenalkan pendekatan inovatif yang menggabungkan budaya lokal dan teori modern melalui model yang ia sebut Weton-Heptagon Model (WHM). Pendekatan ini dikembangkan untuk mengatasi keterbatasan model deteksi fraud yang ada, sekaligus memberikan kontribusi signifikan dalam bidang akuntansi keperilakuan.
Dalam pidato pengukuhannya sebagai guru besar, Prof. Lilik menjelaskan bahwa fraud bukan hanya persoalan teknis yang berakar pada kelemahan sistem, tetapi juga terkait erat dengan faktor psikologis dan kultural individu. “Fraud sering kali dipengaruhi oleh perilaku manusia yang kompleks. Di sinilah pentingnya memahami kepribadian dan watak individu dalam konteks budaya mereka. Oleh karena itu, kami mengintegrasikan konsep weton, yang merupakan bagian dari kearifan lokal Jawa, ke dalam model Fraud Hexagon,” ungkapnya (25/2/2025).
Latar Belakang Pengembangan Weton-Heptagon Model
Latar belakang pengembangan WHM bermula dari berbagai tantangan yang dihadapi dalam mendeteksi dan mencegah fraud. Data dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menunjukkan bahwa meskipun indikator perilaku fraud sering muncul, banyak kasus tetap sulit diungkap karena model deteksi yang ada tidak mampu mengidentifikasi faktor-faktor mendasar. Sebagai tambahan, pendekatan konvensional seperti Fraud Triangle dan Fraud Hexagon kerap mengabaikan dimensi budaya yang unik di setiap negara.
“Fraud Triangle dan Hexagon hanya fokus pada tekanan, peluang, dan rasionalisasi, tanpa mempertimbangkan faktor budaya dan kepribadian individu. Padahal, budaya memiliki pengaruh signifikan terhadap bagaimana seseorang mengambil keputusan, termasuk keputusan yang terkait dengan tindakan fraud,” kata Prof. Lilik.
Melalui model WHM, Prof. Lilik memperluas Fraud Hexagon dengan menambahkan elemen weton sebagai faktor kunci. Weton, yang berasal dari tradisi primbon Jawa, merupakan sistem prediksi karakter berdasarkan hari kelahiran seseorang. Dalam konteks WHM, weton digunakan untuk mengidentifikasi pola perilaku individu yang berpotensi menjadi risiko bagi organisasi.
Tujuh Elemen Utama dalam Weton-Heptagon Model
Weton-Heptagon Model (WHM) dikembangkan dengan pendekatan yang komprehensif untuk memahami berbagai faktor yang mendorong terjadinya fraud. Model ini menggabungkan enam elemen utama dari Fraud Hexagon dengan elemen tambahan berbasis budaya Jawa, yaitu weton. Setiap elemen dalam WHM dirancang untuk menganalisis berbagai aspek yang memengaruhi perilaku individu.
Elemen pertama adalah tekanan, yakni dorongan eksternal yang membuat seseorang merasa terpaksa melakukan tindakan fraud. Sementara itu, peluang muncul akibat kelemahan dalam sistem yang memberikan ruang bagi terjadinya pelanggaran. Rasionalisasi menjadi elemen berikutnya, yang menggambarkan bagaimana pelaku membenarkan tindakannya melalui justifikasi moral.
Selain itu, ada kemampuan, yang merujuk pada kapasitas atau keterampilan individu dalam melaksanakan fraud. Elemen ini disertai dengan arogansi, yaitu sikap sombong yang membuat individu merasa berada di atas aturan. Kolusi, sebagai elemen keenam, mengacu pada kerja sama antara pelaku dengan pihak lain untuk menyembunyikan tindakan fraud.
Elemen terakhir, yang menjadi keunikan WHM, adalah weton, sebuah konsep dari budaya Jawa yang digunakan untuk memahami karakter dan kepribadian individu berdasarkan hari kelahiran mereka. Menurut Prof. Dr. Lilik Purwanti, weton dalam WHM membantu mengidentifikasi individu yang berpotensi menghadapi tekanan atau memiliki kecenderungan tertentu terhadap fraud.
“Weton dalam budaya Jawa bukan hanya sekadar penanda hari kelahiran, tetapi juga alat untuk memahami karakter seseorang. Dalam model kami, weton membantu mengidentifikasi individu-individu yang rentan terhadap tekanan atau memiliki kecenderungan tertentu yang dapat mengarah pada fraud,” ujar Prof. Lilik.
Penerapan dan Manfaat WHM
Dalam implementasinya, WHM dirancang tidak hanya untuk mendeteksi, tetapi juga untuk mencegah fraud melalui pendekatan yang lebih proaktif. “WHM memberikan organisasi kemampuan untuk mengidentifikasi risiko lebih awal, sehingga langkah mitigasi dapat dilakukan sebelum tindakan fraud terjadi,” jelas Prof. Lilik.
WHM juga berpotensi menjadi alat penting dalam pelatihan dan pengembangan sumber daya manusia. Organisasi dapat menggunakan model ini untuk memahami karakter karyawan dan menciptakan lingkungan kerja yang mendukung integritas. Hal ini sangat relevan dalam menghadapi tantangan di era digital, di mana kompleksitas operasional semakin meningkat.
Selain itu, WHM memiliki aplikasi yang luas di berbagai sektor, mulai dari lembaga keuangan hingga organisasi nirlaba. Dengan memanfaatkan model ini, organisasi dapat menciptakan strategi manajemen risiko yang lebih komprehensif, sekaligus mengintegrasikan nilai-nilai budaya lokal ke dalam praktik bisnis mereka.

Kritik dan Validasi Empiris
Meskipun menawarkan inovasi, Prof. Lilik mengakui bahwa WHM masih memerlukan validasi empiris lebih lanjut. “Kami telah menguji model ini dalam beberapa studi kasus, dan hasilnya sangat menjanjikan. Namun, kami membutuhkan lebih banyak penelitian untuk memastikan bahwa WHM dapat diterapkan secara luas di berbagai konteks,” ungkapnya.
Ia juga berharap bahwa akademisi dan praktisi dapat berkolaborasi dalam mengembangkan WHM. “Kami membuka pintu bagi siapa saja yang ingin berkontribusi dalam penelitian ini. Dengan kerja sama yang baik, saya yakin WHM dapat menjadi standar baru dalam manajemen risiko,” tambahnya.
Dengan potensi besar yang dimiliki, WHM diharapkan tidak hanya memperkuat sistem deteksi fraud di Indonesia, tetapi juga menjadi inspirasi bagi negara lain yang memiliki kekayaan budaya serupa. “Model ini menunjukkan bahwa kearifan lokal dapat menjadi solusi untuk masalah global. Jika kita dapat mengintegrasikan nilai-nilai budaya ke dalam ilmu pengetahuan, kita tidak hanya menciptakan inovasi, tetapi juga memperkuat identitas kita sebagai bangsa,” tutup Prof. Lilik.
Inovasi WHM ini menjadi bukti bahwa penelitian berbasis budaya lokal memiliki nilai yang tidak kalah penting dibandingkan pendekatan internasional. Dengan WHM, Universitas Brawijaya tidak hanya mempertegas perannya sebagai institusi pendidikan terkemuka, tetapi juga sebagai pelopor dalam menciptakan solusi berbasis budaya untuk tantangan global.