Kajian Biologi komunikasi yang mengandalkan pada kajian neuro sains dengan menjadikan potensi otak secara empirik sebagai pusat pengendali komunikasi manusia yang terletak pada saraf korteks yang terletak dibagian atas batang otak yang berfungsi untuk berpikir, berbicara, melihat, mendengar dan mencipta. Dalam pemahaman ini diyakini bahwa kecerdasan manusia dikendalikan melalui beberapa syaraf yang ada dalam otaknya. Secara spesifik terdapat beberapa bagian otak yang mengendalikan pikiran dan perilaku manusia. Tersebutlah beberapa bagian otak dengan fungsinya masing-masing, antara lain: korteks prefrontal yang berurusan dengan proses berpikir. Korteks motor yang mengendalikan aktivitas seseorang. Lobus temporal sebagai pusat percakapan di otak. Lobus parietal yang menangani kemampuan spasial seseorang. Lobus oksipital sebagai pusat penglihatan. Serebelum atau otak kecil yang berfungsi sebagai pilot otomatis untuk penyesuaian postur dan keseimbangan. Serta ada tiga penjaga gerbang (Dryden & Vos, 2002) yaitu amigdala, hipocampus dan caudate necleus yang kesemuanya berfungsi menyebarkan pesan-pesan penting ke berbagai bagian otak. Apabila salah satu dari jaringan tersebut bermasalah atau tidak berfungsi, misal akibat sebuah benturan tertentu maka akan mempengaruhi proses seseorang dalam mengolah sebuah pesan dalam saat dia berkomunikasi dan berinteraksi dengan orang lain.
Penjelasan diatas menegaskan bahwa kajian biologi komunikasi amat sarat dalam hubungannya dengan fisiologi otak manusia. Namun kajian biologi komunikasi barat tidak mampu menjawab hal yang bersifat abstrak dan berhubungan dengan value, misal tentang dari mana “kesadaran” itu tercipta atau bagaimana membangun nilai kesadaran sehingga seseorang dapat memilih bahwa suatu peristiwa atau suatu pesan bernilai kebenaran, keburukan atau kemungkaran? . Pendekatan barat atas kajian biologi komunikasi hanya berhenti hingga pada aspek empirik dari otak dengan segala fenomena fisiknya atau hanya pada aspek fisiologi saja. Namun bagaimana seseorang mampu menghasilkan komunikasi yang berkualitas, hal itu tak mampu dijawab dengan sangat memuaskan.
Untuk itu pendekatan profetik yang lebih bersifat holistik dan spiritual mampu menjelaskannya secara utuh serta memberikan muatan nilai atas sebuah “wadah” fisik. Otak ibarat sebuah “wadah” yang dimiliki oleh siapapun saja. Kualitas sesuatu tidak hanya sekedar ditentukan oleh sebuah wadah namun terletak pada isi yang ada dalam wadah tersebut. Setiap orang memiliki otak, namun tidak semua yang memiliki otak juga memiliki kualitas dalam berkomunikasi. Sementara kualitas adalah isi atau konten komunikasi yang di olah dalam wadah otak tersebut. Sehingga kualitas seseorang sangat ditentukan oleh isi dari sebuah wadah.
Kajian biologi komunikasi profetik tidak hanya sekedar berbicara bagaimana suatu wadah itu menjadi baik namun juga bagaimana agar isi yang ada dalam wadah itu juga bagus. Dalam persoalan ini maka pendekatan profetik mengenalkan konsep Halalan Thayyiban dalam menuju proses terbentuknya otak (wadah) hingga mampu menghasilkan kualitas (isi) yang terbaik.
Sebagaimana dipahami bahwa otak juga melalui proses pembentukan menuju kesempurnaan fisiologis. Hal ini terkait dengan pemenuhan segala nutrisi yang dibutuhkan selama proses pembentukannya yaitu melalui makanan dan minuman yang dikonsumsi oleh seseorang. Sehingga tidak jarang pula seseorang yang terkena penyakit stroke yang kemudian berpengaruh pada proses dan kemampuan komunikasi seseorang salah satunya disebabkan oleh pola makan dan pola pikir. Artinya bahwa pola makan seseorang mempengaruhi terhadap pola pikir dan kualitas komunikasi yang dilakukan oleh seseorang.
Perspektif profetik menawarkan dua konsep penting dalam membangun kualitas komunikasi melalui perilaku konsumsi seseorang, yaitu: pertama, konsep halalan, yaitu kualitas isi (contwnt quality, atas suatu makanan tertentu yang terkait dengan sebuah nilai kebaikan dan antonimnya adalah haram. Kedua, konsep thayyiban yaitu berupa kualitas atas proses memperoleh dan mengolah suatu makanan, baik berupa bahan, cara memperolehnya dan proses pengolahan secara fisik. Konsep ini dibangun atas arahan teks sumber wahyu (alquran dan hadits) sebagaimana berikut :
يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّاسُ كُلُواْ مِمَّا فِي ٱلۡأَرۡضِ حَلَٰلٗا طَيِّبٗا وَلَا تَتَّبِعُواْ خُطُوَٰتِ ٱلشَّيۡطَٰنِۚ إِنَّهُۥ لَكُمۡ عَدُوّٞ مُّبِينٌ
Wahai manusia! Makanlah dari (makanan) yang halal dan baik yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan. Sungguh, setan itu musuh yang nyata bagimu. (QS. Al-Baqarah, Ayat 168)
وَكُلُواْ مِمَّا رَزَقَكُمُ ٱللَّهُ حَلَٰلٗا طَيِّبٗاۚ وَٱتَّقُواْ ٱللَّهَ ٱلَّذِيٓ أَنتُم بِهِۦ مُؤۡمِنُونَ
Dan makanlah dari apa yang telah diberikan Allah kepadamu sebagai rezeki yang halal dan baik, dan bertakwalah kepada Allah yang kamu beriman kepada-Nya. (QS. Al-Ma’idah, Ayat 88)
فَكُلُواْ مِمَّا رَزَقَكُمُ ٱللَّهُ حَلَٰلٗا طَيِّبٗا وَٱشۡكُرُواْ نِعۡمَتَ ٱللَّهِ إِن كُنتُمۡ إِيَّاهُ تَعۡبُدُونَ
Maka makanlah yang halal lagi baik dari rezeki yang telah diberikan Allah kepadamu; dan syukurilah nikmat Allah, jika kamu hanya menyembah kepada-Nya. (QS. An-Nahl, Ayat 114)
Konsep halal thayyib pada makanan memberikan arahan dan batasan tentang bagaimana seseorang mengkonsumsi makanan yang nantinya akan berpengaruh pada kualitas komunikasi seseorang melalui pola pikir dan pola tindak dalam melakukan interaksi sosial. Sebagaimana disampaikan dalam sebuah hadits nabi dari Abi Sa’id al-Khudri RA dari Nabi SAW bersabda :
مَنْ أكَلَ طَيِّبًا ، وعَمِلَ فِي سُنَّةٍ ، وَأَمِنَ الناسُ بَوَائِقَهُ ، دَخَلَ الْجَنَّةَ
Barangsiapa mengkonsumsi sesuatu yang baik, melaksanakan sunnah dan masyarakat sekitarnya tidak terganggu dengan keburukannya, maka dia masuk surga’. (HR. Tirmidzi).
Masuk surga artinya tempat kebahagiaan abadi yang akan diberikan kepada seseorang yang mengkonsumsi sesuatu yang halal atau baik sehingga menjadikan perilakunya penuh dengan ketaatan serta makanan itu pula akan melahirkan perilaku interaksi sosial yang baik, yaitu hidupnya tenang, perilakunya membuat sekitar dirinya tenang dan tidak banyak mengganggu orang lain dengan kekerasan sikap. Semua itu adalah dampak yang timbulkan dari makanan halal yang dikonsumsinya.
Demikian pula bahwa dalam pandangan profetik menegaskan bahwa makanan yang dikonsumsi seseorang akan pula menentukan kualitas komunikasi spiritualnya dengan Sang Pencipta. Senbagaimana ditegaskan dalam sebuah hadits nabi yang artinya :
Ibnu Abbas berkata bahwa Sa’ad bin Abi Waqash berkata kepada Nabi Muhammad SAW, “ Ya Rasulullah, doakanlah aku agar menjadi orang yang dikabulkan doa-doanya oleh Allah”. Apa jawaban Rasulullah, “Wahai Sa’ad perbaikilah makananmu (makanlah makanan yang halal) niscaya engkau akan menjadi orang yang selalu dikabulkan doanya. Dan demi jiwaku yang ada di tangan-Nya sungguh jika ada seseorang yang memasukkan makanan haram ke dalam perutnya, maka tidak akan diterima amalnya selama 40 hari dan seorang hamba yang dagingnya tumbuh dari hasil menipu dan riba, maka neraka lebih layak untuknya” (HR. At-Thabrani)
Demikian pula sebagaimana terungkap dalam sabda nabi lainnya,
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّ اللَّهَ طَيِّبٌ لَا يَقْبَلُ إِلَّا الطَّيِّبَ إِنَّ اللَّهَ أَمَرَ الْمُؤْمِنِينَ بِمَا أَمَرَ بِهِ الْمُرْسَلِينَ قَالَ { يَا أَيُّهَا الرُّسُلُ كُلُوا مِنْ الطَّيِّبَاتِ وَاعْمَلُوا صَالِحًا إِنِّي بِمَا تَعْمَلُونَ عَلِيمٌ } وَقَالَ { يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُلُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا رَزَقْنَاكُمْ } قَالَ ثُمَّ ذَكَرَ الرَّجُلَ يُطِيلُ السَّفَرَ أَشْعَثَ أَغْبَرَ يَمُدُّ يَدَيْهِ إِلَى السَّمَاءِ يَا رَبِّ يَا رَبِّ وَمَطْعَمُهُ حَرَامٌ وَمَلْبَسُهُ حَرَامٌ وَمَشْرَبُهُ حَرَامٌ وَغُذِّيَ بِالْحَرَامِ فَأَنَّى يُسْتَجَابُ لِذَلِكَ
Dari Abu Hurairah ia berkata; Rasulullah Saw bersabda: “Wahai sekalian manusia, sesungguhnya Allah Maha Baik dan hanya menerima yang baik, sesungguhnya Allah memerintahkan kaum mukminin seperti yang diperintahkan kepada para rasul,” Dia berfirman: “Wahai para rasul, Makanlah dari yang baik-baik dan berbuatlah kebaikan, sesungguhnya Aku mengetahui yang kalian lakukan.” Dia juga berfirman: “Hai orang-orang yang beriman, makanlah yang baik-baik dari rezeki yang Ku berikan padamu.” Lalu beliau menyebutkan tentang orang yang memperlama perjalanannya, rambutnya acak-acakan dan berdebu, ia membentangkan tangannya ke langit sam-bil berdo’a; “Ya Rabb, ya Rabbi,” sementara makanannya haram, minumannya haram, pakaiannya haram dan diliputi dengan yang haram, lalu bagaimana akan dikabulkan do’anya?” (HR. ad-Darimi).
Persoalan makanan atau apa yang dikonsumsi oleh seseorang amatlah penting dalam pandangan profetik untuk menghasilkan suatu realitas komunikasi yang berkualitas sebab dari makanan-lah seseorang menghasilkan energi yang mensuplai dan menggerakkan otak hingga menghasilkan perilaku. Mengingat pentingnya makanan dalam menentukan kualitas hidup seseorang baik fisik, emosi, sosial dan spiritual hingga Allah swt memberikan nama surat dalam alquran dengan nama Al Maidah (jamuan hidangan makanan).
Makanan haram akan mengalirkan api dalam dirinya. Artinya apa yang dihasilkan dari makanan yang haram (baik haram karena wujudnya atau haram karena prosesnya) akan menjadikan “api” memenuhi dirinya dan akan membakar dirinya, yaitu pikiran dan tindakannya. Api berarti emosi, amarah, gelisah, khawatir, dendam, penuh kebencian, egois, dan perilaku negatif lainnya. Intinya bahwa segala produksi pesan komunikasi baik verbal maupun non verbal dan seluruh tindakan komunikasi seseorang yang terwujud dalam perilaku akan cenderung negatif, buruk dan mengerikan dampak sosialnya. Semua itu disebabkan oleh faktor makanan yang dikonsumsi serta cara memprosesnya dan mendapatkannya dari cara yang tidak benar, tidak halal atau haram dan tidak baik atau tidak thayyib. Sebagaimana disebutkan dalam banyak teks sabda Nabi Muhammad saw dari sahabat Jabir bin Abdillah Radhiyallahu anhu bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
يَا كَعْبُ بْنَ عُجْرَةَ إِنَّهُ لاَ يَدْخُلُ الْجَنَّةَ لَحْمٌ نَبَتَ مِنْ سُحْتٍ
Wahai Ka’ab bin ‘Ujrah, sesungguhnya tidak akan masuk surga daging yang tumbuh dari makanan haram. (HR. Ibn Hibban dalam Shahîhnya)
Dari Ka’ab bin ‘Ujrah Radhiyallahu anhu bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
يَا كَعْبُ بْنَ عُجْرَةَ لاَ يَرْبُو لَحْمٌ نَبَتَ مِنْ سُحتٍ إلاَّ كَانَتِ النَّارُ أَولَى بِهِ
Wahai Ka’ab bin ‘Ujrah, tidaklah daging manusia tumbuh dari barang yang haram kecuali neraka lebih utama atasnya. (HR. Tirmidzi)
Pendekatan profetik tidak hanya sekedar berurusan dengan persoalan kehalalan makanan dari aspek nilai. Namun juga bagaimana cara seseorang memperoleh makanan, mengolah makanan dan bersikap atas makanan dan minuman yang dikonsumsi oleh diri seseorang, inilah yang disebut dengan konsep thayyib, juga akan sangat menentukan terhadap kualitas komunikasi diri seseorang. Sebagaimana disampaikan dalam teks sabda Nabi, terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan, yaitu: pertama, bahan baku dari makanan yang akan dikonsumsi tidak boleh dari sesuatu yang memang diharamkan oleh agama, seperti darah, daging babi, minuman khamr dan sebagainya. Sebagaimana ditegaskan dalam teks sumber wahyu
حُرِّمَتۡ عَلَيۡكُمُ ٱلۡمَيۡتَةُ وَٱلدَّمُ وَلَحۡمُ ٱلۡخِنزِيرِ وَمَآ أُهِلَّ لِغَيۡرِ ٱللَّهِ بِهِۦ وَٱلۡمُنۡخَنِقَةُ وَٱلۡمَوۡقُوذَةُ وَٱلۡمُتَرَدِّيَةُ وَٱلنَّطِيحَةُ وَمَآ أَكَلَ ٱلسَّبُعُ إِلَّا مَا ذَكَّيۡتُمۡ وَمَا ذُبِحَ عَلَى ٱلنُّصُبِ وَأَن تَسۡتَقۡسِمُواْ بِٱلۡأَزۡلَٰمِۚ ذَٰلِكُمۡ فِسۡقٌۗ ٱلۡيَوۡمَ يَئِسَ ٱلَّذِينَ كَفَرُواْ مِن دِينِكُمۡ فَلَا تَخۡشَوۡهُمۡ وَٱخۡشَوۡنِۚ ٱلۡيَوۡمَ أَكۡمَلۡتُ لَكُمۡ دِينَكُمۡ وَأَتۡمَمۡتُ عَلَيۡكُمۡ نِعۡمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ ٱلۡإِسۡلَٰمَ دِينٗاۚ فَمَنِ ٱضۡطُرَّ فِي مَخۡمَصَةٍ غَيۡرَ مُتَجَانِفٖ لِّإِثۡمٖ فَإِنَّ ٱللَّهَ غَفُورٞ رَّحِيمٞ
Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, dan (daging) hewan yang disembelih bukan atas (nama) Allah, yang tercekik, yang dipukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan yang diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu sembelih. Dan (diharamkan pula) yang disembelih untuk berhala. Dan (diharamkan pula) mengundi nasib dengan azlam (anak panah), (karena) itu suatu perbuatan fasik. Pada hari ini orang-orang kafir telah putus asa untuk (mengalahkan) agamamu, sebab itu janganlah kamu takut kepada mereka, tetapi takutlah kepada-Ku. Pada hari ini telah Aku sempurnakan agamamu untukmu, dan telah Aku cukupkan nikmat-Ku bagimu, dan telah Aku ridhai Islam sebagai agamamu. Tetapi barangsiapa terpaksa karena lapar, bukan karena ingin berbuat dosa, maka sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang. (QS. Al-Ma’idah, Ayat 3)
Dan juga sabda sabda Nabi saw :
عَنْ أَبِي الدَّرْدَاءِ قَالَ أَوْصَانِي خَلِيلِي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا تَشْرَبْ الْخَمْرَ فَإِنَّهَا مِفْتَاحُ كُلِّ شَرٍّ
Dari Abu Darda dia berkata, “Kekasihku, shallallahu ‘alaihi wasallam, memberi wasiat kepadaku: “Janganlah kamu meminum khamer, sesungguhnya khamer adalah kunci semua kejahatan.” (HR. Ibnu Majah. no.3362)
Kedua, aspek cara mengkonsumsinya juga harus dengan cara yang baik, yaitu tidak boleh berlebih-lebihan sehingga membuatnya kekenyangan karena dengan demikian akan mempengaruhi terhadap kualitas otak untuk memproses informasi. Sebagaimana sabda Nabi :
وَكُلُوا وَاشْرَبُوا وَلَا تُسْرِفُوٓا
“Makan dan minumlah, tetapi jangan berlebihan.” (QS. Al-A’raf: 31)
Syaikh Muhammad Al-Mubarakfury menjelaskan,
ﻭﺍﻣﺘﻼﺅﻩ ﻳﻔﻀﻲ ﺇﻟﻰ ﺍﻟﻔﺴﺎﺩ ﻓﻲ ﺍﻟﺪﻳﻦ ﻭﺍﻟﺪﻧﻴا
“Penuhnya perut (dengan makanan) bisa menyebabkan kerusakan agama dan dunia (tubuhnya)”
Imam Asy-Syafi’i rahimahullah menjelaskan bahaya kekenyangan karena perutnya dipenuhi makanan, beliau berkata
لان الشبع يثقل البدن، ويقسي القلب، ويزيل الفطنة، ويجلب النوم، ويضعف عن العبادة
“Kekenyangan membuat badan menjadi berat, hati menjadi keras, menghilangkan kecerdasan, membuat sering tidur dan lemah untuk beribadah.”
Ketiga, tidak boleh didapat dari cara yang tidak baik atau bahkan dalam memperolehnya dengan cara mendhalimi orang lain, misal memakan harta anak yatim. Hal ini akan mempengaruhi terhadap kualitas komunikasi seseorang akibat dampak dari cara yang haram dan dilarang oleh nabi. Sebagaimana termaktub dalam teks Firman Allah swt:
إِنَّ الَّذِينَ يَأْكُلُونَ أَمْوَالَ الْيَتَامَىٰ ظُلْمًا إِنَّمَا يَأْكُلُونَ فِي بُطُونِهِمْ نَارًا ۖوَسَيَصْلَوْنَ سَعِيرًا
Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka). (An-Nisaa’ : 10)
Untuk itu, persoalan kualitas komunikasi dan interaksi seseorang di dalam menjalani proses sosialnya tidaklah ditentukan oleh kemampuan otak dan proses yang terjadi pada otaknya semata, namun juga sangat dipengaruhi oleh makanan yang kemudian menjadi darah dan selanjutnya mensuplai kerja otak dan menghasilkan berbagai tindak komunikasi manusia, baik verbal, non verbal maupun perilaku dalam menjalankan proses interaksi sosial kemanusiaan. Hal demikian ditegaskan oleh Nabi saw berdasarkan riwayat Imam Ahmad dan riwayat lainnya bahwa Nabi saw bersabda :
أَرْبَعٌ إِذَا كُنَّ فِيكَ، فَلاَ عَلَيْكَ مَا فَاتَكَ مِنَ الدُّنْيَا: حِفْظُ أَمَانَةٍ، وَصِدْقُ حَدِيثٍ، وَحُسْنُ خَلِيقَةٍ، وَعِفَّةٌ فِى طُعْمة
Ada empat hal, bila keempatnya ada pada dirimu, maka segala urusan dunia yang luput darimu tidak akan membahayakanmu : menjaga amanah, berkata benar, akhlak baik dan menjaga urusan makanan’. (HR. Ahmad)
Kajian biologi komunikasi profetik telah memberikan warna lebih hidup dan mendalam pada kajian komunikasi karena lebih holistik dan menjawab hal-hal yang tidak bisa dijawab secara rasional empirik karena menghadirkan informasi penting yang bersumber dari teks-teks wahyu yang bersifat absolut (qath’i) sehingga lebih meyakinkan dan memuaskan pikiran serta menenangkan hati dan perasaan sebagai manusia yang berakal sehat.