Konsepsi Islam selalu mengajarkan kebaikan dan mendorong kepada ummatnya untuk berbuat baik pada, siapapun, apapun dan dimanapun. Perbuatan baik haruslah diwujudkan dalam setiap interaksi. Termasuk pula dalam berinteraksi dengan lingkungan dan alam sekitar, maka seorang muslim harus berbuat baik pula, yaitu dengan tidak membuat kerusakan.
Sifat merusak memang akan selalu hadir dalam diri manusia, sebab manusia selalu memiliki dua sisi potensi yang saling berrhadapan, potensi kebaikan dan potensi keburukan yang akan terus saling mempengaruhi dalam diri manusia. Bahkan semenjak awal penciptaan, malaikat telah memprediksi akan adanya sifat merusak ini hingga mereka melakukan protes kepada Allah atas rencana penciptaan manusia (al baqarah: 30). Namun bukan berarti dengan adanya potensi itu menjadikan manusia rendah bahkan sebaliknya itulah cara Allah swt menguji manusia, siapa diantara mereka yang terbaik dan mampu mengelola dirinya untuk berada dalam jalan kebaikan dan mampu mengalahkan dorongan hawa nafsu yang merusak.
Islam secara tegas melarang manusia berbuat kerusakan terhadap lingkungan alam sekitar, sebab kerusakan alam akan berakibat pada bencana yang menyusahkan manusia sendiri. Sebagaimana FirmanNya :
وَلاَ تُفْسِدُواْ فِي الأَرْضِ بَعْدَ إِصْلاَحِهَا وَادْعُوهُ خَوْفاً وَطَمَعاً إِنَّ رَحْمَتَ اللّهِ قَرِيبٌ مِّنَ الْمُحْسِنِين (56) وَهُوَ الَّذِي يُرْسِلُ الرِّيَاحَ بُشْراً بَيْنَ يَدَيْ رَحْمَتِهِ حَتَّى إِذَا أَقَلَّتْ سَحَاباً ثِقَالاً سُقْنَاهُ لِبَلَدٍ مَّيِّتٍ فَأَنزَلْنَا بِهِ الْمَاء فَأَخْرَجْنَا بِهِ مِن كُلِّ الثَّمَرَاتِ كَذَلِكَ نُخْرِجُ الْموْتَى لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُون (57) وَالْبَلَدُ الطَّيِّبُ يَخْرُجُ نَبَاتُهُ بِإِذْنِ رَبِّهِ وَالَّذِي خَبُثَ لاَ يَخْرُجُ إِلاَّ نَكِداً كَذَلِكَ نُصَرِّفُ الآيَاتِ لِقَوْمٍ يَشْكُرُون (58)
“ Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya dan Berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut (tidak akan diterima) dan harapan (akan dikabulkan). Sesungguhnya rahmat Allah Amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik. Dan Dialah yang meniupkan angin sebagai pembawa berita gembira sebelum kedatangan rahmat-Nya (hujan); hingga apabila angin itu telah membawa awan mendung, Kami halau ke suatu daerah yang tandus, lalu Kami turunkan hujan di daerah itu, Maka Kami keluarkan dengan sebab hujan itu pelbagai macam buah-buahan. Seperti itulah Kami membangkitkan orang-orang yang telah mati, Mudah-mudahan kamu mengambil pelajaran. Dan tanah yang baik, tanaman-tanamannya tumbuh subur dengan seizin Allah; dan tanah yang tidak subur, tanaman-tanamannya hanya tumbuh merana. Demikianlah Kami mengulangi tanda-tanda kebesaran (Kami) bagi orang-orang yang bersyukur.” (QS Al A’raf 56-58)
Kerusakan alam yang berakibat pada bencana alam sejatinya adalah akibat perilaku manusia sendiri. Sikap yang tidak bertanggungjawab, tidak amanah, tidak peduli atas alam sekitar, seperti menebang pohon sembarang, mencemari lingkungan, sehingga mengganggu kualitas ekosistem, merusak kualitas air, udara, lingkungan, mengganggu kehidupan flora dan fauna (hewan), maka semua hal itu dianggap sebuah tindakan kejahatan menurut perspektif Islam. Sebagaimana Firman Allah swt ,
۞وَإِذِ ٱسۡتَسۡقَىٰ مُوسَىٰ لِقَوۡمِهِۦ فَقُلۡنَا ٱضۡرِب بِّعَصَاكَ ٱلۡحَجَرَۖ فَٱنفَجَرَتۡ مِنۡهُ ٱثۡنَتَا عَشۡرَةَ عَيۡنٗاۖ قَدۡ عَلِمَ كُلُّ أُنَاسٖ مَّشۡرَبَهُمۡۖ كُلُواْ وَٱشۡرَبُواْ مِن رِّزۡقِ ٱللَّهِ وَلَا تَعۡثَوۡاْ فِي ٱلۡأَرۡضِ مُفۡسِدِينَ
Dan (ingatlah) ketika Musa memohon air untuk kaumnya, lalu Kami berfirman, “Pukullah batu itu dengan tongkatmu!” Maka memancarlah daripadanya dua belas mata air. Setiap suku telah mengetahui tempat minumnya (masing-masing). Makan dan minumlah dari rezeki (yang diberikan) Allah, dan janganlah kamu melakukan kejahatan di bumi dengan berbuat kerusakan. (QS. Al-Baqarah, Ayat 60)
Semua tindakan merusak itu dikomunikasikan secara gamblang oleh Islam melalui sumber wahyu (alquran) dan pernyataan-pernyataan implisit dari Rasulullah saw dalam melakukan dialektika realitas sosial. Sebagaimana sabdanya:
من قطع سدرة صوب الله رأسه في النار. رواه أبو داود وقال هذا الحديث مختصر يعني : من قطع سدرة في فلاة يستظل بها ابن السبيل والبهائم غشما وظلما بغير حق يكون له فيها ; صوب الله رأسه في النار
“Barang siapa menebang pohon bidara maka akan dituangkan di atas kepalanya air yang panas.” Hadis ini diriwayatkan oleh Abu Dawud, ini hadis ringkas dari hadis lain yakni, “Barang siapa menebang pohon bidara yang menaungi ibnu sabil, hewan ternak dengan zalim dan cara tidak baik, maka Allah akan menuangkan air panas pada kepalanya di neraka.(HR. Abu Dawud)
Sekalipun secara redaksional larangan dalam hadis tersebut mengkhususkan pada pohon sidr atau bidara. Tapi prinsip moral yang terkandung di dalamnya bermakna general dan universal.Tidak hanya mencakup pohon sidr dan dalam konteks geografis di tanah Mekkah atau Madinah saja. Namun, prinsip larangan ini berlaku di mana saja, dan pohon apa saja. Selama pohon itu sangat dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar dan bermanfaat bagi keberlangsungan ekosistem baik flora (tumbuhan) maupun kehidupan fauna (hewan) lainnya.
Pelarangan dengan menyertakan sanksi berat menunjukkan kepedulian dan perhatian serius dari Islam atas pentingnya menjaga kualitas lingkungan yang nyaman bagi keberlangsungan makhluk hidup lainnya. Untuk itu cara pandang dan sikap hidup seseorang atas alam sekitar sangatlah terkait dengan persoalan keimanan seseorang. Islam menganjurkan bahwa seseorang yang benar-benar beriman kepada Allah tentulah akan memiliki kepedulian dan tanggungjawab atas keberlangsungan kehidupan lingkungan alam sekitar yang nyaman dan baik untuk ditinggali. Sebab konsepsi keimanan dalam islam meliputi hubungan antara al kaun ( alam semesta), al hayah (realitas kehidupan) dan al insan (hubungan kemanusiaan). Sehingga seorang mukmin yang bertaqwa tidak boleh melakukan tindakan kemungkaran yang dapat merusak tatanan harmonis alam sekitar. Hal demikian terungkap dalam Firman Allah swt berikut :
وَمَا خَلَقْنَا السَّمَاءَ وَالأرْضَ وَمَا بَيْنَهُمَا بَاطِلا ذَلِكَ ظَنُّ الَّذِينَ كَفَرُوا فَوَيْلٌ لِلَّذِينَ كَفَرُوا مِنَ النَّارِ (27) أَمْ نَجْعَلُ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ كَالْمُفْسِدِينَ فِي الأرْضِ أَمْ نَجْعَلُ الْمُتَّقِينَ كَالْفُجَّارِ (28)
”… dan Kami tidak menciptakan tangit dan bumi dan apa yang ada antara keduanya tanpa hikmah. yang demikian itu adalah anggapan orang-orang kafir, Maka celakalah orang-orang kafir itu karena mereka akan masuk neraka. Patutkah Kami menganggap orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh sama dengan orang-orang yang berbuat kerusakan di muka bumi? Patutkah (pula) Kami menganggap orang- orang yang bertakwa sama dengan orang-orang yang berbuat maksiat?” ( QS. Shad 27-28 )
Ketegasan pelarang atas sikap yang merusak disebabkan tindakan merusak alam sekitar itu berdampak menyeluruh, artinya bahwa akibat kerusakan tersebut tidaklah semata berdampak buruk pada individu pelaku melainkan pada kehidupan sosial yang lebih luas. Sehingga apabila manusia mengesampingkan prinsip-prinsip nilai kebaikan ini maka tentu akan melahirkan bencana yang dampaknya akan dirasakan oleh semua orang (sekalipun mereka bukan pelaku pengrusakan). Sebagaimana Firman Allah swt:
ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ لِيُذِيقَهُمْ بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ (41) قُلْ سِيرُوا فِي الْأَرْضِ فَانْظُرُوا كَيْفَ كَانَ عَاقِبَةُ الَّذِينَ مِنْ قَبْلُ ۚ كَانَ أَكْثَرُهُمْ مُشْرِكِينَ (42)
“Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar). Katakanlah: “Adakanlah perjalanan di muka bumi dan perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang terdahulu. kebanyakan dari mereka itu adalah orang-orang yang mempersekutukan (Allah).” (QS. Ar Rum 41-42)
Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan dalam tafsirnya: “Makna firman Allâh (yang artinya) “Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia,” yaitu kekurangan buah-buahan dan tanam-tanaman disebabkan kemaksiatan. Hal ini bermakna bahwa tindakan tidak bertanggungjawab atas lingkungan alam sekitar dikategorikan sebagai perbuatan maksiat.
Hal ini menandakan bahwa perbuatan maksiat berupa tindakan menyelisihi atau bertentangan dengan aturan Allah swt sejatinya hanya akan mengundang hadirnya bencana ditengah-tengah manusia. Karena barangsiapa berbuat maksiat kepada Allah di muka bumi, berarti ia telah berbuat kerusakan padanya. Karena kebaikan bumi dan langit adalah dengan ketaatan. Sehingga perbuatan dosa dan maksiat yang dilakukan oleh manusia di atas bumi sesungguhnya meresonansikan keburukan pada bumi yang dipijaknya. Sehingga bumi merespon dengan caranya yaitu berupa berbagai bencana alam seperti banjir, gempa, tanah longsor, tsunami, kebakaran hutan, rusaknya ozon hingga menyebabkan global warming (pemanasan global) dengan segala dampaknya bagi kehidupan manusia (sosial kemasyarakatan). Allah swt berfirman:
قُلْ هُوَ الْقَادِرُ عَلَىٰ أَن يَبْعَثَ عَلَيْكُمْ عَذَابًا مِّن فَوْقِكُمْ أَوْ مِن تَحْتِ أَرْجُلِكُمْ أَوْ يَلْبِسَكُمْ شِيَعًا وَيُذِيقَ بَعْضَكُم بَأْسَ بَعْضٍ
“Katakanlah (Wahai Muhammad) : “Dia (Allah) Maha Berkuasa untuk mengirimkan adzab kepada kalian, dari atas kalian atau dari bawah kaki kalian, atau Dia mencampurkan kamu dalam golongan-golongan (yang saling bertentangan), dan merasakan kepada sebagian kalian keganasan sebahagian yang lain”. (QS. Al An’am : 65)
Teologi bencana menurut perspektif Islam bahwa bencana tidaklah hadir dengan sendirinya sebagai sebuah realitas yang terpisah dengan keyakinan atau keimanan namun bencana terkait erat dengan persoalan teologis yaitu hubungan antara perilaku manusia dengan aturan ketuhanan. Bahwa siapapun yang melakukan perbuatan dosa maka bumi tempat dia hidup akan melakukan penolakan karena sejatinya bumi berada dalam ketaatan kepada sang pencipta. Sehingga jika manusia melakukan banyak perbuatan dosa dan pelanggaran atas ketaatan maka bumi akan menghilangkan keberkahannya dan menggantikannya dengan berbagai permasalahan baik lingkungan maupun sosial ekonomi dan politik dari kehidupan manusia yang ada di atasnya. Allah mengingatkan dalam FirmanNya :
مَّا أَصَابَكَ مِنْ حَسَنَةٍ فَمِنَ اللَّهِ ۖ وَمَا أَصَابَكَ مِن سَيِّئَةٍ فَمِن نَّفْسِكَ
“Nikmat apapun yang kamu terima, maka itu dari Allah, dan bencana apa saja yang menimpamu, maka itu karena (kesalahan) dirimu sendiri”. (QS.an Nisaa : 79)
Sebagaimana kisah-kisah kesudahan dari umat-umat terdahulu, yang oleh Allah swt dihancurkan negerinya sebab perilaku durhaka yang dilakukan oleh mereka yang hidup di atasnya sehingga oleh Allah dikirim bencana sebab kemaksiatannya itu. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
أَلَمۡ يَأۡتِهِمۡ نَبَأُ ٱلَّذِينَ مِن قَبۡلِهِمۡ قَوۡمِ نُوحٖ وَعَادٖ وَثَمُودَ وَقَوۡمِ إِبۡرَٰهِيمَ وَأَصۡحَٰبِ مَدۡيَنَ وَٱلۡمُؤۡتَفِكَٰتِۚ أَتَتۡهُمۡ رُسُلُهُم بِٱلۡبَيِّنَٰتِۖ فَمَا كَانَ ٱللَّهُ لِيَظۡلِمَهُمۡ وَلَٰكِن كَانُوٓاْ أَنفُسَهُمۡ يَظۡلِمُونَ
Apakah tidak sampai kepada mereka berita (tentang) orang-orang yang sebelum mereka, (yaitu) kaum Nuh, ‘Ad, ¤amµd, kaum Ibrahim, penduduk Madyan, dan (penduduk) negeri-negeri yang telah musnah? Telah datang kepada mereka rasul-rasul dengan membawa bukti-bukti yang nyata; Allah tidak menzhalimi mereka, tetapi merekalah yang menzhalimi diri mereka sendiri. (QS. At-Taubah, Ayat 70).
Bencana alam yang menimpa ummat manusia disebabkan perilaku dhalim, kedurhakaan dan dosa yang mereka lakukan sebab tidak mengindahkan aturan Allah swt. Banyak dari teks-teks sumber wahyu yang menerangkan hal demikian sebagai faktor utama timbulnya bencana alam. Sebagaimana ditegaskan dalam Firman Allah berikut :
فَكُلًّا أَخَذْنَا بِذَنبِهِ ۖ فَمِنْهُم مَّنْ أَرْسَلْنَا عَلَيْهِ حَاصِبًا وَمِنْهُم مَّنْ أَخَذَتْهُ الصَّيْحَةُ وَمِنْهُم مَّنْ خَسَفْنَا بِهِ الْأَرْضَ وَمِنْهُم مَّنْ أَغْرَقْنَا ۚ وَمَا كَانَ اللَّهُ لِيَظْلِمَهُمْ وَلَٰكِن كَانُوا أَنفُسَهُمْ يَظْلِمُونَ
“Maka masing-masing (mereka itu) Kami siksa disebabkan dosanya, maka di antara mereka ada yang Kami timpakan kepadanya hujan batu kerikil, dan di antara mereka ada yang ditimpa suara keras yang mengguntur (halilintar), dan di antara mereka ada yang Kami benamkan ke dalam bumi, dan di antara mereka ada yang Kami tenggelamkan, dan Allah sekali-kali tidak hendak menganiaya mereka, akan tetapi merekalah yang menganiaya diri mereka sendiri”. (QS. al-Ankabut : 40)
فَبَدَّلَ ٱلَّذِينَ ظَلَمُواْ قَوۡلًا غَيۡرَ ٱلَّذِي قِيلَ لَهُمۡ فَأَنزَلۡنَا عَلَى ٱلَّذِينَ ظَلَمُواْ رِجۡزٗا مِّنَ ٱلسَّمَآءِ بِمَا كَانُواْ يَفۡسُقُونَ
Lalu orang-orang yang zhalim mengganti perintah dengan (perintah lain) yang tidak diperintahkan kepada mereka. Maka Kami turunkan malapetaka dari langit kepada orang-orang yang zhalim itu, karena mereka (selalu) berbuat fasik. (QS. Al-Baqarah, Ayat 59)
Lalu, bagaimana harusnya sikap seorang muslim terhadap lingkungan alam sekitar ?. Islam memberikan arahan antara lain yaitu : pertama, hadirkan sikap kepedulian pada alam sekitar, jagalah kualitas lingkungan dengan cara salah satunya membudayakan menanam pohon untuk keberlangsungan hidup ekosistem. Sebagaimana sabda Nabi:
مَا مِنْ مُسْلِمٍ غَرَسَ غَرْسًا فَأَكَلَ مِنْهُ إِنْسَانٌ أَوْ دَابَّةٌ إِلَّا كَانَ لَهُ بِهِ صَدَقَةٌ
Muslim mana saja yang menanam sebuah pohon lalu ada orang atau hewan yang memakan dari pohon tersebut, niscaya akan dituliskan baginya sebagai pahala sedekah. (HR. Bukhari).
سَبْعٌ يَجْرِي لِلعَبْدِ أَجْرُهُنَّ وَ هُوَ فِي قَبْرِهِ بَعْدَ مَوْتِهِ : مَنْ عَلَّمَ عِلْمًا أَوْ أَجْرَى نَهْرًا أَوْ حَفَرَ بِئْرًا أَوْ غَرَسَ نَخْلاً أَوْ بَنَى مَسْجِدًا أَوْ وَرَثَ مُصْحَفًا أَوْ تَرَكَ وَلَدًا يَسْتَغْفِرُ لََهُ بَعْدَ مَوْتِهِ .
Tujuh perkara yang pahalanya akan terus mengalir bagi seorang hamba sesudah ia mati dan berada dalam kuburnya. (Tujuh itu adalah) orang yang mengajarkan ilmu, mengalirkan air, menggali sumur, menanam pohon kurma, membangun masjid, mewariskan mushaf atau meninggalkan anak yang memohonkan ampunan untuknya sesudah ia mati. (HR. Bukhari)
Kedua, berdoa, artinya pengungkapan diri secara spiritual untuk mengembalikan segala peristiwa itu dalam bingkai keimanan kepada Allah swt, seraya menyatakan kelemahan diri dan memohon ampunan dari dosa yang telah dilakukan. Doa adalah ungkapan diri atas ketidakmampuan diri dalam menghadapi realitas alam sebab manusia tidak mampu mengendalikannya serta ungkapan kesadaran diri (self awareness) bahwa dirinya telah banyak berbuat dosa sehingga berharap agar jangan sampai kejadian alam tersebut menjadi bencana bagi dirinya. Sebagaimana beberapa doa yang diajarkan oleh Rasulullah saw.
a. Doa ketika terjadi gerhana :
فَإِذَا رَأَيْتُمْ شَيْئًا مِنْ ذَلِكَ فَافْزَعُوا إِلَى ذِكْرِهِ وَدُعَائِهِ وَاسْتِغْفَارِهِ
“Jika kalian melihat hal itu, maka segeralah berdzikir kepada Allah Azza wa Jalla, berdo’a dan beristighfar kepadaNya
b. Doa ketika terjadi hujan lebat :
إِنَّ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- كَانَ إِذَا رَأَى الْمَطَرَ قَالَ اللَّهُمَّ صَيِّباً نَافِعاً
“Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam ketika melihat turunnya hujan, beliau mengucapkan, ”Allahumma shoyyiban nafi’an” (Ya Allah turunkanlah pada kami hujan yang bermanfaat)”. (HR. Bukhari no. 1032)
c. Doa ketika terjadi angin kencang (puting beliung atau tornado) :
اللهُمَّ إِنَّا نَسْأَلُكَ مِنْ خَيْرِ هَذِهِ الرِّيحِ، وَمِنْ خَيْرِ مَا فِيهَا، وَمِنْ خَيْرِ مَا أُرْسِلَتْ بِهِ، وَنَعُوذُ بِكَ مِنْ شَرِّ هَذِهِ الرِّيحِ، وَمِنْ شَرِّ مَا فِيهَا، وَمِنْ شَرِّ مَا أُرْسِلَتْ بِهِ
“Ya Allah, sesungguhnya kami memohon kepada-Mu kebaikan angin ini, kebaikan yang terdapat dalam angin ini dan kebaikan dari tujuan dikirimnya angin ini. Dan sesungguhnya kami berlindung kepada-Mu dari keburukan angin ini, keburukan yang terdapat dalam angin ini dan keburukan dari tujuan dikirimnya angin ini.” (HR. Ahmad no. 21138)
d. Doa ketika melihat atau mendengar petir,
اّللَّهُمَّ لَا تَقْتُلْنَا بِغَضَبِكَ وَلاَ تُهْلِكْنَا بِعَذَابِكَ وَعَافِنَا قَبْلَ ذَلِكَ
Allahumma la taqtulna bi ghadhobika wala tuhlikna bi a’zabika wa a’fina qobla zalika (HR. Tirmidzi)
Ketiga, melakukan perbaikan diri dengan bertaubat dan berbenah diri agar peristiwa bencana itu tidak terulang kembali terjadi pada masyarakat di kemudian hari.
Demikianlah Islam mengajarkan kepada ummatnya tentang bagaimana seseorang dalam berkomunikasi dengan lingkungan alam sekitar serta bagaimana pula disaat terjadi bencana dan apa yang harus dilalukannya saat dan pasca bencana. Komunikasi kebencanaan ini yang diabadikan dalam teks-teks sumber wahyu agar menjadi pembelajaran bagi generasi yang akan datang agar lebih mampu mencerdasi setiap peristiwa bahwa alam sekitar itu hidup, berinteraksi serta berkomunikasi dengan manusia melalui caranya yang unik.