Islam sebagai sebuah agama yang sangat sempurna (kaamil). Ajaran-ajarannya meliputi seluruh aspek kehidupan manusia dengan segala tindakan dan proses interaksinya, yang mengatur sejak sebelum manusia dilahirkan, saat menjalani kehidupan di dunia hingga setelah kematiannya. Semua proses dan pola interaksi ini merupakan konsekwensi dari konsepsi keimanan Islam yang agung.
Salah satu dari keunggulan ajaran Islam adalah perhatian Islam terhadap pengelolaan harta yang ditinggalkan oleh seseorang setelah kematiannya, yaitu pembagian warisan, dan ilmu yang membahas tentang itu disebut dengan mawarits, yaitu konsepsi Islam dalam mengatur harta yang ditinggalkan oleh seorang yang meninggal serta siapa yang berhak untuk menerima distribusi dengan besarannya. Islam memahami bahwa kematian bukanlah akhir dalam perjalanan manusia dan berakhir pula proses interaksinya. Kematian dipahami hanyalah sebagian fase yang akan dilalui untuk melanjutkan fase selanjutnya. Serta adanya sebuah proses interaksi bagi keluarga dan kerabat atas kematian seseorang. sebagai konsekwensi keimanan dan ajaran Islam.
Pengaturan pola hubungan interaksi manajemen harta kekayaan pasca kematian seseorang. Sebagaimana dalam sebuah riwayat dari ibnu mardawiyah, melalui jalur ibnu Harasah, dari Sufyan atsTausry, dari Abdullah bin Muhammad bin Aqil, dari Jabir berkata, “telah datang Ummu Kujjah kepada Rasulullah saw. Kemudian dia menyampaikan suatu persoalan. “Rasulullah, sesungguhnya saya memiliki dua orang anak (perempuan) dan bapaknya barusan meninggal sementara dia tidak meninggalkan harta apapun”. Maka turunlah Firman Allah sebagaimana dituliskan oleh Imam Ibnu Katsir dalam kitab tafsirnya, yaitu QS. An Nisa: 7 :
لِّلرِّجَالِ نَصِيبٞ مِّمَّا تَرَكَ ٱلۡوَٰلِدَانِ وَٱلۡأَقۡرَبُونَ وَلِلنِّسَآءِ نَصِيبٞ مِّمَّا تَرَكَ ٱلۡوَٰلِدَانِ وَٱلۡأَقۡرَبُونَ مِمَّا قَلَّ مِنۡهُ أَوۡ كَثُرَۚ نَصِيبٗا مَّفۡرُوضٗا
Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan kedua orang tua dan kerabatnya, dan bagi perempuan ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan kedua orang tua dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bagian yang telah ditetapkan.
Bahkan sebelum melakukan pembagian warisan ada beberapa hal proses interaksi yang menjadi kewajiban bagi para ahli warits untuk menyelesaikannya terlebih dahulu, hal ini terkait dengan berbagai hal terkait hubungan seorang yang telah meninggal dengan orang lain sebelumnya. Sebab dalam Islam, interaksi antar manusia tidaklah semata sebuah proses hubungan, melainkan bahwa setiap proses interaksi manusia memiliki konsekwensi transendetal yaitu berupa pahala dan dosa. Bahkan seorang dianggap merugi kelak manakala hubungannya dengan sesama manusia selama di dunia berlangsung secara negatif, semisal menyakiti, berbuat dhalim, dan kemungkaran lainnya yang dianggap sebagai sebuah hutang dan harus dibayar kelak diakhirat.
Beberapa hal yang harus diselesaikan terlebih dahulu sebelum membagi harta waris adalah Pertama, proses pemakaman. Hal ini terkait dengan pemaafan dan persaksian dari para kerabat dan orang lain serta biaya pemakaman dari orang yang meninggal. Kedua, penyelesaian wasiat atau pesan yang ditinggalkan oleh yang meninggal terhadap ahli warisnya. Terakhir, penyelesaian tanggungan hutang piutang yang ditinggalkan, bahkan dipahami bahwa arwah belum bisa diterima sebelum menyelesaikan hutangnya. Sebagaimana diriwayatkan oleh dari Abu Hurairah r.a, Rasulullah saw bersabda,
نَفْسُ المُؤْمِن مُعَلَّقَةٌ بِدَينِهِ حَتَّى يُقضَى عَنهُ
“Jiwa seorang mukmin tergantung karena utangnya, sampai (utang itu) dilunasi.” (HR. Turmudzi 1078)
Fenomena hutang sebenarnya adalah interaksi manusia tentang harta dalam hubungannya dengan orang lain khususnya terkait pemenuhan kebutuhan diri seseorang dan di dalamnya terdapat pola hubungan untung rugi (cost and benefit) dalam interaksi antar manusia.
Persoalan manajemen harta waris atau mawarits yang diatur dalam Islam, sebenarnya adalah cara Islam untuk memastikan bahwa pola hubungan atau interaksi manusia haruslah tetap berada dalam suasana yang positif dan harmonis sehingga diantara mereka (yang meninggal dan yang ditinggal) tidak memiliki beban pertanggungjawaban.
Ekonomi komunikasi dalam perspektif Islam juga berada dalam ranah domestik keluarga yang mengatur tentang harta pasca kematian yang diperuntukkan bagi anggota keluarga yang ditinggalkan. Pengaturan hal ini dimaksudkan untuk tetap terjaga kualitas komunikasi keluarga yang harmonis, yaitu antara lain : pertama, menghindarkan terjadinya konflik dan persengketaan dalam keluarga karena yang disebabkan oleh masalah pembagian harta warisan. Dalam berbagai realitas, tidak dipungkiri bahwa salah satu konflik yang terjadi dalam keluarga adalah adanya pembagian yang dianggap tidak memenuhi unsur keadilan oleh anggota keluarga lainnya.
Kedua, aturan tentang harta waris dimaksudkan guna mengatur harta milik yang meninggal agar keluarga yang ditinggalkan terhindar dari fitnah. Karena salah satu penyebab timbulnya fitnah dalam keluarha adalah pembagian harta warisan yang tidak benar. Islam mengatur agar harta dibagi berdasarkan aturan yang telah ditetapkan secara rinci dalam Alquran. Suatu hikmah atau konsekwensi dari pengaturan hukum secara rinci (tafsili) dalam al quran adalah bahwa aturan tersebut akan berdampak buruk bagi ummat mnnusia apabila ditinggalkan atau tidak diindahkan oleh manusia. Dalam hal ini berupa fitnah yang dapat berujung pada hancurnya bangunan keluarga besar.
Ketiga bahwa salah satu dari kaidah syara’ atas penetapan hukum atau aturan islam adalah bahwa setiap aturan yang datangnya dari Allah swt apabila diterapkan dalam kehidupan maka hal itu pasti akan berdampak positif bagi manusia dan mampu mendamaikan serta menenangkan. Sebaliknya adalah apabila hal tersebut ditinggalkan maka pasti akan melahirkan kedhaliman dan kehancuran bagi manusia. Pembagian harta warisan jika dibagi dengan mendasarkan pada ketetapan Allah pasti akan membawa pada kebaikan, kebahagiaan dan ketenangan yaitu berupa akan semakin eratnya hubungan kekeluargaan karena seseorang merasa diperlakukan secara adil sebab mendasarkan kepada ketentuan aturan dari Sang Pencipta Kehidupan Yang Maha Netral, sehingga kemudian terwujudlah keadilan dalam masyarakat. Inilah modal utama dalam mewujudkan keluarga dan kehidupan sosial berbangsa yang berkah thayyibah, yaitu ukhuwah.
Keempat, pengaturan hukum warisan juga mampu menjauhkan diri manusia terlebih para anggota keluarga dari sifat rakus dan serakah. Amatlah buruk suatu tindakan dari salah satu anggota keluarga manakala bersikap rakus dan serakah atas harta yang ditinggalkan oleh orang yang meninggal, padahal kemungkinan bahwa si pemilik harta (di alam sana) tidak rela dengan pertikaian dan keserakahan yang ditunjukkan oleh para anggota keluarganya dan hal demikian akan memberatkan langkahnya dalam menuju keridhaan Allah swt.
Kelima, dengan adanya penetapan aturan waris tersebut maka sejatinya, Islam amatlah peduli dan penuh perhatian pada orang-orang yang terkena musibah karena ditinggal oleh anggota keluarganya.
Dengan adanya pengaturan harta waris ini, setidaknya akan menjamin masa depan keluarga yang ditinggalkan tidak berada dalam keadaan terlantar dan lemah. Serta menjadikan harta yang ditinggalkan bernilai berkah sebab mengikuti aturan dari Tuhan. Sehingga melahirkan realitas kehidupan yang tenang, damai dan bahagia sejahtera.
Kemudian terkait dengan bagaimana Islam mengatur harta waris tersebut. Maka terdapat sebuah riwayat tentang bagaimana membagi harta warisan. Dari sahabat Jabir bin Abdullah Radhiyallahu ‘anhu berkata, datang isteri Sa’ad bin Ar-Rabi’ kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan membawa dua putri Sa’ad. Dia (isteri Sa’ad) bertanya :”Wahai Rasulullah, ini dua putri Sa’ad bin Ar-Rabi. Ayahnya telah meninggal dunia ikut perang bersamamu pada waktu perang Uhud, sedangkan pamannya mengambil semua hartanya, dan tidak sedikit pun menyisakan untuk dua putrinya. Keduanya belum menikah….”. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Allahlah yang akan memutuskan perkara ini”. Lalu turunlah Turunlah Firman Allah ayat waris Surat An Nisa: 11, yang berbunyi :
يُوصِيكُمُ ٱللَّهُ فِيٓ أَوۡلَٰدِكُمۡۖ لِلذَّكَرِ مِثۡلُ حَظِّ ٱلۡأُنثَيَيۡنِۚ فَإِن كُنَّ نِسَآءٗ فَوۡقَ ٱثۡنَتَيۡنِ فَلَهُنَّ ثُلُثَا مَا تَرَكَۖ وَإِن كَانَتۡ وَٰحِدَةٗ فَلَهَا ٱلنِّصۡفُۚ وَلِأَبَوَيۡهِ لِكُلِّ وَٰحِدٖ مِّنۡهُمَا ٱلسُّدُسُ مِمَّا تَرَكَ إِن كَانَ لَهُۥ وَلَدٞۚ فَإِن لَّمۡ يَكُن لَّهُۥ وَلَدٞ وَوَرِثَهُۥٓ أَبَوَاهُ فَلِأُمِّهِ ٱلثُّلُثُۚ فَإِن كَانَ لَهُۥٓ إِخۡوَةٞ فَلِأُمِّهِ ٱلسُّدُسُۚ مِنۢ بَعۡدِ وَصِيَّةٖ يُوصِي بِهَآ أَوۡ دَيۡنٍۗ ءَابَآؤُكُمۡ وَأَبۡنَآؤُكُمۡ لَا تَدۡرُونَ أَيُّهُمۡ أَقۡرَبُ لَكُمۡ نَفۡعٗاۚ فَرِيضَةٗ مِّنَ ٱللَّهِۗ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ عَلِيمًا حَكِيمٗا
Allah mensyariatkan (mewajibkan) kepadamu tentang (pembagian warisan untuk) anak-anakmu, (yaitu) bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua orang anak perempuan. Dan jika anak itu semuanya perempuan yang jumlahnya lebih dari dua, maka bagian mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan. Jika dia (anak perempuan) itu seorang saja, maka dia memperoleh setengah (harta yang ditinggalkan). Dan untuk kedua ibu-bapak, bagian masing-masing seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika dia (yang meninggal) mempunyai anak. Jika dia (yang meninggal) tidak mempunyai anak dan dia diwarisi oleh kedua ibu-bapaknya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga. Jika dia (yang meninggal) mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) setelah (dipenuhi) wasiat yang dibuatnya atau (dan setelah dibayar) hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih banyak manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan Allah. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Mahabijaksana. (QS. An-Nisa’ : 11)
Selanjutnya Allah juga menegaskan tentang besaran pembagian harta waris dalam ayat selanjutnya :
۞وَلَكُمۡ نِصۡفُ مَا تَرَكَ أَزۡوَٰجُكُمۡ إِن لَّمۡ يَكُن لَّهُنَّ وَلَدٞۚ فَإِن كَانَ لَهُنَّ وَلَدٞ فَلَكُمُ ٱلرُّبُعُ مِمَّا تَرَكۡنَۚ مِنۢ بَعۡدِ وَصِيَّةٖ يُوصِينَ بِهَآ أَوۡ دَيۡنٖۚ وَلَهُنَّ ٱلرُّبُعُ مِمَّا تَرَكۡتُمۡ إِن لَّمۡ يَكُن لَّكُمۡ وَلَدٞۚ فَإِن كَانَ لَكُمۡ وَلَدٞ فَلَهُنَّ ٱلثُّمُنُ مِمَّا تَرَكۡتُمۚ مِّنۢ بَعۡدِ وَصِيَّةٖ تُوصُونَ بِهَآ أَوۡ دَيۡنٖۗ وَإِن كَانَ رَجُلٞ يُورَثُ كَلَٰلَةً أَوِ ٱمۡرَأَةٞ وَلَهُۥٓ أَخٌ أَوۡ أُخۡتٞ فَلِكُلِّ وَٰحِدٖ مِّنۡهُمَا ٱلسُّدُسُۚ فَإِن كَانُوٓاْ أَكۡثَرَ مِن ذَٰلِكَ فَهُمۡ شُرَكَآءُ فِي ٱلثُّلُثِۚ مِنۢ بَعۡدِ وَصِيَّةٖ يُوصَىٰ بِهَآ أَوۡ دَيۡنٍ غَيۡرَ مُضَآرّٖۚ وَصِيَّةٗ مِّنَ ٱللَّهِۗ وَٱللَّهُ عَلِيمٌ حَلِيمٞ
Dan bagianmu (suami-suami) adalah seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh istri-istrimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika mereka (istri-istrimu) itu mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya setelah (dipenuhi) wasiat yang mereka buat atau (dan setelah dibayar) hutangnya. Para istri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak, maka para istri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan (setelah dipenuhi) wasiat yang kamu buat atau (dan setelah dibayar) hutang-hutangmu. Jika seseorang meninggal, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu) atau seorang saudara perempuan (seibu), maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. Tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersama-sama dalam bagian yang sepertiga itu, setelah (dipenuhi wasiat) yang dibuatnya atau (dan setelah dibayar) hutangnya dengan tidak menyusahkan (kepada ahli waris). Demikianlah ketentuan Allah. Allah Maha Mengetahui, Maha Penyantun. (QS. An-Nisa’ : 12)
Inilah keindahan dan kesempurnaan Islam dalam mengatur pola hubungan manusia dalam kehidupan di dunia ini (profan) untuk mendapatkan kebahagiaan dalam kehidupan keabadian secara transenden di akhirat kelak. Interaksi kemanusiaan adalah bentuk produksi komunikasi manusia dalam mewujudkan realitas kehidupan yang dikehendaki, dan Islam menghendaki bahwa kehidupan manusia berada dalam keharmonisan dan kebahagiaan, hari ini dan masa depan. Inilah Islam yang agung.