Kanal24, Malang — Di tengah meningkatnya frekuensi bencana alam dan risiko darurat medis di lingkungan kampus, kesadaran akan pentingnya kesiapsiagaan menjadi semakin mendesak. Universitas Brawijaya (UB) berkomitmen menjadi institusi akademik, dan juga pusat pembelajaran tangguh bencana. Di balik upaya itu, ada satu filosofi yang menjiwai seluruh gerakan siaga di kampus ini: hidup di Indonesia berarti hidup berdampingan dengan risiko.
“Tidak ada zona aman, yang ada hanya zona di antara dua bencana,” ujar dr. Aurick Yudha Nagara, Sp.EM., Ph.D, Penanggung Jawab Emergency Medical Team (EMT) Universitas Brawijaya (UB). Bagi dokter spesialis emergensi ini, kesiapsiagaan bukan soal menunggu bencana datang, melainkan membangun kebiasaan siaga di masa tenang.
Pandangan itu menjadi ruh kegiatan Pendidikan dan Pelatihan Peningkatan Kapasitas Relawan EMT UB, yang digelar di Graha Medika Fakultas Kedokteran UB, 1–2 November 2025. Melalui tema “Brawijaya One, One Safety Culture: Towards a Resilient and Mindful Campus”, UB berupaya memperkuat budaya tanggap darurat di lingkungan kampus—mulai dari mahasiswa hingga tenaga pendidik—sebagai bagian dari komitmen menuju kampus tangguh bencana.
Menurut dr. Aurick, pelatihan EMT menjadi pondasi jangka panjang untuk membangun sistem tanggap darurat yang berkelanjutan.
“Wakil Rektor Prof. Andi Kurniawan berpesan agar EMT jangan berhenti hanya di pelatihan. Program ini harus dilembagakan agar berkesinambungan,” ujarnya.
Ia menjelaskan, selama ini UB memang sudah memiliki tradisi respon cepat terhadap situasi bencana—seperti saat erupsi Kelud 2014—namun ketiadaan lembaga permanen menyebabkan aktivitas EMT kerap tidak berlanjut. Karena itu, pembentukan lembaga di bawah Yayasan UB menjadi langkah penting agar koordinasi, pendanaan, dan keberlanjutan EMT dapat terjamin.
“Kalau tidak ada cantolan kelembagaan, investasi pelatihan dan sumber daya yang sudah kita bangun bisa hilang begitu saja,” tegasnya.

Bangun Sistem Kesiapsiagaan Komprehensif
dr. Aurick menekankan bahwa kesiapsiagaan kampus tidak bisa hanya mengandalkan tim kesehatan. Dalam konteks bencana, ada enam klaster utama—dari medis, logistik, hingga dukungan psikososial—yang harus bekerja beriringan. Karena itu, EMT UB melibatkan mahasiswa lintas disiplin, termasuk Fakultas Psikologi dan Korps Sukarela (KSR).
“Kami ingin tim yang solid. Kesehatan penting, tapi aspek psikologis dan sosial tidak bisa dikesampingkan. Banyak kasus krisis jiwa di kampus yang perlu penanganan cepat dan terlatih,” ujarnya.
Selama pelatihan, peserta tidak hanya belajar teori, tetapi juga praktik lapangan seperti Basic Life Support (BLS), triage, hingga penggunaan Automated External Defibrillator (AED). Selain itu, peserta juga dikenalkan pada peran Emergency Medical Technician (EMT) — kapasitas setingkat di atas first responder yang menangani situasi gawat darurat pra-rumah sakit.
“Ini bukan sekadar pelatihan bantuan hidup dasar. Kita siapkan relawan untuk mampu menangani kondisi kritis di lapangan. Mahasiswa UB punya potensi besar menjadi pionir EMT di Indonesia,” tambahnya.
Kampus Sebagai Ruang Aman dan Siaga
Menurut dr. Aurick, UB berkomitmen menjadi kampus yang tidak hanya unggul akademik, tapi juga tangguh menghadapi risiko. Ia menyoroti pentingnya pelatihan berkelanjutan agar mahasiswa terbiasa bereaksi cepat saat situasi darurat, bahkan dalam kehidupan sehari-hari di kampus.
“Zona aman itu ilusi. Saat ini kita tenang, tapi itulah waktu terbaik untuk berlatih,” ujarnya.
Program EMT juga diarahkan untuk memperluas manfaat bagi masyarakat sekitar kampus. Dalam radius lima kilometer, relawan UB diharapkan mampu merespons keadaan darurat dasar, seperti kecelakaan lalu lintas atau kejadian medis mendadak.
Selain itu, dr. Aurick juga mendorong integrasi pelatihan ini ke dalam sistem akademik UB. Ia menilai 40 jam pelatihan tatap muka EMT dapat menjadi portofolio mahasiswa dan bagian dari kurikulum berbasis keterampilan tanggap darurat.
“Kami ingin budaya safety dan kesiapsiagaan menjadi karakter mahasiswa UB. Dari kampus, kesadaran ini bisa meluas ke masyarakat,” jelasnya.
Dukungan Yayasan untuk Keberlanjutan EMT
Ketua Yayasan UB, Prof. Dr. Ir. Moch. Sasmito Djati, M.S., IPU., ASEAN Eng, menegaskan bahwa EMT akan dilembagakan di bawah yayasan agar lebih fleksibel secara administratif.
“Kalau di bawah sistem birokrasi, geraknya lambat. Dengan yayasan, EMT bisa lebih lincah mengelola keuangan dan koordinasi, terutama saat bencana yang datang tiba-tiba,” ujarnya.
Ia menambahkan, langkah ini sejalan dengan visi UB sebagai universitas yang berada di wilayah tropis dan Ring of Fire. “Kita tidak bisa menghindari risiko bencana. Justru dari sini kita harus unggul. UB bisa menjadi model kampus tangguh Indonesia,” kata Prof. Sasmito.
Dengan keberadaan Emergency Medical Team Universitas Brawijaya, dr. Aurick dan timnya selain menyiapkan relawan medis, juga membangun kesadaran kolektif: bahwa keselamatan adalah tanggung jawab bersama. Dari ruang kuliah hingga jalan kampus, UB sedang menanamkan satu pesan sederhana namun penting — siaga adalah bagian dari peradaban akademik.(Din)











Comments 1