Kanal24, Malang – Infeksi nosokomial atau Healthcare-Associated Infections (HAIs) merupakan salah satu tantangan terbesar dalam dunia kesehatan. Nosokomial adalah istilah yang merujuk pada infeksi yang diperoleh pasien selama berada di rumah sakit atau fasilitas pelayanan kesehatan lainnya, yang sebelumnya tidak ada atau tidak dalam masa inkubasi saat pasien masuk.
Berdasarkan laporan WHO, prevalensi HAIs di negara berkembang mencapai 2–3 kali lipat lebih tinggi dibandingkan negara maju, dengan dampak serius berupa peningkatan angka kematian, perpanjangan masa rawat inap, dan beban biaya kesehatan.
Di Indonesia, survei yang dilakukan Kementerian Kesehatan menunjukkan rata-rata kejadian HAIs sebesar 9,8% pada sejumlah rumah sakit pendidikan. “Infeksi ini adalah ancaman nyata bagi keselamatan pasien dan kualitas pelayanan kesehatan, dan kita perlu pendekatan yang lebih efektif untuk mengatasinya,” ungkap Dr. Ahsan, S.Kp., M.Kes., dalam pidato pengukuhan gelar profesor bidang keperawatan di Fakultas Kesehatan Universitas Brawijaya (30/1/2025).
Masalah Infeksi Nosokomial
Dr. Ahsan menyadari bahwa meskipun protokol kebersihan seperti sterilisasi alat dan penggunaan alat pelindung diri telah diterapkan, kasus infeksi nosokomial tetap tinggi. Hal ini mendorongnya untuk mencari solusi yang lebih komprehensif dengan memadukan Knowledge Management (KM) dan Team Strategies and Tools to Enhance Performance and Patient Safety (TeamSTEPPS).
Pendekatan KM mencakup pengelolaan pengetahuan secara sistematis, mulai dari penemuan, penyimpanan, hingga penerapan pengetahuan berbasis bukti. Sementara itu, TeamSTEPPS mengandalkan elemen seperti komunikasi efektif, koordinasi tim, cross-monitoring, dan kewaspadaan situasional untuk meningkatkan keselamatan pasien. Integrasi kedua model ini dirancang untuk mengatasi kelemahan masing-masing dan menciptakan pendekatan holistik dalam pencegahan infeksi.
Integrasi KM dan TeamSTEPPS
Penelitian dimulai dengan menganalisis data insiden HAIs di sejumlah rumah sakit. Dr. Ahsan kemudian mengembangkan model integrasi yang mencakup langkah-langkah utama, seperti pelatihan berkelanjutan untuk tenaga kesehatan, penyediaan alat komunikasi berbasis teknologi, dan penyusunan protokol berbasis bukti. Model ini diuji coba di beberapa rumah sakit dengan hasil yang signifikan.
“Melalui integrasi ini, kami tidak hanya fokus pada prosedur teknis, tetapi juga menciptakan budaya kerja yang kolaboratif dan berorientasi pada keselamatan pasien,” jelas Profesor Ahsan. Hasilnya menunjukkan penurunan signifikan dalam insiden infeksi nosokomial di unit perawatan intensif dan bangsal bedah.
Implementasi Praktis
Implementasi model integrasi Knowledge Management (KM) dan Team Strategies and Tools to Enhance Performance and Patient Safety (TeamSTEPPS) yang dikembangkan oleh Profesor Ahsan dimulai dengan pendekatan sistematis di berbagai rumah sakit.
Langkah awal melibatkan pendidikan dan pelatihan intensif untuk tenaga kesehatan. Dalam pelatihan ini, mereka dibekali dengan pengetahuan tentang protokol pencegahan infeksi yang berbasis bukti serta keterampilan komunikasi efektif menggunakan pendekatan TeamSTEPPS. Pelatihan ini dirancang untuk membangun kesadaran akan pentingnya kerja tim yang solid dalam mencegah insiden infeksi nosokomial.
Selain itu, teknologi juga menjadi elemen penting dalam mendukung implementasi model ini. Aplikasi digital diterapkan untuk memfasilitasi komunikasi antar tim, mencatat langkah-langkah pencegahan yang diambil, dan mendokumentasikan hasilnya secara real-time. Teknologi ini memastikan bahwa setiap anggota tim memiliki akses informasi yang sama, sehingga tidak ada celah dalam pelaksanaan protokol.
Kolaborasi antarprofesi juga menjadi fokus utama. Dokter, perawat, dan staf pendukung dikoordinasikan untuk bekerja secara terpadu. Setiap individu memiliki tanggung jawab dan peran yang jelas, tetapi tetap mengedepankan kerja sama tim. Lingkungan kerja yang kolaboratif ini menciptakan sistem yang lebih aman dan mendorong setiap anggota tim untuk lebih waspada terhadap potensi risiko infeksi.
Hasil implementasi menunjukkan dampak yang signifikan. Rumah sakit yang menerapkan model ini mengalami penurunan tingkat infeksi nosokomial, khususnya di unit perawatan intensif dan bangsal bedah. Komunikasi tim menjadi lebih lancar, sementara kepatuhan terhadap protokol meningkat secara drastis.
“Model ini benar-benar mengubah cara tim kesehatan bekerja, dari hanya mengikuti prosedur teknis menjadi sebuah sistem yang berbasis pada budaya keselamatan pasien,” ungkap Profesor Ahsan.
Tidak hanya berdampak pada keselamatan pasien, model ini juga meningkatkan efisiensi operasional di rumah sakit. Dengan komunikasi yang lebih terstruktur dan protokol yang jelas, waktu yang dibutuhkan untuk menangani pasien berkurang, dan kualitas perawatan meningkat. Kepercayaan pasien terhadap layanan rumah sakit pun turut meningkat, mencerminkan keberhasilan model ini dalam memberikan solusi nyata terhadap tantangan infeksi nosokomial.
Profesor Dr. Ahsan, S.Kp., M.Kes. berharap penelitian ini dapat terus dikembangkan untuk mendukung transformasi pelayanan kesehatan di Indonesia. “Ini bukan sekadar inovasi teknis, tetapi upaya membangun sistem yang lebih baik dan budaya kerja yang lebih peduli terhadap keselamatan pasien,” tambahnya.
Pengukuhan Prof. Dr. Ahsan, S.Kp., M.Kes. sebagai profesor di Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Brawijaya tidak hanya menjadi pengakuan atas dedikasinya, tetapi juga dorongan bagi dunia keperawatan untuk terus berinovasi. Model ini diharapkan dapat menjadi pedoman dalam meningkatkan kualitas layanan kesehatan di Indonesia, memberikan dampak nyata bagi keselamatan pasien, dan mengurangi beban sistem kesehatan secara keseluruhan.(din)