Setyo Widagdo – Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Brawijaya
Konflik antara Palestina dan Israel merupakan salah satu konflik yang paling kompleks dan panjang dalam sejarah modern, dan telah menjadi perhatian utama komunitas internasional selama lebih dari tujuh dekade. Salah satu solusi yang sering diajukan untuk menyelesaikan konflik ini adalah solusi dua negara (two-states solution).
Dalam pandangan hukum internasional, solusi ini dianggap sebagai langkah yang paling mungkin untuk mencapai perdamaian yang adil dan berkelanjutan antara kedua pihak. Artikel ini akan membahas konsep, tantangan, serta relevansi solusi dua negara dalam kerangka hukum internasional.
Solusi dua negara mengacu pada pembentukan dua negara yang berdaulat dan berdampingan, yaitu Israel dan Palestina, yang hidup dalam damai dan saling mengakui kedaulatan masing-masing. Gagasan ini pertama kali diperkenalkan oleh Resolusi 181 Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada tahun 1947, yang merekomendasikan pembagian wilayah Palestina Mandat Inggris menjadi dua negara: satu Yahudi (Israel) dan satu Arab (Palestina), dengan Yerusalem sebagai entitas internasional. Meskipun rencana ini pada awalnya ditolak oleh pihak Arab, konsep dua negara terus menjadi dasar bagi banyak inisiatif perdamaian, termasuk Perjanjian Oslo 1993 dan Inisiatif Perdamaian Arab 2002.
Dalam konteks hukum internasional, solusi dua negara didasarkan pada prinsip-prinsip yang diakui secara global, termasuk hak untuk menentukan nasib sendiri (right to self-determination), integritas wilayah, dan resolusi sengketa secara damai. Hak untuk menentukan nasib sendiri adalah landasan utama bagi klaim Palestina terhadap pembentukan negara merdeka. Ini diakui dalam Piagam PBB dan berbagai instrumen hukum lainnya, seperti Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik. Di sisi lain, integritas wilayah dan hak kedaulatan Israel juga dilindungi oleh hukum internasional.
Pengakuan Palestina sebagai negara merdeka telah diperoleh dari sejumlah besar negara di dunia, serta dari organisasi internasional seperti PBB. Pada tahun 2012, Majelis Umum PBB mengakui Palestina sebagai non-member observer state, sebuah langkah yang memperkuat posisi hukum Palestina di panggung internasional. Namun, pengakuan ini belum menciptakan konsensus universal, terutama di kalangan negara-negara Barat, yang sebagian besar masih menekankan perlunya solusi negosiasi langsung antara kedua pihak.
Meskipun solusi dua negara secara luas dianggap sebagai solusi yang paling realistis, implementasinya menghadapi sejumlah tantangan yang signifikan. Salah satu tantangan utama adalah status Yerusalem. Yerusalem adalah kota yang sangat simbolis bagi kedua belah pihak, dan baik Palestina maupun Israel mengklaimnya sebagai ibu kota. Hukum internasional menyarankan status khusus untuk Yerusalem, namun upaya untuk mencapai kesepakatan mengenai status kota ini selalu menemui jalan buntu dalam perundingan.
Permukiman ilegal Israel di Tepi Barat juga menjadi hambatan besar bagi solusi dua negara. Menurut hukum internasional, permukiman ini dianggap ilegal karena melanggar Konvensi Jenewa Keempat, yang melarang kekuatan pendudukan untuk memindahkan penduduk sipilnya ke wilayah yang diduduki. Namun, pemerintah Israel terus memperluas permukiman ini, yang secara efektif mengurangi wilayah yang mungkin menjadi bagian dari negara Palestina di masa depan.
Selain itu, masalah pengungsi Palestina menjadi tantangan krusial. Sekitar lima juta pengungsi Palestina yang terdaftar dengan Badan PBB untuk Pengungsi Palestina (UNRWA) menuntut hak untuk kembali ke rumah mereka di wilayah yang sekarang menjadi Israel. Namun, Israel menolak gagasan ini, karena menganggapnya sebagai ancaman demografis terhadap keberadaan negara Yahudi.
Peran komunitas internasional sangat penting dalam memfasilitasi solusi dua negara. Beberapa aktor utama, seperti Amerika Serikat, Uni Eropa, dan Liga Arab, telah terlibat dalam upaya mediasi dan negosiasi. Namun, pendekatan yang sering bias atau tidak konsisten oleh aktor-aktor ini telah menghambat kemajuan. Penting untuk diingat bahwa sesuai dengan prinsip pacta sunt servanda dalam hukum internasional, semua perjanjian yang telah ditandatangani oleh kedua pihak, seperti Perjanjian Oslo, harus dihormati dan dilaksanakan secara penuh.
Solusi dua negara tetap menjadi solusi yang paling layak secara hukum dan politik untuk menyelesaikan konflik Palestina-Israel. Namun, tantangan yang kompleks terkait dengan status Yerusalem, permukiman, dan pengungsi, memerlukan pendekatan yang lebih komprehensif dan berdasarkan prinsip hukum internasional. Komunitas internasional harus memainkan peran yang lebih aktif dan adil dalam memfasilitasi dialog antara kedua belah pihak, dengan tetap menjunjung tinggi hak asasi manusia dan keadilan bagi semua pihak yang terlibat.
Apakah situasi terkini masih memungkinkan solusi dua negara dilaksanakan ? Yaitu ketika Gaza sudah porak poranda, Genosida nyata-nyata terjadi dan eskalasi perang semakin meluas ?
Tidak ada kata terlambat jika masing-masing pihak memiliki itikad baik sama-sama berkeinginan menciptakan perdamaian dan saling menghormati kedaulatan dan kemerdekaan masing-masing dan tidak perlu ada pihak-pihak yang merasa kalah dengan solusi ini.(*)