(Terobosan Terhadap Kemustahilan)
Oleh : Setyo Widagdo – Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Brawijaya – [email protected]
Rusia melalui pernyataan Menteri Luar Negerinya mengusulkan penambahan anggota tetap Dewan Keamanan PBB (DK PBB), yang diusulkan adalah India, Afrika Selatan dan Brazil (Kompas, 22 Oktober 2024).
Usulan ini sebenarnya bukan barang baru, usulan tentang reformasi DK PBB sudah lama sekali, tapi tak pernah berhasil. Bukan hanya usulan penambahan anggota tetap, tetapi ada pilihan lain yang pernah diusulkan, yaitu dihapuskannya hak veto atau dibatasinya penggunaan hak veto.
Usulan-usulan tersebut serta merta ditolak oleh anggota tetap, yang masih menganggap bahwa hak sejarah tentang pemberian hak veto kepada mereka masih relevan.
Kini Rusia sendiri sebagai anggota tetap yang membuka peluang penambahan anggota tetap DK PBB. Jika ini bergulir terus dan mendapatkan respon dari masyarakat internasional, maka menjadi harapan bagi terwujudnya konfigurasi dan keseimbangan kekuatan global. Namun sayangnya, negara-negara yang diusulkan Rusia itu masing-masing memiliki resistensi. Disamping sangat dekat secara politis dng Rusia, juga resisten dengan negara lain, yang tentu saja potensi untuk ditolak.
Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa ( DK-PBB) adalah organ utama PBB yang memiliki peran krusial dalam menjaga perdamaian dan keamanan internasional. Namun, komposisi anggotanya, terutama lima anggota tetap ( Amerika Serikat, Rusia, Tiongkok, Prancis, dan Inggris) , telah menuai kritik selama beberapa dekade.
Negara-negara berkembang dan kekuatan baru dalam ekonomi serta politik global, seperti yang tergabung dalam BRIC telah mendesak reformasi dengan menambah anggota tetap yang lebih representatif. Artikel ini akan membahas dasar hukum internasional terkait penambahan anggota tetap Dewan Keamanan PBB dan tantangan yang dihadapi.
Penambahan anggota tetap Dewan Keamanan PBB diatur dalam Piagam PBB (United Nations Charter), terutama melalui prosedur amendemen. Pasal 23 Piagam PBB menetapkan komposisi Dewan Keamanan, dan Pasal 108 menyebutkan bahwa setiap perubahan Piagam harus disetujui oleh dua pertiga anggota Majelis Umum PBB dan seluruh lima anggota tetap Dewan Keamanan tanpa veto.
Dengan kata lain, setiap upaya untuk menambah anggota tetap membutuhkan konsensus global dan persetujuan dari lima anggota tetap saat ini, termasuk hak veto mereka. Hal ini menjadikan proses reformasi dan penambahan anggota tetap sangat kompleks karena memerlukan kesepakatan politik yang sulit dicapai.
Salah satu hambatan terbesar dalam menambah anggota tetap adalah hak veto yang dimiliki anggota tetap. Negara-negara yang telah lama menduduki posisi anggota tetap cenderung mempertahankan status quo demi kepentingan politik mereka. Hak veto memberi mereka kekuasaan signifikan dalam menentukan keputusan penting, termasuk reformasi Dewan Keamanan.
Selain itu, muncul kekhawatiran bahwa menambah anggota tetap baru dengan hak veto dapat memperumit pengambilan keputusan dan menghambat efektivitas Dewan Keamanan. Negara-negara seperti Amerika Serikat dan Rusia kerap berbeda pendapat, dan jika anggota baru dengan hak veto turut bergabung, kebuntuan dalam proses diplomatik bisa semakin sering terjadi.
Dorongan untuk menambah anggota tetap juga didasarkan pada tuntutan representasi yang lebih adil. Saat ini, Dewan Keamanan dianggap tidak mencerminkan kekuatan politik dan ekonomi global secara seimbang. Misalnya, Afrika tidak memiliki satu pun perwakilan tetap, meskipun benua tersebut sering menjadi fokus utama kebijakan keamanan PBB. India dan Brasil, dua negara berkembang dengan populasi besar dan ekonomi kuat, juga telah mengajukan diri untuk memperoleh kursi tetap agar suara mereka lebih didengar di panggung internasional.
Dalam konteks hukum internasional, upaya untuk meningkatkan representasi ini sejalan dengan prinsip kedaulatan negara dan kesetaraan anggota PBB sebagaimana diatur dalam Piagam PBB Pasal 2 ayat (1). Dengan demikian, reformasi Dewan Keamanan bukan hanya isu teknis, tetapi juga bagian dari upaya mewujudkan tata kelola global yang lebih adil dan inklusif.
Sejak tahun 1990-an, PBB telah membentuk berbagai kelompok kerja dan komite ad hoc untuk mendiskusikan reformasi Dewan Keamanan, termasuk penambahan anggota tetap. Salah satu inisiatif penting adalah Kelompok G4 (India, Brasil, Jerman, dan Jepang), yang secara aktif melobi agar negara mereka menjadi anggota tetap. Di sisi lain, terdapat Uniting for Consensus (UfC), sekelompok negara yang menolak penambahan anggota tetap dan lebih mendukung peningkatan jumlah anggota tidak tetap sebagai solusi.
Meskipun terdapat upaya diplomatik yang intens, hingga saat ini belum ada kesepakatan yang bisa diterima oleh seluruh negara anggota PBB. Hal ini menyoroti kompleksitas reformasi di Dewan Keamanan, di mana setiap perubahan harus memenuhi kepentingan beragam negara dengan latar belakang politik dan ekonomi yang berbeda.
Penambahan anggota tetap Dewan Keamanan tidak hanya memiliki konsekuensi politik tetapi juga implikasi hukum. Reformasi ini berpotensi mengubah dinamika dalam sistem keamanan internasional dan mempengaruhi penegakan resolusi Dewan Keamanan. Selain itu, penambahan anggota tetap dengan hak veto baru dapat memunculkan perdebatan lebih lanjut tentang legitimasi dan efektivitas Dewan Keamanan.
Namun, jika reformasi berhasil, hal ini akan meningkatkan legitimasi PBB sebagai organisasi internasional yang inklusif dan relevan. Keputusan dan resolusi Dewan Keamanan yang dihasilkan oleh komposisi yang lebih representatif dapat memperkuat dukungan internasional dan memperbaiki kredibilitas PBB di mata dunia.
PENUTUP
Penambahan anggota tetap Dewan Keamanan PBB merupakan isu yang sangat penting namun kompleks dalam hukum dan politik internasional. Prosesnya membutuhkan perubahan dalam Piagam PBB yang harus disetujui oleh dua pertiga anggota Majelis Umum dan seluruh anggota tetap Dewan Keamanan. Meskipun terdapat hambatan politik, tuntutan akan representasi yang lebih adil terus meningkat, sejalan dengan prinsip kesetaraan dan kedaulatan negara. Reformasi ini, jika terwujud, akan membawa dampak positif bagi tata kelola global, meskipun juga akan menambah tantangan dalam pengambilan keputusan.
Penting bagi PBB untuk menemukan keseimbangan antara efisiensi dan representasi dalam Dewan Keamanan, guna memastikan keberlanjutan peran PBB sebagai penjaga perdamaian dan keamanan internasional(*)